Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Kaki patah, kecelakaan, gaji kecil. Apakah semua ini nikmat atau laknat? Kebahagiaan atau penderitaan? Jawabannya: tergantung orang yang menilai. Ya, jika Anda menganggap bahwa kaki patah, kecelakaan, gaji kecil, adalah sebuah laknat dan penderitaan serta musibah bagi Anda, itu sah-sah saja. Namun, tahukah Anda bahwa ternyata dibalik semua musibah dan penderitaan ternyata di sana ada kebahagiaan yang tersimpan atau tepatnya disimpan oleh Allah, dan akan dikeluarkan pada saat yang tepat.
Anda pasti kenal Habiburrahman El Shirazy? Siapa lagi kalau bukan penulis fenomenal Ayat-ayat Cinta. Ia menulis novel tersebut di saat penderitaan, ya di saat tulang kaki kanannya patah karena kecelakaan. Inilah hikmah Allah yang tidak bisa dibaca oleh manusia, kecuali setelah hikmah itu diungkap. Kang Abik sangat menderita, ia sempat dirawat selama 9 (sembilan) hari di RS Panti Ratih, Yogyakarta, akhirnya dia dibawa pulang ke Bangetayu Wetan, Semarang, untuk berobat jalan.
Dalam masa penderitaan di “Penjara Rumah” karena tidak bisa ke mana-mana, di sinilah Allah tiupkan energi untuk bangkit. Energi kerinduan kepada Cairo, tempat di mana Kang Abik kuliah selama 7 tahun. Kerinduan itu tak terbendung lagi, ia pun teringat pada sebuah cerpen yang pernah ditulisnya saat musim panas di Cairo. Cerpen berjudul “Suatu Hari di Musim Panas” itu sebenarnya belum selesai.
Untuk mengobati kerinduannya itu, akhirnya muncul keinginan yang kuat untuk merampungkan novel tersebut. “Tak terasa saya sudah melanjutkan sampai 23 halaman. Sayangnya semua itu belum masuk pada konflik. Akhirnya, muncul gagasan untuk menggabungkan cerpen dengan novel yang belum terselesaikan di Cairo,” ujarnya.
Rupanya, sengsara membawa nikmat. Berawal dari kisah sengsara kecelakaan, pria ini meluncurkan novel laris berjudul Ayat Ayat Cinta. Bahkan, tidak hanya laris manis, novel yang terus dicetak ulang ini berhasil meraih penghargaan sebagai karya novel terbaik dalam Islamic Book Fair (IBF) 2006, kategori fiksi dewasa.
Demikianlah sepenggal cerita Sengsara Membawa Nikmat. Oleh karena itu, rubahlah persepsi Anda terhadap penderitaan, kesengsaraan, kemiskinan dan berbagai hal yang tidak Anda senangi. Karena, satu penderitaan, dua kebahagiaan. Satu kesulitan, dua kemudahan.
Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence) merupakan karya monumental Toto Tasmara sebagai pembanding atas pemikiran Barat tentang kecerdasan spiritual yang bersifat rasional, sekuler, dan materialistik.
Toto Tasmara yang dilahirkan di Banjar Ciamis Jawa Barat, pada 10 November 1948, merupakan sosok tangguh. Seluruh kehidupannya diabdikan untuk gerakan dakwah yang olehnya disingkat geradah. Dan akibat dakwahnya inilah justru ia dijebloskan ke dalam penjara.
Namun, apakah penjara yang bagi sebagian orang sebagai tempat hina dan penuh derita itu membuat jiwanya terpenjara? Ternyata tidak. Justru, penjara baginya adalah sebuah ”pesantren” tempat ber-uzlah ’menyendiri’ sehingga ia mampu melakukan perenungan dan melahap ratusan buku dengan tenang.
Penjaralah yang telah membuat dirinya semakin tangguh sehingga–sebagai buah perenungan dan bacaannya– lahirlah karya-karya yang menyentuh hati, seperti: Komunikasi Dakwah, Etos Kerja Pribadi Muslim, Tantangan Zaman, Dajal dan Simbol Setan, dan Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence).
Kecerdasan Ruhaniah, merupakan salah satu buku yang paling saya sukai. Bahasanya mendalam, menyentuh hati, dan membangkitkan cinta kepada Ilahi. Karena–menurut Toto Tasmara–kecerdasan ruhaniah bertumpu pada ajaran cinta (mahabbah).
Hidup tidak selalu mulus. Ada segelintir manusia yang awalnya baik, namun di pertengahan dan di akhir hayatnya buruk. Ada juga di awal buruk, namun di tengah dan di akhir baik. Ada pula yang di awal baik, namun di tengah buruk, tapi di akhir hayatnya baik dan cemerlang.
Ustadz Yusuf Mansur yang dikenal sekarang menurut saya adalah sosok yang di awal baik, di tengahnya buruk, namun di akhir hayatnya baik dan cemerlang. Insya Allah. Perjalanan hidupnya patut menjadi cermin dan teladan bagi Anda dan tentunya juga saya.
Tahukah Anda, Yusuf Mansur yang lahir dari pasangan Abdurrahman Mimbar dan Humrif’ah itu mengalami kepedihan, sengsara, dan jatuh dalam lumpur kehinaan? Karena bisnisnya yang bangkrut membuatnya terlilit hutang miliaran rupiah, hingga mengantarkan dirinya ke dalam hotel prodeo (baca: penjara) selama dua bulan. Lepas bebas Yusuf kembali mencoba berbisnis kembali, tapi kembali gagal dan terlilit utang kembali. Cara hidup yang keliru membawa Ustad Yusuf kembali masuk bui pada 1998.
Di penjara yang kedua Yusuf mendekam di bui selama 14 hari. Hari-hari Yusuf terasa berat di dalam penjara. Satu hari di dalam penjara, Ustad Yusuf merasakan rasa lapar yang amat sangat. Maklum seharian belum makan, jatah makanan tidak ada. Di dekat tempat duduknya, Ustad Yusuf melihat sepotong roti. Ketika roti akan masuk ke mulutnya, ia melihat segerombolan semut yang tengah mencari makan. Entah apa yang ia pikirkan saat itu. Namun, dibalik kegamangan pikirannya, ia pun membagi roti itu menjadi dua bagian, untuk semut-semut dan untuk ia sendiri sambil berharap mereka akan mendoakannya agar segera mendapatkan makanan. Ajaib! Lima menit setelah itu ia dapat nasi bungkus Padang. Petunjuk itu yang membuat hidup Ustad Yusuf berubah.
Dari perubahan itulah, Ustadz Yusuf Mansur menemukan konsep ‘Keajaiban Sedekah’, dan dari pengalamannya dipenjara untuk mengobati kekecewaan keluarga atas sikapnya dan sebagai wujud pertaubatan dirinya, ia menulis sebuah karya yang menggugah hati berjudul Mencari Tuhan yang Hilang.
Andaikata seorang Yusuf Mansur tidak dipenjara dan mengalami penderitaan, kesengsaraan dan kehinaan, barangkali Mencari Tuhan yang Hilang yang sudah mencapai best seller tidak akan lahir dan diambil manfaatnya oleh semua orang.
Saya sudah sering mendengar ceramah tentang sedekah yang disampaikan oleh para muballigh dan membaca buku tentang pertaubatan diri, saya tidak begitu tersentuh, namun ketika mendengar ceramah Ustadz Yusuf Mansur dan membaca bukunya ada sesuatu yang lain yang saya rasakan dalam jiwa: berkobar dan penuh semangat untuk memberpaiki diri.
Simaklah dan renungkan rintihan Ustadz Yusuf Mansur dalam salah satu tulisannya yang amat menggugah hati….
Dia tidak hilang dan tidak menghilang Dia selalu menunggu selalu mengulurkan tanganNya
hati yang kotor inilah yang menghalangi melihat-Nya
Begitulah cerita hidupnya telah digariskan. Ia hidup membujang, dipenjara selama bertahun-tahun dan berakhir dengan hukuman di tiang gantungan.
Peri kehidupan Sayyid Quthb adalah rangkaian perjuangan dan keberanian, gambaran kejujuran dan keyakinan, kisah patriotisme dan kepahlawanan.
Penjara telah menempa keimanannya, meningkatkan pengetahuannya, menggelorakan semangatnya dan menebalkan prinsip keyakinannya. Penjara menjadi sebuah lokasi perenungan yang-seperti kata Ibnu Taimiyyah-bathinuhu fihirrahmah wazahiruhu min qibalihil azab, didalamya terdapat rahmat sementara dari luar seperti tempat penuh siksa.
Lihatlah, betapa dari balik jeruji besi itu telah keluar karyakarya monumental yang bermanfaat bagi umat manusia. Dan kini, terali besi pemerintah Mesir telah menelorkan salah satu karya besar sepanjang sejarah: Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, yang menunjukan pengetahuan, perenungan, semangat dan keyakinan yang tak kunjung padam dari penulisnya. Betapa hal itu tergambar jelas dalam karya ini!!
Sayid Quthb lahir di Mausyah, salah satu provinsi Asyuth, di dataran tinggi Mesir. Ia lahir pada 9 Oktober 1906. Nama lengkapnya adalah Sayyid Quthb Ibrahim Husain.
Menurut Dr. Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, ada dua puluh lima buku (kitab) Quthb yang telah diterbitkan. Diantara karyanya yang ditulis dalam penjara adalah Tafsir Fi Zhilalil Quran.
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ini telah secara luas diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa: bahasa Inggris, Melayu, Indonesia, dan lain-lain. Pada mulanya penulisan tafsir oleh Quthb dituangkan di majalah Al-Muslimun edisi ke-3, yang terbit pada Februari 1952. Quthb mulai menulis tafsir secara serial di majalah itu, dimulai dari surah al-Faatihah dan diteruskan dalam surat al-Baqarah dalam episode-episode berikutnya. Setelah tulisannya sampai edisi ke-7, Quthb menyatakan, “Dengan kajian (episode ke-7 ini), maka berakhirlah serial dalam Majalah Al-Muslimun. Sebab Fi Zhilalil Qur`an akan dipublikasikan tersendiri dalam tiga puluh juz bersambung, dan masing-masing episodenya akan diluncurkan pada awal setiap dua bulan, dimulai dari bulan September mendatang dengan izin Allah, yang akan diterbitkan oleh Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah milik Isa Halabi & Co. Sedangkan majalah Al- Muslimun mengambil tema lain dengan judul Nahwa Mujtama’ Islami (Menuju Masyarakat Islami).”
Juz Pertama Zhilal itu terbit Oktober 1952. Quthb memenuhi janjinya kepada pembacanya, sehingga ia meluncurkan satu juz dari Zhilal setiap dua bulan. Bahkan kadang lebih cepat dari waktu yang ditargetkan. Pada periode antara Oktober 1952 dan Januari 1954, ia meluncurkan 16 juz dari Zhilal.
Ketika dimasukkan penjara untuk pertama kalinya, Januari hingga Maret 1954, Quthb berhasil menerbitkan dua juz Zhilal, juz ke-17 dan juz ke-18. Ia kemudian dibebaskan, tapi November 1954 ia bersama ribuan jamaah Ihwanul Muslimin ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman 15 tahun. Pada awalnya di penjara itu, Quthb tidak bisa melanjutkan untuk menulis fi Zhilal, karena berbagai siksaan yang dialaminya. Tapi lambat laun, atas jasa penerbitnya, Quthb bisa melanjutkan tulisannya itu dan juga merevisi juz-juz fi Zhilal sebelumnya.
Dalam pengantar tafsirnya, Quthb mengatakan bahwa hidup dalam naungan Al-Qur`an itu suatu kenikmatan. Sebuah kenikmatan yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang telah merasakannya. Suatu kenikmatan yang mengangkat umur (hidup), memberkatinya dan menyucikannya. Quthb merasa telah mengalami kenikmatan hidup di bawah naungan Al-Qur`an itu, sesuatu yang belum dirasakannya sebelumnya.
Ketika mau menulis tafsirnya, Quthb sebenarnya khawatir, karena ia melihat mustahil menafsirkan Al-Qur`an secara komprehensif. Lafal-lafal dan ungkapan-ungkapan yang ia tulis, ia rasakan tidak mampu sepenuhnya untuk menjelaskan apa yang dirasakannya terhadap Al-Qur`an. Quthb berkata, “Meskipun demikian, saya merasa takut dan gemetar manakala saya mulai menerjemahkan (menafsirkan) Al-Qur`an ini.
Sesungguhnya irama Al-Qur`an yang masuk dalam perasaan mustahil bisa saya terjemahkan dalam lafal-lafal dan ungkapanungkapanku. Oleh karena itu, saya selalu merasakan adanya jurang yang menghalangi antara apa yang saya rasakan dan apa yang akan saya terjemahkan untuk orang lain dalam Zhilal ini.”
Tujuan-tujuan yang dituliskan tafsir fi Zhilal, menurut alKhalidi adalah sebagai berikut.
Pertama, menghilangkan jurang yang dalam antara kaum Muslimin sekarang ini dengan Al-Qur`an. Quthb menyatakan, “Sesungguhnya saya serukan kepada para pembaca Zhilal, jangan sampai Zhilal ini yang menjadi tujuan mereka. Tetapi hendaklah mereka membaca Zhilal agar bisa dekat kepada AlQur`an. Selanjutnya agar mereka mengambil Al-Qur`an secara hakiki dan membuang Zhilal ini.”
Kedua, mengenalkan kepada kaum Muslimin sekarang ini pada fungsi amaliyah harakiyah Al-Qur`an, menjelaskan karakternya yang hidup dan bernuansa jihad, memperlihatkan kepada mereka mengenai metode Al-Qur`an dalam pergerakan dan jihad melawan kejahiliahan, menggariskan jalan yang mereka lalui dengan mengikuti petunjuknya, menjelaskan jalan yang lurus serta meletakkan tangan mereka di atas kunci yang dapat mereka gunakan untuk mengeluarkan perbendaharaanperbendaharaan yang terpendam.
Ketiga, membekali orang Muslim sekarang ini dengan petunjuk amaliah tertulis menuju ciri-ciri kepribadian Islami yang dituntut, serta menuju ciri-ciri islami yang Qur`ani.
Keempat, mendidik orang Muslim dengan pendidikan Qur`ani yang integral; membangun kepribadian Islam yang efektif, menjelaskan karakteristik dan ciri-cirinya, faktor-faktor pembentukan dan kehidupannya.
Kelima, menjelaskan ciri-ciri masyarakat islami yang dibentuk oleh Al-Qur`an, mengenalkan asas-asas yang menjadi pijakan masyarakat islami, menggariskan jalan yang bersifat gerakan dan jihad untuk membangunnya. Dakwah secara murni untuk menegakkannya, membangkitkan hasrat para aktivis untuk meraih tujuan ini, menjelaskan secara terperinci mengenai masyarakat islami pertama yang didirikan oleh Rasulullah saw. di atas nash-nash Al-Qur`an, arahan-arahan, dan manhaj-manhajnya sebagai bentuk nyata yang bisa dijadikan teladan, misal, dan contoh bagi para aktivis.
Demikianlah, jeruji besi dan penderitaan yang dialami oleh Sayyid Quthb telah memuliakan dan membesarkan namanya dengan lahirnya karya Tafsir fi Zhilalil Qur’an.
Andai Adolf Hitler tidak dipenjara pada tahun 1924, mungkin takkan ada Nazi yang menginvasi Eropa dan membantai jutaan orang Yahudi. Saat dibui—usai kudeta yang gagal—itulah Hitler menulis Mein Kampf. Buku ini kemudian berfungsi sebagai panduan bagi Jerman untuk menjadi global superpower.
Para founding father kita, Bung Karno dan Bung Hatta, juga dikenal aktif menulis walau dalam penjara. Contohnya, ketika berada dalam penjara Sukamiskin, Soekarno menulis pembelaan yang kemudian dibukukan dalam Indonesia Menggugat. Deliar Noer mengungkapkan dalam Mohamad Hatta: Biografi Politik bahwa Bung Hatta kerap menulis dalam penjara. Ketika ditahan di penjara Glodok tahun 1934, Hatta sempat menulis beberapa karangan.
Dalam penjara Glodok itu Hatta menamatkan penulisan buku Krisis Ekonomi dan Kapitalisme. Pada awalnya dia ragu bahwa buku itu akan rampung karena sebelumnya ada peraturan tidak boleh memasukkan kertas ke dalam penjara (yang boleh masuk hanya buku-buku dan pensil). Namun ternyata tulisan itu dapat diterbitkan tahun itu juga. Hatta semakin aktif menulis ketika dia dibuang ke Digul. Kala itu, dia menulis untuk berbagai surat kabar yang terbit di Jawa dan Sumatera serta menghasilkan buku, antara lain Alam Pikiran Yunani.
Peranan penjara dalam kepenulisan pemimpin revolusi kita juga terlihat jelas dari judul otobiografi Tan Malaka: Dari Penjara ke Penjara. Karya masterpiece-nya, Madilog, pun ditulis secara sembunyi-sembunyi. Tan Malaka mengaku kesulitan dalam menyusun Madilog secara sembunyi-sembunyi itu karena hal itu mengakibatkan kurangnya kepustakaan.
Dari Amerika Serikat, kita mendengar berlarut-larutnya kasus Mumia Abu-Jamal yang bernuansa politis. Wartawan AfroAmerika ini divonis mati pada tahun 1982 dengan tuduhan pembunuhan atas seorang polisi. Bertahun-tahun dia berada di balik jeruji besi, meski bukti yang mendukung bahwa dia tak bersalah telah ditemukan. Mumia kemudian menjadi lambang gerakan anti rasialisme di Amerika Serikat. Selama meringkuk dalam penjara Pennsylvania, Abu-Jamal menghasilkan sekumpulan tulisan yang kemudian dibukukan dalam dua buah buku, Live From Death Row dan All Things Censored. Tulisantulisannya disetarakan dengan tulisan Martin Luther King Jr sewaktu dalam penjara: Letter From Birmingham Jail.
Di Mesir, penulis feminis Nawal el Saadawi dipenjara pada tahun 1981 karena mengkritik pemerintahan Anwar Sadat. Namun, di dalam sel Saadawi terus berkarya. Meski dengan kertas toilet dan pensil alis, Saadawi diam-diam tetap menulis.
Sekeluarnya dari penjara, tulisan itu menghasilkan esai berjudul Memoar dari Penjara Perempuan. Dalam buku itu, dia mengisahkan bahwa ketimpangan sosial-ekonomi dan jender merupakan penyebab masuknya perempuan ke dalam sel penjara tersebut.
Penulis yang tetap berkarya meskipun badan terpenjara tentulah karena dia bisa membawa pikirannya beyond realitas yang dia hadapi. Viktor Frankl berteori bahwa sesungguhnya seseorang dapat memutuskan bagaimana suatu keadaan akan mempengaruhi dirinya. Kita tak mesti pasrah pada keadaan. Dan penjara bisa jadi memang tempat yang kondusif bagi seorang penulis. Marguerite Duras mengatakan bahwa berani menyendiri, berada dalam kesepian dan keterasingan, adalah hal yang harus terjadi dalam kepenulisan.
Menulis adalah suatu laku asketik, matiraga, suatu kebertapaan di tengah keramaian. Kesepian itu bahkan harus dialami bukan hanya secara rohani, tapi juga secara badani, demikian pendapat Sindhunata. Orang yang tidak berani sepi tak mungkin menjadi penulis yang baik. Jadi, seorang penulis yang dijatuhi hukuman penjara bagaikan mendapat sebuah hadiah.
Siapa yang tidak tahu dan tidak pernah membaca La Tahzan: Jangan Bersedih. Buku ini merupakan karya Aidh AlQarni yang sangat menggugah dan menyentuh hati serta mampu mengusir kesedihan setiap orang yang membacanya.
Aidh Al-Qarni yang lahir pada 1379 H di selatan wilayah Arab Saudi, berasal dari kabilah Al-Qarni. Bapaknya, Abdullah Al-Qarni, seorang ulama yang berkecukupan. Menyelesaikan studi S-1 sampai S-3 di Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa’ud, Riyadh, Arab Saudi, Aidh pun menjadi pakar hadis.
Tahukah Anda, di manakah buku La Tahzan itu ditulis: Di rumah mewahkah? Di tempat penuh pemandangan luas? Bukan. Bukan di tempat tersebut. La Tahzan justru ditulis di penjara. Aidh Al-Qarni dipenjara. Ia ditahan karena menerbitkan beberapa bait syair berkaitan dengan politik. Nah, selama di penjara itulah ia banyak membaca buku mengenai musibah dan problematika manusia, pembunuhan, serta hubungan bapak dengan ibu atau anak dengan orangtua. Hal ini mendorongnya untuk memberi solusi kepada umat manusia.
La Tahzan ditulis dengan menggunakan lebih kurang 300 buku dari berbagai bahasa sebagai rujukan. Sungguh sebuah hal yang menakjubkan!
Buku yang ditulis dengan gaya bahasa yang sederhana tapi mendalam dan menyentuh perasaan ini ternyata mampu menjadi buku best seller di Timur Tengah. Ia menjadi idola. Edisi bahasa Arab buku ini, sejak dicetak pada 2001 terus menjadi buku terlaris di Timur Tengah. Saat ini sudah mencapai cetakan kesebelas, dengan jumlah lebih dari 1 juta exemplar!
Harun Yahya pejuang dan ilmuwan terkemuka Turki digiring masuk penjara selama bertahun-tahun. Bahkan, beberapa bulan lamanya dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Namun, di sana dia mampu bersabar dan tawakal kepada Allah hingga bisa menyelesaikan banyak buku yang salah satunya mengenai perjalanan hidup Nabi Muhammad. Beliau sendiri sering berkata kepada sahabat dan murid-murid yang menjenguknya dari kejauhan, Jangan bersedih. Sesungguhnya Allah beserta kita. Pada tahun 2000, beliau dianugerahi majalah ilmiah terkemuka saat ini, New Scientist, sebagai Pahlawan Dunia karena dengan gemilangnya berhasil mengungkap kebohongan teori evolusi. Kini Harun Yahya juga termasuk dalam jajaran penulis paling produktif di dunia, karyanya sudah mencapai 200 judul!
Mereka itulah orang-orang agung karena mereka mampu menjadikan penderitaan sebagai perantara sebagai ketinggian. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orangorang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyianyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (QS. at-Taubah: 120).
Sesungguhnya nasihat yang baik pasti akan menyentuh hati yang paling dalam dan meluluhkan jiwa. Nasihat yang demikian dapat ditulis menjadi buku karena pengarangnya pernah mengalami perjuangan panjang dan kepedihan hidup. Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS. al-Fath: 18).
HAMKA adalah ulama dan penulis Islam Indonesia paling produktif. Karya tafsirnya, Al Azhar, dibaca kaum muslimin dari Mesir sampai London. Hamka lahir di Sungai Batang, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908.
Hamka mulai menulis tafsirnya pada tahun 1958. Awalnya dilakukan lewat kuliah subuh pada jamaah di masjid Al Azhar Kebayoran Baru, Jakarta. Ia memulai penafsiran dari surah al Kahfi juz XV. Mulai tahun 1962, kajian tafsir yang dicermahkannya itu dimuat di majalah Gema Islam.
Dua tahun kemudian, tepatnya 27 Januari 1964, Hamka ditangkap penguasa Orde Lama (Soekarno) dengan tuduhan berkhianat terhadap tanah air. Penahanan ini berlangsung sekitar dua tahun. Dan ini menjadi berkah bagi ulama yang juga sastrawan itu. Dalam rentang waktu di tahanan itulah ia bisa menyelesaikan penulisan tafsirnya. Beberapa hari sebelum pindah ke tahanan rumah, ia telah merampungkan tafsir AlQur’an 30 juz. Pada tahun 1967, tafsir itu untuk pertama kalinya terbit dengan nama Tafsir Al Azhar.
Hamka mengisahkan hikmahnya ia di penjara: “Tetapi di samping hati mereka (penfitnah Hamka-pen) yang telah puas, Tuhan Allah telah melengkapi apa yang disabdakan-Nya di dalam surah at Taghabun ayat 11. Yaitu bahwa segala musibah yang menimpa diri manusia adalah dengan izin Allah belaka. Asal manusia beriman teguh kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya. Tuhan Allah rupanya menghendaki agar masa terpisah dari anak istri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, menafsirkan Al Qur’anul Karim. Karena kalau saya masih di luar, pekerjaan saya ini tidak akan selesai sampai saya mati. Masa terpencil dua tahun telah saya pergunakan untuk sebaik-baiknya. Maka dengan petunjuk dan hidayah dari Allah Yang Maha Kuasa, beberapa hari sebelum saya dipindahkan ke dalam tahanan rumah, penafsiran Al Qur’an 30 Juzu’ telah selesai. Dan semasa tahanan rumah dua bulan lebih saya pergunakan pula buat menyisip mana yang masih kekurangan.”
Hamka juga ingat kisah Ibnu Taimiyah yang dipenjarakan dengan muridnya Ibnu Qayyim karena fitnah. Ia mengatakan kepada Ibnu Qayim, “Apakah lagi yang didengkikan oleh musuhmusuhku kepadaku? Penjara itu bagiku adalah untuk berkhalwat dan pembuangan adalah untuk menambah pengalaman. Orang terpenjara ialah yang dipenjarakan oleh hawa nafsunya dan orang yang terbelenggu ialah yang dibelenggu oleh syaitan.”
Ulama besar ini ditahan karena dituduh memberontak kepada penguasa dan ikut serta membela –dalam ceramahceramahnya—perjuangan PRRI oleh tokoh-tokoh Masyumi. Ia dituduh mengadakan rapat gelap di Tangerang pada 11 Oktober 1963.
Prof. Dr. Hamka mengungkapkan: ”Seketika menyusun “Tafsir” ini, baik selama dalam masa tahanan maupun setelah keluar dan menelitinya kembali, terkenanglah saya kepada tiga orang (bapak, guru dan istrinya -pen) yang amat besar peranan mereka di dalam membentuk pribadi dan wajah kehidupan saya, yang saya belum merasa puas kalau belum menuliskannya dalam permulaan “Tafsir ini”.
Mereka itu ialah pertama ayah dan guru saya yang tercinta, Almarhum Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah, yang sejak saya mulai terlancar dari perut ibu saya, mulai melihat cahaya matahari, beliau ingin sekali agar saya kelak menggantikan tempat beliau sebagai orang alim. Karena baik beliau sendiri, ataupun ayah beliau (kakek saya) Syaikh Muhammad Amrullah, atau kakek beliau Syaikh Abdullah Shalih, atau kakek yang di atas lagi yaitu Tuanku Pariaman Syaikh Abdullah Arif, adalah orang-orang alim belaka pada zamannya. Ayahku mengharap janganlah hal itu putus pada anak-anaknya dan sayalah yang beliau harap meneruskan itu.”
Hamka menyatakan bahwa ia tidak punya keahlian khusus sebenarnya untuk menulis tafsir. Ia, meskipun banyak menguasai ilmu agama dan telah menulis banyak buku tentang bahasa dan Islam, tapi ia bukan orang spesialis. Ia memberanikan diri menulis tafsir ini, karena menganggap ada kebutuhan yang diperlukan bagi para pemuda yang semangat menjalankan Islam dan ahli-ahli dakwah yang butuh bimbingan.
Ulama teladan ini menyatakan, “Penulis ‘Tafsir’ ini telah membaca syarat-syarat yang dikemukakan oleh ulama-ulama ikutan kita, untuk siapa-siapa yang hendak menterjemahnya, hendaklah tahu bahasa Arab dengan segala peralatannya, tahu pula penafsiran orang terdahulu, pula tahu Asbabun Nuzul, yaitu sebab-sebab turun ayat, tahu pula hal Nasikh Mansukh, tahu pula ilmu Hadits, terutama yang berkenaan dengan ayat yang tengah ditafsirkan, tahu pula ilmu Fiqh, untuk mendudukkan hukum.
Syarat-syarat itu memang berat dan patut. Kalau tidak ada syarat demikian tentu segala orang dapat berani saja mentafsirkan Al-Qur’an. Ilmu-ilmu yang dijadikan syarat oleh ulama-ulama itu alhamdulillah telah penulis ketahui ala kadarnya, tetapi penulis tidaklah mengakui bahwa penulis sudah sangat alim dalam segala ilmu itu.”
Perhatikanlah, sesungguhnya tuduhan, fitnahan, dan kesengsaraan telah diubah oleh HAMKA menjadi sebuah karya yang menggemparkan. Andaikata tidak dipenjara, tidaklah mungkin Tafsir Al-Azhar itu akan selesai.
Di Indonesia, selama dalam penjara (1965-1979) sastrawan Pramoedya Ananta Toer telah menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya. Novel tersebut adalah Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca yang mendapatkan sambutan luas, di dalam dan luar negeri.
“Pramoedya Ananta Toer dilahirkan dari ayah seorang guru. Nama aslinya, sebagaimana tertulis dalam cerita pendek semi otobiografi Cerita dari Blora, adalah Pramoedya Ananta Mastoer. Dia menghilangkan awalan Jawa “Ma” dari “Mastoer” karena dirasakan terlalu aristokratik, dan hanya menggunakan “Toer” sebagai nama keluarganya.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, Pram tergabung dalam kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta. Dia menulis cerpen serta buku di sepanjang karir militernya. Pada 1950-an Pram tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali dia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia saat itu. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Tindakan ini menciptakan friksi antara Pram dan pemerintahan Soekarno.
Semasa hidup, sastrawan kelahiran Blora tahun 1925 ini memang tak lepas dari terali penjara. Tahun 1965 hingga 1979, dia ditahan rezim Orde Baru dengan berpindah-pindah tempat, mulai dari penjara Jakarta, Tangerang, Nusakambangan, Semarang, Pulau Buru, dan Magelang. Pada pemerintahan Belanda pun dia pernah ditahan pada tahun 1947—1949. Nasib karyanya juga tidak lebih baik. Banyak hasil tulisannya yang dirampas Belanda, Inggris, bahkan pemerintahan Indonesia sendiri. Rezim Orde Baru pernah membakar dan merampas karyanya.
Pada tahun 1995 Pram mendapatkan Ramon Magsaysay Award. Sempat diberitakan, 26 tokoh sastra Indonesia tidak setuju dan menulis surat protes ke yayasan Ramon Magsaysay untuk mengingatkan reputasi gelap Pram sebagai “jubir sekaligus algojo Lekra” di masa Demokrasi Terpimpin. Mochtar Lubis bahkan mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah dianugerahkan padanya di tahun 1958.
Dalam berbagai opini di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra 1965. Mereka menuntut Pram untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran tidak terpujinya memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya pada masa paling gelap bagi kreativitas.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra 1965 itu tidak lebih dari golongan polemik biasa yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang kelewat jauh. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku.
Banyak dari tulisan Pram menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Beberapa tulisannya juga semi otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri.
Pram terus aktif sebagai penulis dan kolumnis.
Ramon Magsaysay Award dia peroleh untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Fukuoka XI 2000, dan pada 2004 mendapat Norwagian Author’s Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Dia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.
Deretan karya-karya tulisan Pram antara lain: Sepuluh Kepala Nica (1946, namun hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta 1947), Kranji-Bekasi Jatuh (1947, fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi), Perburuan (1950, pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949), Keluarga Gerilya (1950), Subuh (1951, kumpulan 3 cerpen), Percikan Revolusi (1951, kumpulan cerpen), Mereka yang Dilumpuhkan I & II (1951), Bukan Pasarmalam (1951), Di Tepi Kali Bekasi (1951, dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947), Dia yang Menyerah (1951, kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen), Cerita dari Blora (1952, pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953), Gulat di Jakarta (1953), Midah Si Manis Bergigi Emas (1954), Korupsi (1954), Mari Mengarang (1954, tak jelas rimbanya di tangan penerbit), Cerita dari Jakarta (1957), Cerita Calon Arang (1957), Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958), Panggil Aku Kartini Saja (1963, diberitakan dibakar oleh AD 13 Oktober 1965), Kumpulan Karya Kartini (1963, diberitakan dibakar oleh AD 13 Oktober 1965), Wanita Sebelum Kartini (1963, diberitakan dibakar oleh AD 13 Oktober 1965), Gadis Pantai (1962-1965), Sejarah Bahasa Indonesia, Satu Percobaan (1964), Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963), Lentera (1965, tak jelas nasibnya di tangan penerbit ), Bumi Manusia (1980, dilarang Jaksa Agung), Anak Semua Bangsa (1981, dilarang Jaksa Agung), Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981), Tempo Doeloe (1982, antologi sastra praIndonesia), Jejak Langkah (1985, dilarang Jaksa Agung), Sang Pemula (1985, dilarang Jaksa Agung), Rumah Kaca (1988, dilarang Jaksa Agung), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995), Arus Balik (1995), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997), Arok Dedes (1999), Mangir (2000), Larasati (2000), Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005).
Bumi Manusia adalah buku pertama dari empat novel yang berdiri sendiri. Novel dalam kuartet Buru ini meliputi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Keempatnya dihasilkan oleh almarhum Pramoedya Ananta Toer sewaktu dalam tahanan buangan di Pulau Buru. Melalui tetralogi Buru inilah Pram berkali-kali dicalonkan sebagai peraih Nobel Sastra.
Novel yang oleh adikalangan dianggap sebagai karya terbaik dari Pram ini mulai ditulis pada tahun 1975 secara sembunyi-sembunyi, dan diterbitkan pada tahun 1980 ketika dia dibebaskan dari Pulau Buru. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia untuk kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Bumi Manusia bertutur tentang perjalanan hidup seorang anak pribumi bernama Minke, cerminan pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakan pada jaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pram sebagai organisasi nasional pertama. Kisahnya berlatar Indonesia jaman penjajahan Belanda, antara tahun 1898 hingga 1918, di mana seorang anak pribumi dipandang rendah dan tidak setaraf dengan bangsa-bangsa Eropa, khususnya Belanda.
Minke adalah seorang pribumi yang cerdik, berpikiran terbuka. Dia mendapat pendidikan di sekolah elite HBS. Saat itu pengaruh modernisme dan pemikiran rasionalisme mulai merasuk ke Hindia Belanda. Pemikiran modern itu membawa pengaruh yang besar kepada Minke dalam memandang berbagai segi kehidupan. Salah satu yang mendapat perhatiannya adalah kehidupan Nyai Ontosoroh. Minke mulai menyelami sikap dan pemikiran kehidupan seorang nyai, istri simpanan seorang Belanda, yang pada masa itu dipandang rendah oleh masyarakat dan tidak punya hak di sisi undangundang. Watak Nyai Ontosoroh menjadi sumber penting yang mewarnai perkembangan pemikiran Minke.
Novel ini juga mengisahkan jalinan kisah cinta Minke dengan Annelis, putri Nyai Ontosoroh, dengan begitu apik. Sebuah kisah percintaan antar-ras dengan akhir cerita yang dikemas melalui kekalahan sang tokoh. Pengadilan Belanda tak menganggap perkawinan keduanya sah karena Annelis adalah peranakan Belanda. Walau Minke tahu meski status Annelis adalah istri resminya, posisinya akan tetap kalah di hadapan pengadilan rekaan Belanda, dan Annelis akan tetap dibawa ke Belanda. Minke maupun Nyai Ontosoroh tidak tinggal diam dan terus berupaya berjuang melawan sistem peradilan yang timpang.
Bumi Manusia berakhir dengan kisah yang menyayat hati dan kesan mendalam. Watak Minke yang bermula tumbuh sebagai seorang pengagum Eropa berakhir dengan tragedi yang diakibatkan oleh sistem Eropa yang dipujanya.
Saat diterbitkan, novel ini mendapat sambutan hangat hingga harus mengalami cetak ulang lebih dari 10 kali hanya dalam setahun. Novel ini juga telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa. Namun kemudian pada tahun 1981, Bumi Manusia dinyatakan sebagai bacaan terlarang di Indonesia karena dituding membawa paham Marxisme-Leninisme dan Komunisme.
Berbagai kalangan menyayangkan perlakuan semena-mena terhadap buku ini, karena diakui tak satupun ideologi marxisme yang menyusup dalam novel Bumi Manusia. Karya ini justru penuh dengan pesan kemanusiaan serta pembelaannya terhadap harkat dan martabat manusia. Bumi Manusia murni gambaran segi-segi kehidupan bangsa terjajah beserta segelintir manusianya yang mencoba meretas kesadaran pentingnya menuntut ilmu untuk kemajuan kehidupan bangsanya.
Novel-novel Pram memang seakan merupakan salah satu bentuk kemarahannya terhadap sistem, individu, organisasi dan pihak yang menindas, yang berlindung di balik sistem keadilan. Namun kesemuanya itu tak terlepas dari pandangan semasa hidup Pram yang selalu berpendapat pentingnya keberanian.
Keberanian penulis dalam menempuh resiko seorang diri untuk mengangkat hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat. Kondisi memprihatinkan rakyat di negara dunia ketiga membuat para penulis memikul tanggung jawab lebih berat. Pram sendiri menyayangkan generasi sekarang yang pemikirannya terlampau miskin dan tidak memiliki perhatian pada kemanusiaan.
Arswendo Atmowiloto lahir di Solo, 26 November 1948. Ia mulai menulis dalam bahasa Jawa. Sampai kini karyanya yang telah diterbitkan sudah puluhan judul. Ia sudah belasan kali pula memenangi sayembara penulisan, memenangkan sedikitnya dua kali Hadiah Buku Nasional, dan mendapatkan beberapa penghargaan baik tingkat nasional maupun tingkat ASEAN. Tahun 1979 ia mengikuti program penulisan kreatif di University of Iowa, Iowa City, USA. Dalam karier jurnalistik, ia sempat memimpin tabloid Monitor, sebelum terpaksa menghuni penjara (1990) selama lima tahun.
Pengalamannya dalam penjara telah melahirkan sejumlah novel—termasuk Projo dan Brojo ini, buku-buku rohani, puluhan artikel, dan catatan lucu-haru, Menghitung Hari. Judul tersebut telah disinetronkan dan memperoleh penghargaan utama dalam Festival Sinetron Indonesia, 1995. Tahun berikutnya, sinetron lain yang ditulisnya, Vonis Kepagian, juga memperoleh penghargaan serupa.
Dunia pertelevisian memang sudah menarik perhatiannya sejak ia memimpin tabloid Monitor. Karya-karyanya yang pernah terkenal seperti Kiki, Imung, Keluarga Cemara, Saat-Saat Kau Berbaring di Dadaku, dan Canting diangkat sebagai drama serial di televisi. Ia juga menulis buku Telaah tentang Televisi serta Mengarang Itu Gampang dan Mengarang Novel Itu Gampang yang belasan kali cetak ulang.
Ia kini masih tetap menulis skenario dan novel, sering tampil dalam seminar dan diundang ceramah, serta memproduksi sinetron dan film, termasuk film Anak-Anak Borobudur (2007). Selain buku, televisi, dan film, ia mengaku menyukai komik dan humor, dan sangat tertarik untuk terlibat dalam dunia anak-anak.
Pengalaman pahit Roy Marten di dalam penjara memberikan pelajaran penting baginya. Roy ingin membagi kisahnya itu dalam sebuah buku yang tak lama lagi siap beredar.
Banyak yang ingin dituangkan dalam bukunya nanti, yakni seputar teman-temannya senasib yang berlatar belakang pembunuh, pemerkosa, perampok, dsb. Ayah kandung Gading Marten ini berharap orang bisa mengambil manfaat dari bukunya tersebut. Yakni, supaya orang jangan pernah memakai narkoba dan bagaimana mengatasinya kalau sudah kena. Bagaimana juga berartinya keluarga, keluara itu sangat penting.
Menghasilkan lebih dari 400 karya seni rupa dan menjadikan penjara yang sempat dihuninya selama setahun sebagai studio seni, itu dibuktikan oleh Jatmiko. Dengan ratusan karyanya tersebut, 32 karya diantaranya dihadirkan Jatmiko ke ruang publik penikmat seni dalam pameran bertajuk Beautiful Accident di Elpueblo Cafe Yogyakarta sejak 20 hingga 27 Maret 2010.
Jatmiko atau yang akrab dipanggil Miko Malioboro menjadi salah satu orang dari sedikit individu yang mampu memaknai penjara menjadi tempat yang positif. Lebih dari itu, penjara menjadi sumber inspirasi bagi penciptaan karya seni.
Miko berhasil memaknai penjara bukan sebagai penjara. Namun ketika di penjara, ia memaknai tempat itu sebagai pesantren, kampus, laboratorium dan kawah condrodimuka sehingga ia bisa mengeksplorasi, kreatif serta membunuh waktu.
Bagi Miko, dalam hidup yang paling mahal adalah waktu. Bagaimana mengisi waktu baik diluar maupun didalam penjara. Kalau bisa berfikir seperti itu akhirnya dimanapun tempat bisa sama saja. “Bahkan kadang saat di dalam penjara saya mendapatkan kesempatan mempelajari sesuatu sehingga bisa fokus. Basic-nya adalah saya berfikir positif,” jelas Miko.
Tema pameran dihadirkannya sebagai wakil proses penciptaan karya-karya seni rupa dirinya saat harus tinggal di sel polisi dan juga sel Lapas. Beautiful Accident dihadirkan sebagai sebuah momen surprise yang mendatangi Miko ketika di penjara Poltabes berbagi sel sempit 3 kali 4 meter bersama enam sampai delapan orang. “Ketika mau nulis kaki dan tangan saya ada di kertas karena banyaknya orang lalu saya ikuti bentuk kaki bentuk tangan saya. Seperti “surprise”. Itulah beautiful accident,” jelas Miko.
Kaki dan tangan merukan obyek karya yang muncul pada 32 karya Miko yang diciptakan dengan menggunakan bolpoint dan kertas dengan ukuran yang kecil. Kaki dan tangan itu dihadirkan dalam sket-sket halus dan rapi. Menurutnya bentuk karya yang kecil ini karena keterbatasan dirinya saat berada di penjara.
Semua karya-karya Miko adalah penggambaran tentang cara berfikir positif melihat masa depan. Misalnya saja dalam sketsa berjudul Sel Rasa Alpokat yang menghadirkan figur tangan dibalik jeruji penjara. Miko menempelkan gambar juice alpokat didekat sketsa itu.
“Moment dalam penjara itu untuk mencuci bersih-bersih perilaku menyimpang. Lapas sebagai tempat mandi terhadap perbuatan menyimpang selama sekian puluh tahun di luar,” jelas Miko.
Sementara itu, Kurator pameran ini, Joko Budiyanto mengatakan, karya-karya Miko bukanlah karya-karya romantisme kehidupan penjara. Tetapi dengan karya-karyanya, Miko ingin membagi pengalaman spiritualnya selama di penjara.
“Melalui visual jari-jari tangan, kaki, terali besi dan purnama ia ingin bercerita tentang perbuatan-perbuatan si pemilik jari-jari tersebut sehingga harus di penjara, perjalanan Miko mungkin bisa memberi inspirasi kepada kita semua bahwa kita bisa lebih banyak berbuat untuk seni karena tidak didalam kurungan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah sosok yang lebih suka menggadaikan kemerdekaan fisiknya daripada harus menggadaikan kemerdekaan akal serta hatinya.
Nama besarnya tidak asing lagi di telinga kita. Terutama bagi mereka yang sering membaca buku-buku Islami. Sikapnya yang ngotot dalam memegang ajaran Islam, sering membawanya menginap di hotel prodeo. Dialah Taqiyyuddin Abu Abbas Ibnu Taimiyah, seorang pemikir yang dikenal dengan pandangan-pandangan salafinya.
Ahli fikih yang dijuluki Syaikhul Islam ini dilahirkan pada Senin, 10 Rabiul Awwal 661 H (22 Januari 1263) di Harran, Damaskus. Sedari kecil, Ibnu Taimiyah dikenal cerdas. Pada usia sepuluh tahun, masanya suka bermain dan membaca komik, Ibnu Taimiyah sudah membaca buku-buku utama tentang Hadis, seperti kitab Musnad Ahmad, Kutubus Sittah, Mu’jam Thabari. Selain itu, dia juga memelajari ilmu hitung, sastra Arab, menghafal Al-Quran, ilmu kalam, filsafat, dan fikih.
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat pada 748 H) bilang, “Dia (Ibnu Taimiyah) adalah lambang kecerdasan dan kecepatan dalam pemahaman terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah.
Bagi banyak orang, penjara boleh jadi dianggap ‘neraka’ dunia. Namun bagi Ibnu Taimiyah yang sudah empat kali menjalani hidup di balik jeruji besi, penjara adalah rahmat yang banyak memberikan kebaikan untuk dirinya dan orang lain. Selain mendongkrak produktifitasnya dalam menulis, banyak narapidana yang insyaf lalu menjadi muridnya selama mejalani masa hukuman. Kepada mereka, Ibnu Taimiyah antara lain mengajarkan agar mereka tetap iltizam (berpegang) kepada syariat Allah, selalu beristighfar, tasbih, berdoa dan melakukan amalan-amalan shalih.
Ibnu Taimiyah berhasil menyulap penjara menjadi ‘pondok pesantren’ yang dipadati kegiatan keagamaan. Bahkan banyak penghuni penjara yang sudah habis masa hukumannya ingin tetap tinggal di penjara bersama beliau agar bisa menimba ilmu Islam lebih dalam dari seorang Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah juga menuliskan kehidupan penjara dalam puisinya:
Apa yang akan dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya surgaku dan tamanku ada di dalam hatiku, yang bilamana aku bepergian keduanya selalu menyertaiku.
Sesungguhnya dalam diriku terdapat Al-Quran dan Hadits Nabi. Jika kalian membunuhku maka kematianku adalah syahid. Jika kalian mengasingkanku maka kepergianku adalah rekreasi. Jika kalian memenjarakanku maka penjaraku adalah tempat berkhalwat dengan Allah.”
Hingga wafatnya, Ibnu Taimiyah telah menulis sekitar 500 buku. Yang terkenal diantaranya; Manhaj As Sunnah, Majmu’ Al Fatawa, Muqaddimah fi Ushulul Tafsir, Arad ‘Alal Falsafah Ibnu Rusyd, dan Subut An Nubuwat. Beliau wafat pada tanggal 20 DzulHijjah th. 728 H. Semoga Allah merahmatinya.
Pada Januari 1980, Marina Nemat ditangkap pasukan Garda Revolusi Iran, yang saat itu berada bangku sekolah menengah dan masih berusia 16 tahun. Ia ditahan di penjara Evin, Teheran yang terkenal kejam. Atas tuduhan kejahatan politik, ia dijatuhi hukuman mati oleh rezim Khumaini.
Pengalaman di penjara itu ditulis kembali dalam Sandera Rezim Khumaini. Di dalam buku ini Marina meceritakan secara detail persitiwa demi pristiwa selama dalam penjara dan lolosnya dari hukuman mati.
Sebelum ditangkap oleh rezim Khumaiini, Marina hidup tenang bersama teman-temannya, Ia bersama teman-temannya beserta tetangganya hidup berdampingan saling menuai cinta meski beda agama. Tak ada yang harus dipersoalkan selain memberi dan menebar kasih sayang.
Situasi berubah ketika perpolitikan di Iran memanas antara Syah dan Khumaini. Demonstran dan pertikaian terjadi di manamana. Tidak berbeda, ketika Khumaini menjadi presiden. Banyak orang yang kehilangan anak, saudara, dan sanak familinya. Sebagai anak yang masih sangat lugu Marina tergugah untuk melakukan perlawanan dengan semua apa yang terjadi. Marina dan teman-temannya melakukan perlawanan mulai di sekolahnya. Ia melawan terhadap guru-gurunya karena hanya membicarakan dan mendoktrinnya tentang negara Islam dan politik bukan pelajaran yang diampu gurunya tersebut.
Pemerintahan Khumaini mendapatkan perlawanan dari organisasi Mujahidin al-Khalq kelompok kaum muslim kekirian yang sebelumnya mendukungnya. Anggotanya menentang kekuasaan tak terbatas Khumaini sebagai pempinan tertinggi Iran dan menyebutnya diktator. Akibatnya, pemerintahan Islam Iran menyatakan partai mereka ilegal.
Marina akrab dengan teman-temannya dari keluarga kedua organisasi atau kelompok tersebut. Akibatnya, aktivitas Marina dicurigai sebagai orang yang menentang pemerintah apalagi ia berdemontrasi terhadap kebijakan yang berada di sekolahnya. Khumaini melakukan sweeping terhadap orang-orang yang antirevolusi. Sehingga pada waktu terjadinya sweeping itu, ia ditangkap dan dibawa ke Evin. Ia harus rela meringkuk kesakitan dengan penyiksaan dalam jeruji besi.
Marina dipaksa mengakui tentang semua kegiatannya, baik di dalam maupun di luar sekolah. Ia tetap bertahan untuk tidak mengakui kesalahannya karena ia sadar bahwa ia tidak melakukan kesalahan apapun. Ia tidak bersekongkol dengan para pemberontak. Marina menjujung tinggi kebebasan manusia untuk mendapatkan segala apa yang berada di dunia ini tanpa harus menyakiti yang lain. Sikap toleransi dan menghargai terhadap perbedaan telah tumbuh mengakar pada dirinya.
Imbas dari kekeras-kepalaannya, ia dijatuhi hukuman mati. Ia harus dieksekusi dan mati dengan peluru bersarang di bagian tubuhnya. Tetapi, saat ia akan dieksekusi seorang interogator bernama Ali, yang memiliki kedekatan dengan Ayatullah Khumaini, membebaskannya dari maut hanya beberapa detik menjelang regu tembak memuntahkan peluru mereka. Lalu, Marina dipindahkan ke Ghezel Hessar, sebuah penjara kota Karaj, kurang lebih lima belas mil dari Teheran.
Di penjara ini, Marina menjalani hidup yang sangat sunyi, sepi dan terasa hambar. Ia selalu ingat kekasihnya, Andre dan kedua orang tuanya. Rasa cintanya terhadap Andre dan kedua orang tuanya diuji di tengah kecamuk batin yang remuk redam. Dengan kondisi seperti itu ia juga dibenturkan dengan bagaimana seluruh tahanan yang semua perempuan disiksa dan yang masih perawan diperkosa sebelum dieksekusi.
Derita Marina berakhir setelah Ali dibunuh rival politiknya. Dia pun bebas dari penjara. Pada 1991, ia pindah ke Kanada bersama suami barunya, Andre. Di sana lebih dari 20 tahun, ia mengubur kisahnya dan menyembunyikan trauma atas masa lalunya. Hingga akhirnya, meluncurkan memoar memilukan ini. Karya ini merupakan cara Marina berdamai dengan dunia dan kehidupan personal. Artinya, sebagai individu menghadapi drama maupun memandang hidup sebagai perempuan, anak, dan kekasih, serta penduduk yang hampir dari keseluruhan hidupnya tunduk dan hanya mengenal satu nama pemimpin negara, tetapi pada saat yang bersamaan memiliki idealitas, berusaha keluar dari kerangkeng kuat sekalipun.
Buku ini adalah karya perdamaian yang kaya akan seruanseruan kemanusian yang meliputi berbagai aspek kehidupan. Setiap lembarnya adalah sejarah kelam kehidupan manusia yang benci akan perang dan darah, rindu akan cinta dan perdamaian. Meski penulis dalam buku ini banyak bercerita tentang hidupnya di penjara, tetapi inilah potret kehidupan nyata, khususnya perempuan dalam kepungan ideologi, politik, dan agama
Buku berjudul ‘Katak Menembus Tempurung, 19 Kisah Inspiratif dari Balik Penjara’ ditulis 19 warga binaan lapas Yogyakarta, diluncurkan. Salah satu penulis buku Siantika Umayawati mengungkapkan buku tersebut dipersiapkan selama hampir tiga bulan.
Buku itu, menurut Siantika, bertutur tentang kehidupan para narapidana dan bagaimana upaya mereka untuk kembali menjadi manusia yang baik.
“Ini memang menggambarkan keadaan yang senyatanya. Tidak selamanya apa yang ada di balik jeruji besi itu sama dengan yang dibayangkan orang di luar sana,” tuturnya.
Ia sendiri harus menjalani pidana tujuh tahun penjara karena pembunuhan. Menurut penuturannya tidak selamanya kehidupan dalam penjara itu menjadi school of crime, tempat kungkungan dan tidak bisa berkreativitas. Namun pada kenyataanya, kehidupan di penjara bisa juga berkreasi.
Mein Kampf (Jerman “Perjuanganku”) ialah buku karya Adolf Hitler. Buku ini ditulis Hitler saat berada dalam penjara (setelah putsch yang gagal, pada 1923). Dalam buku ini, ia menggambarkan (berbicara tentang) pandangannya atas Jerman masa depan. Ia juga menggambarkan rencana masa depannya untuk bangsa Yahudi. Saat ia naik ke puncak kekuasaan, pada 1933, ia mewujudkan beberapa isi buku itu, berakibat dalam Holocaust. Buku ini tersedia bebas di kantor-kantor sipil selama masa pemerintahan Nazi di Jerman. Setelah PD II, buku ini dianggap ilegal untuk dijual di Jerman dan Austria.
Adolf Hitler mulai menancapkan taringnya dengan ide-ide super gila. Dalam kerangka sejarah sebagai catatan pertarungan ras – ras manusia, ia meyakini bahwa ras Arya-Jerman adalah pemimpin dunia. Ras-ras rendahan, seperti bangsa Yahudi dan Slavia harus dilenyapkan dari muka bumi. Pada titik itu mulai digelar teror “Labensraum” (konsep ruang hidup) dalam bentuk- bentuk ekspansi Jerman ke seluruh dunia.
Mein Kampf (Perjuanganku) yang dianggap sebagai Injil kaum Nazi. Mein Kampf ditulis di dalam penjara, yang memuat skenario Hitler agar Jerman dapat menguasai dunia. “Apa yang harus kita perjuangkan adalah untuk melindungi eksistensi dan reproduksi bangsa dan rakyat kita, pemeliharaan anak-anak kita dan pemurnian darah kita, kebebasan dan kemerdekaan tanah air, sehingga rakyat kita mungkin menjadi matang untuk pemenuhan misi yang diwajibkan padanya oleh pencipta jagat raya” (salah satu cuplikan yang paling populer dalam buku tersebut).
Selama bertahun-tahun Mein Kampf mewakili bukti kebutaan dan kecongkakan dunia. Karena dalam setiap halaman, Hitler mengumumkan – jauh sebelum dia memegang kekuasaan – sebuah program berdarah dan teror dalam sebuah pengungkapan diri yang sangat terbuka, sehingga dia mampu meyakinkan banyak pembaca untuk mempercayainya. Isi buku ini adalah mendemontrasikan bahwa tidak ada metode persembunyian yang lebih efektif darpada publikasi yang luas. Mein Kampf ditulis dengan rasa benci yang putih tetapi membara.
Nazaruddin Sjamsuddin tak menyangka pada peringatan hari kebangkitan nasional tahun 2005, ia ditahan atas tuduhan korupsi. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia itu pun harus mendekam dalam penjara, meski ia dinilai sukses menggelar pesta demokrasi lima tahunan di Indnesia (Pemilu).
Peristiwa itu digambarkan putra Bireuen itu dengan kata “Setelah dipuji, disanjung tinggi, lalu dibanting, dihempas ke bumi,” Nukilan itu ditulisnya dalam puisi sekaligus pengantar bukunya “Bukan Tanda Jasa, Sebuah Otobiografi”.
Buku setebal 668 halaman ini ditulis Nazaruddin Sjamsuddin selama mendekam dalam penjara, dieditoriali oleh putri ketiganya Sallika N Sjamsuddin. Meski sebuah otobiografi, buku terbitan Enesce ini mengungkap beragam peristiwa di lingkungan KPU yang dipimpin Nazaruddin Sjamsuddin kala itu.
Dalam enam bagian buku ini, Nazaruddin mengungkapkan berbagai peristiwa yang dialaminya di lembaga tersebut, mulai saat pertama dirinya bekerja di KPU sampai didakwa melakukan korupsi, dipenjara dan dibebaskan.
Nazaruddin seolah ingin bercerita bahawa ia korban dalam situasi waktu itu. Ia yang memimpin KPU di tengah konflik harus menuai beragam persoalan. Puncaknya pada gagasan penyediaan IT KPU yang kemudian menjeratnya dalam dakwaan korupsi.
Pada halaman 123 buku ini, Nazaruddin mengungkapkan bagaimana dirinya menjadi sasaran kecurigaan sejak Februari 2004. Gaya Nazaruddin dalam menulis buku ini dengan teknik bertutur dan dialog membuat buku ini enak dibaca.
Pada bagian lainnya di halaman 2003 pria kelahiran, Bireuen, 5 November 1944 ini dengan gamblang mengungkapkan upayanya melawan kelicikan di sekitar lingkungan KPU terkait pengadaan logistik pemilu dan pemangkasan harga. Bukan hanya politisi yang harus dihadapinya waktu itu, tapi juga serikat perusahaan percetakan yang memainkan harga cetak logistik pemilu.
Nazaruddin bagai diombang ambing antara kepentingan politisi tertentu dengan kepentingan ekonomi pengusaha percetakan. Namun ketegasannya untuk tetap berada di koridor membuat banyak orang yang tak suka padanya, hingga kemudian membuatnya terhempas dalam dakwaan korupsi. “Tapi berpantang turkan nestapa bukankan Allah menjanjikan bahwa di balik sesuatu musibah ada hikmahnya?” tulis Nazaruddin dalam buku tersebut.
Membaca buku Bukan Tanda Jasa ini, kita seakan dihadapkan pada berbagai peristiwa bangsa ini selama pergelaran Pemilu. Nazaruddin dengan runut dan rinci mengungkapkan ragam peristiwa tersebut, termasuk ragam peristiwa yang tak terekam media. Dengan gamblang ia mengungkap semua peristiwa yang dialaminya.
Bagian keempat buku ini merupakan bagian yang paling pelik dalam babakan kasus yang dialami Nazaruddin. Pada bagian ini ia bercerita bagaimana ia ditangkap KPK, dijebloskan ke rumah tahanan Polda Metro Jaya, diadili di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sampai divonis oleh Pengadilan Tipikor.
Namun Nazaruddin tak menerima begitu saja putusan itu, ia melakukan perlawanan dengan berbagai strategi, termasuk melalui permohonan uji materi dan masalah kekompakan di KPU sendiri.
Buku ini sangat cocok dibaca oleh setiap kalangang baik mahasiswa, akademisi maupun politisi. Namun sebagai sebuah biografi, buku ini tetap saja memiliki kelemahan, karena hanya ditulis dari satu versi saja, yakni versinya Nazaruddin. Semoga buku ini bisa menjadi pancingan untuk memunculkan buku lainnya dalam menguak beragam peristiwa yang belum terungkap seputar pelaksanaan Pemilu di Indonesia.
Dia baru berusia dua tahun ketika dinobatkan sebagai kaisar, dalam suasana kerajaan yang penuh intrik dan gejolak.
Pada 2 Desember 1908, di Aula Kedamaian Istana Terlarang, ribuan orang berkumpul menghadiri upacara penobatan kaisar baru. Upacara biasanya memakan waktu sepanjang hari. Sebelum penobatan, kaisar baru harus menerima para pemimpin tentara istana, menteri, pejabat sipil dan militer, raja kecil, serta gubernur untuk melakukan kowtow (penghormatan).
Belum juga usai, sang kaisar sudah kelelahan. Dia menjerit, menangis, dan meraung-raung. Wali kaisar, yang tak lain adalah ayahnya, gelisah. Setengah berbisik dia membujuk anaknya: “Jangan nangis. Yang sabar ya. Semuanya segera selesai. Semuanya akan usai.” Beberapa orang yang mendengar bisikan itu berkata: “Ini adalah pertanda buruk.”
Henry Pu Yi, kaisar baru itu, yang lahir pada 7 Februari 1906, baru berusia dua tahun. Dia menggantikan kaisar lama yang mati dibunuh pendukung republik.
Pu Yi jadi penerus Dinasti Qing dalam situasi penuh prahara. Kaum revolusioner republik sedang gencar mengupayakan perubahan sistem pemerintahan China dari monarki menjadi republik. Seorang penasihat istana bernama Yuan Shih Kai menjadi musuh dalam selimut dalam pemerintahan Pu Yi.
Pada 12 Februari 1912 Yuan berhasil memengaruhi janda permaisuri Lung Yu untuk menjatuhkan pemerintahan Pu Yi. Yuan lalu membentuk pemerintahan republik sementara dengan dia sebagai presidennya. Segala urusan politik dan ekonomi kerajaan berada di bawah pengaturan Yuan.
“Aku kaisar yang berkuasa dalam suasana seperti itu selama tiga tahun lamanya, tanpa adanya kesadaran yang nyata akan situasi politik,” kata Pu Yi dalam otobiografinya.
Pu Yi jadi kaisar tanpa titah. Dia menjalani hidup sebagai seorang interniran di Istana Terlarang. Tapi dia masih memperoleh hak pelayanan sebagai kaisar dan menjalankan tradisi kerajaan berdasarkan Perjanjian Perlakuan Baik yang dibuat ayahnya dan Departemen Rumah Tangga dengan pihak republik. Di sisi lain, keluarga Qing berjanji akan terus mendukung Yuan sebagai kaisar bila dia memegang teguh perjanjian itu. Tapi Yuan keburu meninggal dunia, hanya 83 hari setelah memegang kekuasaan sebagai kaisar.
Banyak orang percaya itu adalah kutukan langit karena dia telah merebut kepemimpinan “Putra Langit” secara tidak sah. Berita kematiaannya disambut penuh sukacita oleh para penduduk Kota Terlarang. Kematian Yuan memunculkan kembali kerinduan masyarakat Kota Terlarang, bahkan sebagian masyarakat China, terhadap pemerintahan Dinasti Qing. Mereka menuntut restorasi pemerintahan. Pada 1917 restorasi Dinasti Qing mencapai puncaknya. Pu Yi kembali menjadi kaisar penuh.
Tapi masa-masa indah itu hanya berlangsung sesaat. Kaum revolusioner republik kembali menyerang Istana Yu Ching milik Dinasti Qing dengan menggunakan kekuatan udara –yang pertama dalam sejarah China. Setelah itu pemerintahan republik mengeluarkan dekrit yang menurunkan tahta Pu Yi sebagai kaisar. Kecuali di Istana Terlarang, Pu Yi kembali kehilangan kekuasaannya.
Beruntung Pu Yi memiliki banyak tutor yang kelak mempengaruhi pikiran-pikirannya. Salah satunya Reginald Fleming Johnstone, alumnus Universitas Oxford Inggris. Melalui dirinya Pu Yi belajar berbagai hal mengenai dunia Barat. Keduanya kerap berdiskusi soal kondisi dan sistem politik di sejumlah negara, kekuatan negara setelah Perang Dunia I, hingga kebiasaan keluarga kerajaan Inggris.
“Kurasa dia tak pernah menyadari seberapa dalam pengaruh dirinya terhadap diriku; bahwa stelan wolnya membuatku mempertanyakan nilai kain sutera dan brokat China; dan pulpen di dalam sakunya membuatku malu menggunakan kuas dan kertas Chinaku,” kenang Pu Yi.
Kekuasannya yang terbatas hilang ketika pemerintahan republik mengumumkan berakhirnya Perjanjian Perlakuan Baik. Kedudukan Pu Yi sebagai kaisar dicabut; hanya rakyat biasa. Pu Yi kemudian melarikan diri ke Tietsin, sebuah daerah yang masih menjadi wilayah konsesi Jepang atas China. Di sini Pu Yi berusaha mengonsilidasikan kembali sisa-sisa pengikut setianya. Tutor-tutor Pu Yi meyakinkannya bahwa restorasi hanya bisa terwujud dengan bantuan Jepang.
Jepang sendiri mendekati Pu Yi dengan mengundangnya berkunjung ke sebuah sekolah untuk anak-anak Jepang dan pesta ulang tahun Kaisar Jepang. Bahkan pada 1934 Jepang mengangkat Pu Yi sebagai kaisar boneka di Machukuo di utara China untuk memuluskan berbagai kepentingan Jepang di China. Pada masa ini, melalui stempel Pu Yi, Jepang menggulirkan kerja paksa hingga puluhan ribu rakyat China tewas. Jepang juga kemudian berhasil menduduki wilayah Beijing. Tapi, ibarat kacang lupa kulitnya, Jepang lalu mencabut kekuasaan Pu Yi.
Pernah bekerja sama dengan Jepang, Pu Yi dicap sebagai kolaborator. Pada 1945, dalam suasana Perang Dunia II, Pu Yi ditangkap pasukan Soviet dan dibawa ke Chita, Siberia. Selama tujuh hari berturut-turut Pu Yi diperiksa di pengadilan penjahat perang.
China sendiri sudah berubah. Pada 1 Oktober 1949, Mao Tse Tung resmi membentuk Republik Rakyat China. Pu Yi sendiri baru menikmati kemerdekaan dirinya sepuluh tahun kemudian ketika Mao mengumumkan pemberian amnesti kepada para tahanan perang, termasuk Pu Yi.
Buku ini ditulis oleh Pu Yi di dalam penjara. The Last Emperor, otobiografi Henry Pu Yi ini, menceritakan pengalaman hidupnya yang luar biasa: penobatannya sebagai kaisar pada usia sangat muda, hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya, korupsi yang menggerogoti kerajaan, menjadi “boneka” penguasa Jepang, mendekam di penjara sebagai tawanan perang, hingga menjadi tukang kebun di mana hanya sedikit orang yang mengenalnya sebagai “Putra Langit”. Selain itu, buku ini menjelajahi perjalanan sejarah China dalam memasuki era modern. Buku ini mengilhami film dengan judul sama, disutradarai Bernardo Bertolucci, yang meraih 9 Piala Oscar.
Pada 17 Oktober 1967, Pu Yi wafat dan dimakamkan di samping makam kaisar sebelumnya, Kaisar Kuang Hsu.
Kesengsaraan, kesusahan, dan penderitaan adalah hadiah berharga dari Tuhan agar jiwa manusia semakin kuat. Dan inilah yang dialami oleh seorang Trainer dan Motivator Trenbiz International bernama Ayi Mujayini E.K.
Sebelum menjadi orang sukses dan melahirkan karya “Indahnya Berbisnis dengan Tuhan”, yang diterbitkan oleh Fatihah Publishing, Tangerang, ia menulis dalam bukunya bahwa hidupnya penuh dengan penderitaan. Tahun 1987 ia merantau ke Jakarta. Sebelum mendapatkan ongkos ia harus menjadi kuli panggul singkong. Untuk menjualnya saja ia harus berjalan dari kampungnya Mariuk, Jampang, Sukabumi sejauh 25 km. Bayangkan…25 km dengan berjalan kaki. Jalannya pun tidak mulus. Jalan setapak dan curam.
Sesampainya di kota Metropolitan, Ayi menjadi kernet jahit. Setiap malam tidur beralaskan bahan levis dan terkadang tidur di atas mesin obras. Ruangannya sangat sempit, bau, panas dan pengap. Tiga bulan kemudian terdampar di sebuah panti asuhan.
Ujian semakin terasa berat ketika tahun 1995. Saat itu ayah Ayi sakit reumatik kronis dan TBC berat. Sungguh ia sangat sedih karena tidak mampu membiayainya di rumah sakit. Tiga tahun kemudian sang ayah meninggal dunia dalam usia yang masih sangat muda (43 tahun). Ayahnya wafat meninggalkan empat anak yang masih bersekolah. Akhirnya semua tanggung jawab sang ayah berpindah ke pundaknya sebagai anak laki-laki tertua.
Begitulah, ujian terus menguatkan Ayi. Ia sempat berhenti sekolah. Namun karena doa orang tua dan orang-orang di sekelilingnya ia mampu menyambung sekolah di Darun Najah Jakarta. Usia 19 tahun–berkat karunia Allah–ia mendapatkan beasiswa kuliah ke Kuwait.
Kalaulah hidup Ayi Muzayini E.K. mulus-mulus saja. Hidup dalam kemanjaan, barangkali buku Indahnya Berbisnis dengan Tuhan yang begitu menggugah tidak akan hadir ke tangan saya dan Anda. Dan tentunya saya dan Anda tidak akan bisa mengetahui siapa Ayi Muzayini itu dan bagaimana perjalanan hidupnya yang menginspirasi itu.
King, ditinggalkan ayahnya ketika berusia tiga tahun. King dan kakaknya dibesarkan oleh ibunya yang bekerja di restoran untuk menghidupi mereka.
Di usia tujuh tahun, King telah menulis cerpen pertamanya. Ia telah menjadi penggemar film horor di masa remaja. Selama di sekolah menengah, ia tidak begitu istimewa. Ia bukan orang terpandai atau orang terbodoh di kelasnya.
Di tahun pertamanya di universitas, ia berhasil menyelesaikan novel pertamanya. Ia menyerahkannya kepada penerbit, tetapi ditolak. Penerbit menolak novelnya dengan reaksi yang buruk, yakni membuang buku itu. Di waktu lain, ia berhasil menjual ceritanya yang lain hanya dengan harga US$ 35.
Di bulan Juni 1970, King lulus dari Universitas Maine dengan gelar sarjana muda sastra Inggris dan ijazah untuk mengajar di sekolah menengah. Karena tidak berhasil menjadi guru, ia menerima pekerjaan tidak tetap sebagai buruh di sebuah industri pakaian. Bahkan, ia pun mau bekerja sebagai penjaga pom bensin untuk upah sebesar US$1.25 per jam.
Di bulan Januari 1971, ia menikah. King memenuhi kebutuhan hidupnya dengan uang hasil penjualan cepennya ke majalah pria dan uang simpanannya. Bahkan, di satu waktu, ia harus memakai uang pinjaman dari siswa istrinya.
Di musim gugur tahun 1971, ia berhasil mendapat pekerjaan sebagai guru di Akademi Hampden dengan pendapat US$ 6,400 per tahun. Ia menulis cerpen di malam hari dan di akhir minggu. Ia terus menulis cerpen dan novel untuk menaikkan pendapatannya. Kebanyakan dari hasil karyanya ditolak.
Suatu hari, ia mulai menulis sebuah cerita tentang gadis remaja bernama Carietta White. Setelah menyelesaikan beberapa halaman dan mengingat banyaknya penolak yang telah ia alami, ia berpendapat bahwa cerita ini tidak bagus. Ia remas kertas itu dan dilemparnya ke tempat sampah. Istrinya mengambil kertas-kertas itu, membacanya dan mendorong dia untuk menyelesaikanya. Akhirnya, novel itu selesai di bulan Januari 1973.
Novel itu sangat menarik bagi para penerbit. Akhirnya, hak untuk menerbitkan novel yang berjudul Carrie itu diperoleh New American Library seharga US$ 400,000,00 pada tanggal 12 Mei 1973. Dengan pendapatan sebesar itu, Stephen King memutuskan akan mengoftimalkan waktunya untuk menulis novel dan berhenti mengajar. Sekarang, Stephen King adalah pengarang buku paling sukses. Bukunya telah diterjemahkan ke dalam 33 bahasa, diterbitkan di 35 negara, dan telah dicetak lebih dari seratus juta buku.
Pada satu waktu, kelima bukunya pernah masuk dalam daftar “New York Times Best Sellers”. Menurut majalah Forbes, ia adalah pengarang terkaya di dunia. Di tahun 1996 saja, pendapatannya sebesar US$ 84 juta. Banyak hasil karyanya yang telah difilmkan ke layar lebar, antara lain: Carrie, The Dead Zone, The Sining, Christine, Salem’s Lot, Firestarter, Cujo, Misery, The Shawshank Redemtion, dan The Green Mile.
Demikianlah, penderitaan, kepedihan dan penolakan telah membawa hikmah bagi seorang King dengan lahirnya karyakarya best seller.
Selama ini orang barangkali hanya menikmati pilihan warna dan teknik sapuan kuas Ahmad Sadali (1924-1987) dalam lukisan-lukisan abstraknya. Padahal, Karya-karya itu sebenarnya merefleksikan penderitaan yang dialami Sadali selama hidupnya.
Penderitaan utama Sadali adalah rasa kehilangannya terhadap anak-anaknya. Atikah, istri Sadali, telah sepuluh kali melahirkan, tapi hanya satu anaknya yang hidup hingga kini, yakni Ravi Ahmad Salim. “Emosi-emosi itu dia tuangkan dalam karyanya.”
Setiap kali Sadali ingin melukis, dia akan mendahuluinya dengan berdoa dahulu dan salat tahajud. Dia kemudian akan melukis hingga waktu Subuh tiba dan akan kembali melukis setelah pukul 08.00. Dia menggunakan sebagian jam tidurnya untuk melukis.
“Alhamdulillah, akhirnya penyakit ini bagi teteh malah merupakan berkah. Mungkin teteh gak akan jadi seorang penulis kalau gak thallassemia, ya kan?” (Pipiet Senja)
Nama Pipiet Senja sudah dikenal di seluruh pelosok Indonesia, terutama bagi anggota Forum Lingkar Pena. Namun sepertinya masih jarang yang tahu nama aslinya. Etty Hadiwati Arief ialah nama aslinya. Ia lahir di Sumedang, 16 Mei 1957 dari pasangan Hj. Siti Hadijah dan SM. Arief (alm). Ia mulai menulis sejak remaja. Semenjak kecil hingga remaja ia sudah suka baca karya sastra seperti Old Sutherhand karya Karl May, Winetou, komik-komik wayang Kosasih, cerita silat Kho Phing Ho, sajaksajaknya Ajip Rosidi, WS.Rendra, Kuntowijoyo, Abdulhadi WM, Charles Dicksen, Emille Zola, Barbara Cartland, Sidney Sheldon, dan masih banyak lagi. Keluasan wawasannya mengenai karya sastra sangat mempengaruhi pada penulisan karyanya sendiri. Daya tampung otaknya seolah-olah tak muat lagi untuk diisi, maka jalan satu-satunya adalah menulis. Tak aneh jika aktivitas menulisnya tak pernah off. Kurang lebih 55 buah buku telah ia hasilkan sejak tahun 1975.
