GETARAN CINTA UKASYAH UNTUH SANG KEKASIH

Khazanah

 

 

Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh 

 

Rasulullah Saw.  menyuruh  Bilal r.a. mengumpulkan seluruh bnu Abbas meriwayatkan, “Pada hari-hari terakhirnya, sahabat dan para pembantunya di Masjid Nabawi. Lalu, Bilal memanggil mereka untuk berkumpul di sana. Dipapah oleh Sayyidina „Ali r.a. dan Fadhl r.a., Rasulullah menyeret kakinya ke masjid, kemudian shalat dua rakaat, menuju mimbar dan duduk. Beliau mengucap syukur dan puji-pujian kepada Allah Swt., memuliakan-Nya, lantas menyampaikan khutbah yang teramat indah. Sewaktu beliau menyapa kami: „Wahai kaum Muhajirin dan Anshar,‟ hati kami berdesir, bulu kuduk kami berdiri, dan air mata kami berlinang membasahi jenggot kami dan menetes ke lantai. Beliau bersabda, „Hari ini adalah hari terakhirku di dunia yang rendah ini, dan hari pertamaku di akhirat. Allah Yang Mahamulia memberiku pilihan untuk tinggal di dunia atau di akhirat, dan aku lebih menyukai akhirat. Aku telah diangkat menjadi Nabi dan pembimbing kalian semua, menyeru agar kalian berjalan di jalan Allah. Aku melakukannya bukan karena keinginanku sendiri, tetapi karena diutus oleh Allah. Aku telah menjadi sahabat yang baik atau ayah yang penuh kasih bagi kalian. Sekarang aku meninggalkan kalian selama-lamanya. Akan datang suatu ketika orang tua akan meninggalkan anak-anaknya. Anak domba akan menerima haknya dari induknya. Sebelum ajal menjemputku, jika aku pernah menyakiti siapa saja di antara kalian, sekarang aku di sini. Datanglah kemari dan ambillah apa yang menjadi hak kalian atas diriku. Pukullah punggungku. Apabila aku dulu pernah mengambil barang milik kalian, datanglah ke sini dan mintalah dariku, maka aku akan mengembalikannya.‟ Tiga kali beliau mengatakan demikian. 

 

Pada saat itu datanglah orang bernama „Ukasyah melewati para sahabat dan menghadap Nabi. Ia berkata, “Ya Rasulullah, engkau lebih atas diriku daripada ibuku, ayahku, atau diriku sendiri. Tiga kali engkau menyuruh kami datang ke sini dan untuk menuntut hak kami atas dirimu. Seandainya engkau tak berkata demikian, aku tak akan menuntut hakku. Aku datang ke sini tidak untuk mengadu kepadamu, tetapi untuk menuruti perintahmu. Dalam suatu peperangan, untamu berjalan beriringan dengan untaku. Aku turun dari untaku dan, ketika aku membelakangimu, cambuk yang engkau kibaskan mengenaiku. Aku tidak tahu apakah itu terjadi secara tak sengaja, tatkala engkau mencambuk untamu supaya ia berjalan lebih cepat, atau apakah engkau melakukannya untuk maksud  tertentu.” Setelah mendengarnya, Rasulullah Saw., Nabi yang penuh kasih sayang dan pemimpin dunia akhirat, bersabda, “Allah melarangnya, wahai „Ukasyah! Bagaimana mungkin Rasulmu sengaja mencambukmu?” Lalu, beliau memanggil Bilal seraya berkata, “Bilal, pergilah ke rumah Fathimah. Ambil cambukku dan bawalah ke sini.” Sembari meletakkan kedua tangannya di kepala, sahabat Bilal berlari dan berteriak menuju rumah Fathimah untuk mengambil cambuk. Dia menangis ketika Fathimah bertanya, “Akan kau pakai untuk apa cambuk ini?” “Untuk membalaskan dendam,” jawab Bilal. Mendengar jawaban ini, Fathimah pun menangis dan kemudian bertanya lagi, “Siapakah orang yang ingin membalas dendam kepada Rasul-Nya?” Tanpa menjawab pertanyaan Fathimah, Bilal pun bergegas membawa cambuk itu kembali ke Masjid Nabawi yang di dalamnya seluruh sahabat juga menangis. Dia memberikan cambuk itu kepada Nabi Saw. dan selanjutnya kekasih Allah ini memberikannya kepada „Ukasyah. “Ini cambuknya, wahai „Ukasyah!” 

