Oleh Hasanah Putri Daulay
Hmi Cabang Payakumbuh
Badan Koordinasi Sumatera Barat
Lklll Advance Training Badan Koordinasi Sumatera Utara 2025
Matarakyat24.com– Hotel Miyanna, Medan (12/05/2025) Dalam narasi pembangunan nasional hari ini, salah satu tantangan terbesar yang kita hadapi sebagai bangsa adalah bagaimana mewujudkan transisi energi yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga adil secara sosial dan ekonomi. Di sinilah pentingnya memperjuangkan transisi energi berkeadilan, sebuah konsep yang bukan sekadar teknis, tetapi sarat dengan nilai-nilai perjuangan sosial yang sejalan dengan cita-cita Islam dan semangat ke-HMI-an kita: keadilan, kemandirian, dan keberpihakan kepada mustadh’afin.
Transisi energi secara sederhana dapat dimaknai sebagai pergeseran dari penggunaan sumber energi fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam menuju energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, seperti tenaga surya, angin, air, serta biomassa. Pergeseran ini tidak semata-mata didorong oleh desakan global akibat krisis iklim, tetapi juga merupakan kebutuhan nyata dalam konteks nasional, mengingat ketimpangan akses energi, ketergantungan pada impor BBM, serta meningkatnya pencemaran lingkungan yang membebani masyarakat.
Namun demikian, muncul pertanyaan mendasar: siapa yang benar-benar diuntungkan dari transisi ini rakyat kecil atau kelompok elite ekonomi? Apakah kebijakan energi hari ini berpihak pada masyarakat rentan atau justru memperkuat dominasi kapital?
Ketimpangan akses dan dominasi energi fosil masih menjadi realitas pahit dalam transisi energi Indonesia. Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga akhir 2023, rasio elektrifikasi nasional memang telah mencapai 99,78%. Namun, masih terdapat 474 desa—terutama di wilayah Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur yang belum memperoleh akses listrik secara penuh. Fakta ini menunjukkan bahwa di balik angka statistik yang tampak impresif, ketimpangan geografis dan sosial dalam pemenuhan hak dasar atas energi masih sangat mencolok.
Sementara itu, laporan Institute for Essential Services Reform (IESR) tahun 2024 mencatat bahwa bauran energi terbarukan Indonesia baru mencapai 13,1%, jauh tertinggal dari target nasional sebesar 23% pada 2025. Ironisnya, lebih dari 60% pasokan listrik nasional masih berasal dari PLTU berbahan bakar batu bara sumber energi yang tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga menyumbang emisi karbon terbesar.
Yang lebih memprihatinkan, beberapa proyek energi yang diklaim “hijau” justru memunculkan persoalan baru: konflik lahan, perampasan ruang hidup, dan marginalisasi masyarakat adat. Proyek PLTA Batang Toru di Sumatera Utara adalah contoh nyata. Proyek ini tidak hanya mengancam keberlangsungan orangutan Tapanuli spesies endemik langka tetapi juga mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan pembangunan (Mongabay Indonesia, 2024).
Dalam perspektif Islam, sumber daya alam termasuk energi bukanlah milik segelintir golongan, melainkan amanah dari Allah SWT untuk kemaslahatan seluruh umat. Al-Qur’an menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS. An-Nahl: 90)
Ayat ini menjadi fondasi moral yang kuat bahwa keadilan adalah prinsip utama dalam pengelolaan urusan publik, termasuk dalam tata kelola energi. Maka, energi tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas yang semata-mata dikuasai korporasi dan elite kapitalis. Sebaliknya, ia harus dikelola secara adil, inklusif, dan menyejahterakan masyarakat banyak terutama kelompok yang selama ini terpinggirkan dari akses dan kontrol sumber daya.
Lebih jauh, dalam kerangka maqashid syariah, energi berkaitan langsung dengan perlindungan atas jiwa (nafs), harta (mal), dan lingkungan hidup (bi’ah). Artinya, transisi energi bukan hanya soal mengganti sumber energi kotor dengan yang bersih, tetapi merupakan bagian dari ikhtiar menyelamatkan kehidupan, memperkuat keadilan ekonomi, serta menjaga amanah bumi sebagai makhluk Allah yang harus dirawat.
Transisi energi berkeadilan tidak mungkin tercapai jika dibangun di atas fondasi liberalisasi dan komersialisasi energi. Sebaliknya, ia harus bertumpu pada prinsip kedaulatan rakyat dan kontrol komunitas lokal terhadap sumber daya energi. Dalam hal ini, model desentralisasi energi menjadi kunci seperti pengembangan PLTS atap di pesantren, PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro) di wilayah pegunungan, serta biogas skala rumah tangga yang berbasis pada ekonomi sirkular di pedesaan.
Laporan SolarHub Indonesia (2024) menunjukkan bahwa program PLTS atap berbasis pesantren di Jawa Barat berhasil menurunkan biaya listrik hingga 40%, sekaligus mendorong produktivitas santri dalam mengembangkan usaha mikro berbasis digital. Ini adalah bukti nyata bahwa energi terbarukan bukan hanya tentang teknologi bersih, tetapi juga tentang pemberdayaan umat.
Namun, tantangannya terletak pada minimnya dukungan kebijakan yang berpihak kepada komunitas. Skema insentif, subsidi, dan pembiayaan hijau selama ini masih didominasi oleh korporasi besar. Untuk itu, pemerintah harus mengambil langkah afirmatif (affirmative action) bagi inisiatif-inisiatif energi rakyat, agar mereka dapat bertumbuh dan bersaing secara adil dalam ekosistem energi nasional. Di sinilah peran gerakan mahasiswa Islam, seperti HMI, untuk terus mengawal kebijakan agar keberpihakan terhadap mustadh’afin menjadi nyata, bukan sekadar jargon.
Sebagai kader HMI, kita memiliki posisi yang sangat strategis dalam mendorong perubahan sosial yang berkeadilan berakar pada semangat intelektual dan keberpihakan kepada umat. Sejarah HMI menunjukkan bahwa organisasi ini lebih dari sekadar perkumpulan mahasiswa adalah laboratorium kepemimpinan umat.
Transisi energi berkeadilan adalah medan perjuangan baru yang harus kita perjuangkan sebagai umat dan bangsa. Kita, sebagai kader HMI, tidak hanya bisa berperan dalam forum akademik, tetapi juga harus terlibat langsung dalam gerakan advokasi, kajian kebijakan, dan pemberdayaan masyarakat lokal. Sebab, transisi energi tidak hanya menyangkut teknis perubahan sumber daya, melainkan sebuah upaya besar untuk menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya kelompok marjinal yang selama ini terpinggirkan.
Berikut beberapa langkah nyata yang bisa dilakukan oleh HMI Cabang maupun Komisariat untuk turut serta dalam transisi ini:
1. Membentuk Komite Energi dan Lingkungan di setiap Cabang dan Komisariat HMI untuk mengawal isu energi berkeadilan secara strategis.
2. Menginisiasi Green Literacy Class atau forum kajian yang mendalam mengenai energi terbarukan dan perspektif Islam tentang keberlanjutan dan keadilan sosial.
3. Berkolaborasi dengan pesantren dan komunitas lokal untuk mengimplementasikan proyek energi bersih, seperti PLTS atap atau biogas skala rumah tangga, yang dapat meningkatkan kemandirian energi dan kesejahteraan masyarakat.
4. Melakukan lobbying kepada pemerintah daerah untuk membuka ruang partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan energi, agar kebijakan yang dihasilkan lebih inklusif dan berpihak kepada rakyat.
Gerakan transisi energi berkeadilan adalah bagian dari dakwah sosial kita sebagai umat Islam dan sebagai kader HMI yang peduli pada masa depan umat dan bangsa. Kita harus memastikan bahwa energi bukan hanya menjadi hak sebagian kalangan, tetapi dapat dinikmati oleh seluruh rakyat, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan hadits.
Transisi energi yang adil bukanlah sebuah utopia. Ia adalah keniscayaan sejarah yang harus terwujud melalui keberanian politik, keberpihakan umat, dan solidaritas sosial yang kokoh. Indonesia dapat merdeka energi jika kita melibatkan rakyat dalam setiap aspek pengelolaannya. Umat Islam bisa mandiri ekonomi jika kita menguasai sumber daya kita sendiri, dengan mengutamakan kepentingan bersama dan menanggalkan ketergantungan pada pihak luar.
Dalam semangat rahmatan lil alamin dan cita-cita HMI untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT, mari kita jadikan isu transisi energi sebagai bagian integral dari perjuangan keummatan yang suci. Karena pada akhirnya, energi adalah hak rakyat, dan keadilan dalam pengelolaannya adalah perintah Tuhan yang harus ditegakkan oleh setiap umat Islam yang peduli pada masa depan umat dan bangsa.
Daftar pustaka
1. Al-Qur’anul Karim, QS. An-Nahl: 90
2. IESR (2024). Indonesia Energy Transition Outlook 2024. [https://www.iesr.or.id]
3. Kementerian ESDM. (2023). Rasio Elektrifikasi Nasional 2023. https://www.esdm.go.id
4. Mongabay Indonesia (2024). Kontroversi Proyek PLTA Batang Toru. [https://www.mongabay.co.id]
5. SolarHub Indonesia (2024). Dampak PLTS Atap terhadap Komunitas Pesantren.