Dan perlu pembaca ketahui ia mengenyam pendidikan formal hanya sampai kelas dua SMU, selebihnya ia belajar dari kehidupan. Menulis pun ia belajar sendiri alias otodidak. Sebelum terjun menjadi penulis professional, ia pernah juga mencicipi berbagai pekerjaan di antaranya menjadi pramuniaga toko buku, dengan alasan ingin banyak baca buku dengan gratis, pernah pula ia jadi penyiar radio daerah, dan terakhir, menjadi reporter tabloid Mutiara, Selecta Group.
Ia tak setuju kalau pandai menulis itu karena bakat. “Kan sebenarnya bakat itu hanya sekian persen, selanjutnya tergantung motivasi penulisnya. Apakah dia memang kepingin menjadi seorang penulis, atau cuma coba-coba, motivasi. Ini sungguh modal awal!” ujar Pipiet saat ia diwawancara oleh kru Kafemuslim.com. Dan untuk membuktikannya ia melatih putrinya menulis yang masih berusia 16 tahun, Adzimatinnur Siregar. Dan ajaib, putrinya itu telah menghasilkan lebih dari 5 buku., yang salah satunya berjudul Amerika Siapa Takut!
Satu hal yang membuat saya terkesan dan terenyuh tentang cerita Pipiet Senja ini, ialah perjuangannya melawan penyakit thallasemia. Thallassemia adalah penyakit genetis, sejak lahir ia sudah membawa gen thallassemia. Kelas enam SD Pipiet sudah mulai ditransfusi setiap dua-tiga bulan sekali hingga sekarang.
Penyakit ini tidak ada obatnya kecuali ditransfusi darah, dan setelah itu ia harus memakai desferal, namanya syringedriver yang ditempelkan di perut untuk mengalirkan obat desferal selama sepuluh jam. Setelah demikian ia sudah tak bisa apa-apa. Namun yang membuat saya salut adalah ketetapannya menulis walau keadaan seperti itu, bahkan lebih produktif lagi. Seolaholah ia ingin melawan penyakitnya dengan menulis, bahkan ia mengatakan,“Alhamdulillah, akhirnya penyakit ini bagi teteh malah merupakan berkah. Mungkin teteh gak akan jadi seorang penulis kalau gak thallassemia, ya kan?”
Baginya, penyakit bukanlah halangan untuk merangkai kata, kalimat dan menjelma menjadi cerita. Dan lantaran semangatnya untuk terus menulis—walau keadaan sakit—ia mendapat julukan sebagai pengarang Prolifik. Kapan dan dimana pun ia bisa menulis, “Insya Allah, saya bisa menulis di mana saja dan kapan saja. Kalau saya lagi diopname di rumah sakit, saya suka bawa-bawa mesin ketik yang kuberi nama si denok.
Nyuri-nyuri waktu dari dokter atau suster, pas mereka meleng, teteh ngederektek aja nulis”, ujar Pipiet dengan logat sundanya yang masih kental. Ia pun sudah terbiasa bangun pukul tiga dinihari. Setelah sholat malam, ia langsung menulis hingga subuh.
Bagi Pipiet, inspirasi pun tidak perlu dicari kemana-mana. Ia akan datang sendiri. Misalnya, ketika ia jalan ke rumah sakit, bertemu pasien kanker yang divonis tinggal beberapa bulan lagi. Maka dari situ ia bisa membuat cerpen atau novel yang temanya penderitaaan seorang ibu karena mengidap kanker.
Perjalanan hidupnya telah ia tulis dalam buku yang berjudul “Cahaya di Kalbuku: Sebuah Memoar Pipiet Senja”. Baginya menulis adalah sebuah proses penyembuhan dan pencerahan yang membuat ia terus hidup dan selalu optimis menghadapi kenyataan yang penuh lika-liku. “Hidupnya memang untuk menulis bahkan suatu ketika dia pernah mengatakan kalau tidak menulis dia tidak akan hidup,” komentar Izzatul Jannah saat ia berbicara tentang Pipiet Senja.
Nama Pipiet Senja telah diabadikan di buku Pengarang Peneliti di Indonesia sebagai profil perempuan pengarang, dan Penulis Perempuan Indonesia, (ed. Korrie Layun Rampan). Di antara karya-karyanya yang terbaru ialah Namaku May Sarah, Riak Hati Garsini, Dan Senja Pun Begitu Indah (novelet bareng
Mariam Arianto, Asy-Syaamil), Serpihan Hati, Menggapai KasihMu, memoarnya Cahaya di Kalbuku, Lukisan Rembulan, Trilogi; Kalbu, Nurani, Cahaya (Mizan), Kidung Kembara, Tembang Lara, Rembulan Sepasi, Rumah Idaman (Gema Insani Press).
Fakta ini, sekali lagi menegaskan bahwa penyandang cacat pun bisa jadi penulis. Termasuk orang yang kedua tangan dan kakinya tak dapat berfungsi. Seperti dialami Ratna Indraswari Ibrahim, akibat penyakit radang tulang (rachitis) ia hanya mampu duduk di kursi roda. Dengan kondisi tersebut, segala keperluannya harus dilayani.
Kendati demikian, ia senantiasa tetap bersyukur, tak pernah menghujat takdir yang menimpa dirinya. “Masih untung otak saya selamat, tidak diserang virus. Jadi, saya masih bisa berpikir dan berbuat sesuatu,” katanya.
Sepintas melihat keadaan Ratna Indraswari yang tak berdaya, orang akan mengira dia tidak bakal bisa berbuat apaapa. Nyatanya, tulisan dia sering menghiasi lembaran media massa. Bahkan, sebagian telah dibukukan seperti Kado Istimewa, Menjelang Pagi, Namanya Massa, Lakon di Kota Senja, Sumi dan Gambarnya (kumpulan cerpen) dan Lemah Tanjung (novel).
Lalu, bagaimana proses dia menulis kalau tangan dan kakinya tidak dapat digerakkan? Caranya, Ratna mendiktekan cerita, si asisten yang mengetikkan. Begitulah ia mensiasati keterbatasan fisiknya. Sebab, sebagaimana sering saya tekankan menulis itu sekadar menuangkan isi pikiran dan perasaan ke dalam bentuk tulisan. Tak perlu persyaratan dan aturan yang ribet.
Coba renungkan, mereka yang cacat saja mampu eksis menjadi penulis, masak kita dianugerahi kesehatan prima, kelengkapan organ tubuh, kalah dengan mereka? Karena itu, tancapkanlah keyakinan bahwa Anda pun bisa jadi penulis.
Seorang penderita locked-in syndrome hidup seperti dalam kepompong mahaberat, membungkus tubuhnya begitu ketat, sampai ia merasa dirinya disemen pada tembok. Dia hanya bisa diam di tempat, seluruh tubuhnya mengalami stroke, lumpuh total, tapi pikiran dan perasaannya normal. Dia gagal memerintahkan saraf dalam tubuhnya agar bergerak. Dengan pikiran dan imajinasi itu dia masih bisa mengembara ke manapun mau. Dia mengomentari segala yang dia lihat dengan mata kirinya—satu-satunya organ masih berfungsi, bersama kedipannya. Penyakit ini merupakan kondisi yang luar biasa jarang terjadi. Salah satu penderitanya ialah Jean-Dominique Bauby, orang Prancis.
Sutradara Julian Schnabel memfilmkan kehidupan dan pikiran Bauby berdasarkan skenario karya Ronald Harwood, dengan Mathieu Amalric berperan sebagai Bauby. Film itu sepenuhnya berbahasa Prancis, dengan subtitle Inggris. Film itu langsung mengingatkan aku pada film My Left Foot (karya sutradara Jim Sheridan, 1989), ketika Daniel Day-Lewis berperan sebagai Christy Brown, seorang penyair-pelukispenulis penderita cerebral palsy, yang hanya bisa menggerakkan kaki kirinya. Upaya keras Bauby sebagai penderita stroke parah yang menuliskan pikiran dan perasaan dalam sisa hidupnya menjadikan kisah itu luar biasa. Schnabel cukup mengeksploitasi sisi itu.
Bagaimana Bauby menulis buku, padahal dia hanya bisa mengedip? Dia cuma bisa memberi dua kode kepada orang lain: satu kedip untuk “ya”, dua kedip untuk “tidak.” Lelaki kelahiran 1952 ini menggunakan cara berkomunikasi yang diajarkan pihak rumah sakit, terutama oleh Henriette Durand. Durand mula-mula melatih Bauby untuk terbiasa dengan huruf yang paling sering digunakan dalam percakapan Prancis, lantas satu demi satu huruf diucapkan sambil bertatapan, untuk memastikan bahwa huruf itu yang ingin didiktekan Bauby. Segera setelah Bauby terbiasa dengan cara itu, orang-orang di dekatnya, terutama dokter, perawat, pembaca buku untuknya, juga ibu dari anak-anaknya menggunakan cara berkomunikasi tersebut.
Secara harfiah Bauby mengetik dengan mengedip, sehuruf demi sehuruf. Dalam proses penulisannya, dia berutang besar kepada Claude Mendibil, seorang pegawai penerbit Robert Laffont yang dipekerjakan untuk menuliskan imajinasi dan pikiran Bauby. Sebelum sakit, Bauby memang punya kontrak dengan penerbit tersebut. Awalnya pihak penerbit juga ragu, “Bukankah dia tidak bisa bicara?” “Tapi bukan berarti dia tidak bisa berkomunikasi,” yakin Durand. Dulu dia ingin menulis kisah tentang balas dendam berdasarkan novel The Count of Monte Cristo (Alexandre Dumas, père) dengan tokoh utama seorang wanita.
Penulisan dalam kasus Bauby merupakan proses yang betul-betul menguras energi, kesabaran, dan waktu. Mereka harus mengulang setiap awal huruf, seperti kita harus mengucapkan ABCD sampai Z sebelum memastikan memilih awalan huruf dan memulai kata. Mereka sering bekerja lima jam per hari. Selama masa perawatan itu mereka mengerjakan buku itu, mengedit, dan merevisi, dua tahun lebih lamanya. Akhirnya buku tersebut terbit berjudul Le scaphandre et le papillon, setebal kira-kira 130-an halaman.
Bauby seorang pembaca sastra yang kuat. Dia membaca karya Honore Balzac, dan terutama The Count of Monte Cristo. Dia hedonis, suka keindahan dan kenikmatan, suka berimajinasi tentang segala hal, kecuali yang berbau agama. Dalam kehidupan mudanya yang cemerlang, dia jurnalis di majalah fashion perempuan Elle, sampai menjadi editor-in-chief. Elle bukan saja populer, ia merupakan majalah terkemuka, franchisenya ada di mana-mana, termasuk Indonesia. Alih-alih menulis tentang balas dendam, Le scaphandre et le papillon lebih merupakan memoar, berisi tentang pengalamannya sebagai penderita locked-in syndrome yang dirawat di rumah sakit di pinggir pantai, hubungan dengan ibu dari ketiga anaknya, anakanaknya, kawan-kawan baiknya, sekelumit kerjanya di Elle, makanan favoritnya, dan upaya memahami wanita. Meski sukses, dia tampak kurang terkesan dengan karirnya selama di Elle atau bagaimana dia dahulu menulis secara normal. Tapi minimal, di sana dia memperoleh kemewahan dan sosialita kelas satu. Dia lebih suka bercerita tentang orang-orang yang dia sayangi.
“Buku itu tiada kecuali ia dibaca,” demikian kata Bauby. Maka Bauby memilih mengutarakan pikirannya, perasaannya, alih-alih membicarakan atau mengeluh soal sakitnya. Untuk ukuran orang sakit mengerikan, dia cukup humoris. Bagaimanapun, yang tersisa dari dirinya hanyalah pikiran dan kenang-kenangan. Itulah yang dia ceritakan. Menjadi penderita stroke yang sia-sia mau melakukan apa-apa, bergantung sepenuhnya pada pertolongan orang lain, dia merasa dirinya sebagai bayi berumur 42 tahun.
Film The Diving Bell and the Butterfly mula-mula bercerita dan bersudut pandang kamera dari Bauby. Jadi penonton melihat dari matanya, mendengar suara dan pikirannya, merasakan penderitaannya. Tapi lama-lama sudut pandang film meluas, dan akhirnya penonton menyaksikan kisah tentang kehidupan dan keluarganya. Dia punya ayah yang sama-sama merasa sakit locked-in syndrome, hanya saja dia terkurung di apartemen. Bauby punya tiga anak dari seorang perempuan yang tidak dia cintai, karena itu tidak dia nikahi. (“Dia bukan istriku, dia ibu dari anak-anakku,” tegasnya.) Memang agak aneh seseorang sampai bisa punya tiga anak dari seorang wanita yang tidak dicintai, meskipun perempuan itu tampak perhatian, tetap tampak intim merayakan Hari Ayah, dan bila bertemu dengan anak-anaknya, dia jadi ayah yang ramah. Seorang perempuan lain juga mencintai Bauby, tapi dia tak tega melihat Bauby dalam keadaan sakit. Menurut Wikipedia, film ini menyisakan kontroversi soal akurasi tentang perempuan dalam hidup Bauby. Schnabel tampak sengaja mengubah untuk alur drama, atau mungkin dia ingin menunjukkan kasih sayang keluarga yang lebih utuh dan mengharukan.
Di ujung film Bauby ingat kembali bagaimana saat dirinya terkena stroke. Pada Jumat, 8 Januari 1995, ia berangkat ke bioskop dengan anak sulungnya, mengendarai mobil super mewahnya, sambil bicara sebagai sesama lelaki. Di tengah jalan, dia merasa ada yang salah dengan tubuhnya, membuatnya segera berhenti di pinggir jalan. Anaknya panik menyaksikan serangan mendadak itu, sebab Bauby bukan perokok dan peminum. Dia bukan lelaki dengan ciri-ciri kemungkinan terkena penyakit mengerikan seperti itu. Dia koma sekitar dua puluh hari, dan setelah bangun mendapati dirinya gagal mengucapkan sepatah kata pun. Pada dua puluh minggu pertamanya setelah stroke, dia kehilangan bobot 27 kg.
Kalau kita mengabaikan Bauby yang menderita, isi film ini mungkin biasa saja. Pada dasarnya cerita dia seperti mengawang-awang, dia banyak membicarakan mimpi, imajinasi, mengomentari ini-itu, meluapkan perasaan. Schnabel memvisualisasikan imajinasi Bauby dengan bagus sekali. Di Festival Film Cannes dan Golden Globe Award dia memenangi sutradara terbaik, sementara di Academy Award dia mendapat nominasi untuk kategori itu. Dua film terkemuka lain karya Schnabel ialah Basquiat dan Before Night Falls. Mathieu Amalric juga bermain bagus. Tapi karena perannya, gerak tubuhnya minim. Ini membuatnya jadi kurang eksploratif bila dibandingkan Daniel Day-Lewis yang tampak kepayahan berusaha menggerakkan kaki kiri atau badan lain dalam My Left Foot. Bedanya lagi, dulu Bauby sempurna, dia pencinta perempuan, kenyang dengan pengalaman itu; sementara Christy Brown cacat sejak awal, dia ditertawakan ketika akan mengucapkan perasaan pada perempuan.
Perjuangan seseorang mengatasi rintangan hidupnya bisa jadi merupakan hal klise. Ada teman berkomentar, “Tapi seberat atau seringan apa pun perjuangan orang, membuat kita sering salut. Kita sulit menghakimi mereka. Karena kadang-kadang yang ringan menurut kita, mungkin berat buat orang lain. Begitu sebaliknya. Bisa jadi, semangatlah penyebabnya.” Jelas semangat Bauby bisa membuat orang lain malu, apalagi bagi penulis normal.
Bauby meninggal sepuluh hari setelah Le scaphandre et le papillon terbit pada 1997 dan mendapat pujian di mana-mana.
“Hidup saya berubah setelah penerbitan buku Sejarah Tuhan” (Karen Armstrong) Buku-buku Karen Armstrong telah menggemparkan dunia. Nama dirinya melejit tatkala bukunya A History of God (1993) terbit dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Tak ada satu pun bukunya yang tak laris. Buku-bukunya memang hanya berkisar di seputar agama, seperti Kristen, Islam, Yahudi, dan Budha. Tapi, yang menjadi keunikan dan berbeda dengan buku-buku semisalnya adalah berangkat dari pengalamannya sendiri tatkala “mencari Tuhan”. Ia bukan saja menelusuri lewat literatur untuk menulis bukunya, tetapi juga mengadakan perjalanan spiritual ke berbagai negara.
Hal yang mendorong untuk menulis dan mengadakan perjalanan spiritualnya bukan semata-mata ingin menjadi penulis (pada awalnya) dan mengadakan observasi langsung sebagai bahan tulisannya. Tetapi lebih dari itu. Ia mencari “obat” untuk menyembuhkan lukanya dari trauma dan penyakit yang dideritanya semenjak remaja serta haus akan spiritualnya.
Pada tahun 1962 ia disuruh masuk biara. Namun dalam biara ia merasa seperti dalam penjara. Badan dan jiwanya merasa terkungkung, kaku, harus mengikuti aturan yang monoton, dan banyak pengalaman yang menekan hidupnya. Setiap hari pekerjaannya selalu begitu saja. Selama tujuh tahun ia mengikuti tradisi yang berlaku di biara. Tujuh tahun itu pula ia merasa di “penjara”, memberikan trauma yang sangat dalam sekali, yang sulit dihilangkan hingga beberapa tahun setelah ia keluar dari biara tersebut.
Setelah memutuskan keluar ia kemudian masuk ke perguruan tinggi di Universitas Oxford, jurusan sastra Inggris. Ia tengah memulai kehidupan baru yang sekuler. Namun, ia merasa tak bisa bebas juga hidupnya. Ia merasa terasing di dunia luar. Banyak hal yang tidak ia ketahui. Ia menjadi manusia kuper (kurang pergaulan), dan menjadi bahan ejekan temantemannya. Dan ia masih saja dibayang-bayangi kehidupan biaranya, yang begitu melekat akan pengalaman pedihnya. Perlakuaan-perlakuan di biara dulu masih terbayang-bayang jelas di matanya. Dengan kata lain, ia tengah mengalami trauma yang berkepanjangan dan sangat akut sampai-sampai ia menderita epilepsi serta gangguan lainnya.
Pengalaman tragisnya dialami juga setelah keluar dari biara, gara-gara penyakit yang dideritanya. Suatu ketika ia telah menjadi guru tetap di SMA khusus perempuan. Namun karena penyakit yang dideritanya ia diberhentikan oleh pihak sekolah. Inilah penderitaan klimaks yang dialaminya. Gara-gara diberhentikan dan sering kambuh traumanya, ia sering berhalusinasi, kadang-kadang ketakutan dan kadang-kadang ia panik. Ia merasa tak berguna hidupnya. Karena penyakit yang sangat akut itu ia pernah mencoba bunuh diri, berharap penderitaannya berakhir. Namun sedikit demi sedikit ia mulai sembuh setelah sering berkonsultasi ke psikiater, dan akhirnya sang dokter bisa mendeteksi penyakitnya tersebut.
Setelah sembuh walau belum seratus persen, ia mencoba kembali menggeluti dunia spiritualnya yang telah hilang. Ia lalu menulis buku keagamaan sebagai representasi pencarian dan pengalamannya. A History of God, begitu ia namakan bukunya. Dan dengan secepat kilat kehidupannya berubah. Ia telah menemukan kembali ruh hidupnya lantaran menuliskan segala pencarian serta pengalaman spiritualnya. Tulisan-tulisan yang bertemakan keagamaan terus ia tekuni, dan menjadi pembicaraan banyak kalangan. Karya-karyanya seperti Sejarah Tuhan, Berperang Demi Tuhan, Perang Suci, Islam dan Buddha, dan yang lainnya mendapat apresiasi di sebagian negara di dunia ini. Buku-bukunya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa yang kurang lebih berjumlah 40 bahasa di seluruh dunia.
Penulis yang tinggal di London ini juga membuat acaraacara yang bertemakan keagamaan, di antaranya bersama Bill Moyers dalam seri Genesis. Ia sering mendapat undanganundangan untuk menjadi pembicara tentang keagamaan lantaran tulisannya. Dan bahkan banyak orang Barat menanyakan pada dia tentang Islam, dan sekali lagi, lantaran bukunya, yang banyak membahas tentang Islam. Ada dua buku yang bagi saya sangat mengagumkan, yaitu Muhammad dan Menerobos Kegelapan. Judul yang pertama berbicara tentang Nabi Muhammad Saw yang dia gambarkan dengan sangat memikat. Ia telah menjungkirbalikkan anggapan-anggapan barat tentang Nabi Muhammad ini. Ia ingin memberitahukan bahwa Muhammad tidaklah sosok yang “sangar” sebagaimana yang digambarkan oleh Salman Rushdi dalam Satanic Verses-nya atau kaum orientalis lainnya. Ia sangat mengagumi sosok Nabi ini dalam membawa Islam, terutama kepribadiannya. Walau secara substansi tidak ada yang baru tapi cara penyampaiannya mendapat nilai plus di mata pembaca. Saya ingin mengatakan di sini bahwa Karen menulis bukan hanya mengandalkan literatur saja, tapi ia juga menulis dengan jiwa dan raganya. Ia sangat menghayati apa yang ia tulis, dan yang pasti kesan yang mendalamnya terhadap tema yang akan dia sampaikan, sehingga bahasanya mudah dicerna dan mengalir bagai mata air. Inilah salah satu keistimewaan karya-karyanya.
Adapun buku Menerobos Kegelapan adalah sebuah perjalanan hidupnya. Inilah buku yang telah merekam kehidupannya semenjak kecil hingga menjadi saat ini. Dan saya sangat yakin kalau ia telah menemukan jati dirinya lantaran menulis tersebut. Ia telah tersembuhkan dan tercerahkan garagara menuliskan segala kepedihan dan traumanya, serta yang ia cari dan ia dapatkan. Sekarang ia telah menemukan jawabannya, dan ia mengatakan: “Teologi itu sejenis puisi yang elusif, yang memerlukan pikiran tenang dan reseptif seperti yang anda perlukan untuk mendengarkan Beethoven atau membaca Rilke. Anda mesti memberinya perhatian penuh, menunggunya dengan sabar,dan menyisakan ruang kosong untuknya …. Dan di ujung hari karya itu akan mewartakan diri Anda ke Anda-hingga menjadi bagian dari Anda.”
Ketika ada pergantian jabatan di pejabat Kastam Boston, Massachusetts, Nathaniel Hawthorne yang bekerja di situ diberhentikan. Malam itu ia pulang ke rumah dengan penuh rasa kecewa dan sakit hati. Dia bimbang, bagaimana keluarganya, terutama istri, akan menerima berita tersebut. Sebaliknya, istri Nathaniel Hawthorne tidak berkata apa-apa ketika berita itu disampaikan kepadanya. Istrinya Cuma mengambil sebatang pen dan sebotol tinta lalu meletakkannya di atas meja di depan Nathaniel Hawthorne. Dia lalu menyalakan api penerang dan merangkul Nathaniel Hawthorne dengan penuh kemesraan seraya berkata, “Kamu, sekarang tentunya punya waktu untuk menulis buku..”.
Nathaniel Hawthorne mendapat semangat baru dari motivasi dan dorongan istrinya. Nathaniel Hawthorne kemudian terus menulis dan menghasilkan sebuah novel yang termashur di seluruh dunia, berjudul “The Scarlet Letter“ .
Terkadang rezki datang kepada kita tersamar dalam bentuk bencana dan masalah. Istri dari Nathaniel Hawthorne bisa melihat tersebut. Dia mendukung suaminya untuk melakukan sesuatu dalam menghadapi bencana tersebut. Dia melihat sisi baik dari sebuah bencana, hal yang terkadang kita lewatkan. Dukungan dari orang-orang dekat bahkan bisa membuat orang yang sangat lemah menjadi kuat, oleh karena itu, daripada memarahi atau malah meninggalkan orang-orang terdekat kita yang terkena masalah, ada baiknya Anda memberikan motivasi kepada mereka untuk tetap semangat dan membantu mereka menemukan kebaikan dari bencana yang mereka terima.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Mahakarya_Penderitaan