 

Tak sanggup melihat apa yang akan terjadi, Abu Bakar dan „Umar maju seraya berkata, “ Kami sajalah yang kau cambuk wahai „Ukasyah!” Tetapi, Nabi bersabda, “Duduklah, Abu Bakar dan „Umar. Allah pasti mengetahui dan melihat kalian.” Lalu, „Ali berdiri seraya berkata, “Ini aku, wahai „Ukasyah! Aku telah menghabiskan seluruh hidupku bersama Rasulullah. Aku tak dapat membiarkanmu membalas dendam kepada Rasul kita. Ini punggungku, ini dadaku, ini perutku, cambuklah. Cambuklah aku!” Namun, Rasul mencegah, “Wahai Ali, Allah pasti mengetahui niatmu dan melihatmu.” Berikutnya, berdirilah dua pemimpin para pemuda surga yang mulia, cahaya mata Rasulullah, Hasan dan Husain. Keduanya menangis tersedu-sedu, “Tahukah engkau siapa kami, wahai „Ukasyah? Kami adalah cucu kesayangan Rasulullah. Inilah kami. Engkau dapat membalaskan dendammu dengan mencambuk kami seolah-olah engkau mencambuk Rasulullah. Ayolah, ini kami. Cambuklah kami!” Akan tetapi, Rasulullah berkata kepada dua cucu kesayangannya ini, “Duhai cahaya mataku, duduklah di tempat kalian. Akulah yang harus menerima pembalasan ini.” Rasulullah berkata, “Wahai „Ukasyah, cambuklah aku sekeras aku pernah mencambukmu dulu!” „Ukasyah berkata, “Aku dulu tak berpakaian ketika engkau mencambukku.” Maka Rasulullah pun melepaskan bajunya, dan bersabda, “Cambuklah, „Ukasyah!” Riuh ratapan kaum mukmin di masjid itu membumbung ke langit tertinggi. Sewaktu isak tangis dan ratapan mencapai langit tertinggi, mereka semua bingung apa yang harus mereka lakukan menyaksikan hal tersebut. 

 

Segera setelah, Ukasyah melihat tubuh Nabi mulia yang berseri-seri, dia membuang cambuk di tangannya, memeluk punggung Nabi Saw. dengan penuh rasa cinta dan haru, mencium tanda kenabian, lalu berkata, “Engkau lebih berhak atas diriku daripada ibu dan ayahku sendiri, ya Rasulallah! Bagaimana mungkin aku membalas dendam padamu? Biarlah seratus ribu „Ukasyah berkorban demi engkau. Aku mengucapkan terima kasih atas tawaranmu ini. Aku takut masuk neraka. Aku melakukan semua itu karena aku yakin bahwa, ketika kulitku menyentuh kulitmu, neraka tidak akan bisa membakar tubuhku. Akan dibakarkah tubuh yang pernah bersentuhan denganmu? Inilah yang mendorongku menerima tawaranmu dan membalas keinginanku.” Kemudian Rasulullah menoleh para sahabat yang masih bengong dengan peristiwa yang menakjubkan itu. “Jika kalian ingin melihat salah satu penghuni surga, lihatlah orang ini!” Lantas, seluruh sahabat yang hadir mencium mata „Ukasyah, dan dengan hangat mengucapkan selamat kepadanya yang telah meraih derajat mulia itu. 

 

Pemimpin yang dicintai senantiasa memberikan teladan-teladan yang mengesankan kepada rakyatnya. Sehingga hidupnya menjadi sumber ketentraman bagi rakyatnya, dan kematiannya menjadi kenangan indah tak terlupakan. Pemimpin dan rakyat jenis ini, digambarkan sebagai sosok-sosok, “Ia mencintai mereka, dan mereka pun mencintainya.” 

 

Sosok ini telah digambarkan oleh seorang pribadi bernama Muhammad. Beliau adalah pemimpin yang sangat mencintai rakyatnya, sehingga rakyatnya pun sangat mencintainya. Sehingga, ketika satu hal yang dianggap oleh Muhammad sebagai „kezaliman‟ yang boleh dituntut oleh rakyatnya, rakyatnya justru tidak ingin membalasnya dengan kezaliman. Yang tumbuh justru kerinduan yang mendalam kepada beliau. Ukasyah contohnya, ia dengan penuh kerinduan memeluk tubuh kekasihnya (Muhammad Saw). 

 

Inilah sebuah gambaran indah bahwa, siapa mencintai, niscaya dicintai. Siapa mengasihi, pasti dikasihi. Siapa memberikan pelayanan lebih, niscaya akan mendapatkan pelayanan yang lebih besar pula. 

 

#Syaiful_Anwar

#Fakultas_Ekonomi

#Universitas_Andalas

#Kampus2_Payakumbuh

#Energi_Cinta

#Getaran_Cinta_Ukasyah_Untuk_Sang_Kekasih

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *