Menemukan Diri di Tengah KrisisI: dentitas dan Mental Health Pemuda Hari Ini

Oleh : Hasanah Putri Daulay

Lk3 Advance Training Badko Sumut

matarakyat24.com–(14/052025) Di tengah derasnya arus digitalisasi dan banjir informasi yang nyaris tak terbendung, generasi muda saat ini dihadapkan pada sebuah krisis yang tak terlihat mata, namun sangat terasa dampaknya: krisis identitas dan kesehatan mental. Tak sedikit dari kita yang merasa gamang tak tahu siapa sebenarnya diri ini, apa makna kehidupan yang dijalani, dan ke mana arah yang seharusnya dituju. Akibatnya, tekanan mental seperti stres, kecemasan, hingga depresi semakin marak menghantui kehidupan anak muda.

Data dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2023 mencatat bahwa sekitar 34,9% remaja dan pemuda mengalami gangguan kesehatan mental, mulai dari gejala ringan hingga gangguan yang cukup serius. Fenomena ini makin diperparah oleh kehadiran media sosial, yang memicu standar-standar keberhasilan dan kebahagiaan semu. Kita pun jadi rentan membandingkan hidup sendiri dengan pencapaian orang lain, merasa ketinggalan, dan perlahan kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Padahal, sebagaimana diungkapkan oleh Erich Fromm, manusia membutuhkan rasa memiliki, makna dalam hidup, dan identitas yang kokoh agar dapat hidup secara utuh.

Masalah krisis identitas ini tidak bisa hanya dilihat sebagai persoalan individual semata, sebab ia juga bersifat struktural dan sosial. Sistem pendidikan yang terlalu menitikberatkan pada capaian akademik, serta organisasi-organisasi mahasiswa yang lebih mementingkan kepatuhan struktural ketimbang pertumbuhan kepribadian, turut andil dalam memperparah situasi. Akibatnya, tak sedikit pemuda termasuk di antaranya para kader HMI yang merasa hampa, menjalani aktivitas secara mekanis, dan kehilangan arah nilai yang seharusnya menjadi landasan perjuangan.

Padahal HMI, sebagai organisasi kader, memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi ruang pencarian jati diri dan tempat pertumbuhan intelektual serta spiritual. Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI menegaskan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki potensi ruhiyah dan akliyah, yang harus dikembangkan untuk mencapai derajat insan kamil. Maka, jika kaderisasi hanya menghasilkan aktivis yang cakap organisasi tapi rapuh secara batin, maka kita sedang kehilangan arah.

Solusi: Menjawab Krisis dengan Kesadaran Kultural dan Struktural

Pertama, kita butuh revitalisasi ruang dialog dalam organisasi. Forum-forum HMI seperti Latihan Kader, diskusi rutin, dan mentoring harus menjadi tempat yang aman untuk bertanya, mengungkapkan keresahan, dan menggali jati diri. Bukan sekadar ajang pengisian materi, tetapi juga ruang perjumpaan batin antar kader.

Kedua, pentingnya literasi mental health dalam dunia kemahasiswaan. HMI bisa membentuk tim atau komunitas pendampingan kader yang bukan berperan sebagai psikolog profesional, tapi sebagai support system yang tidak menghakimi. Ini penting untuk menciptakan budaya saling jaga dan saling dukung, bukan saling tekan.

Ketiga, kaderisasi harus menyentuh aspek emosional dan spiritual. Pemuda butuh ruang kontemplatif, bukan hanya debat ideologi. Zikir, tadabbur alam, malam keakraban bila dimaknai dengan benar bisa menjadi bagian dari proses penyembuhan dan penguatan diri.

Keempat, reorientasi dakwah kultural HMI. Kita harus kembali membumikan nilai-nilai Islam dan keindonesiaan dalam konteks lokal. Di Sumatera Utara, misalnya, tradisi gotong royong, musyawarah, dan nilai kekeluargaan bisa menjadi pintu masuk untuk menguatkan identitas kultural pemuda.

Penutup: HMI sebagai Rumah Kemanusiaan

Krisis identitas dan mental health pemuda adalah sinyal bahwa kita sedang kehilangan jati diri sebagai manusia. Pemuda bukan sekadar alat perubahan struktural, tapi juga subjek perjuangan yang harus dipulihkan secara utuh akal, hati, dan ruhnya. Maka HMI tidak boleh hanya jadi mesin kaderisasi politik, tetapi harus menjadi rumah kemanusiaan.

Seperti yang pernah disampaikan Bung Karno, “Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.” Ungkapan ini bukan sekadar retorika politik, melainkan pengakuan atas kekuatan besar yang dimiliki generasi muda. Namun, untuk mengguncang dunia, pemuda harus terlebih dahulu berdamai dengan dirinya sendiri.

Hari ini, banyak pemuda terjebak dalam krisis identitas dan tekanan mental akibat ekspektasi keluarga, lingkungan sosial, serta standar hidup sempurna yang dibentuk media sosial. Akibatnya, muncul jurang antara diri ideal dan diri nyata, yang membuat banyak anak muda merasa kehilangan arah, kepercayaan diri, bahkan makna hidup.

Krisis ini bukan persoalan sepele. Ia melemahkan semangat dan merusak nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi dasar perjuangan. Sayangnya, isu kesehatan mental masih kerap diabaikan, membuat banyak pemuda terlihat kuat di luar namun rapuh di dalam.

Meski begitu, harapan masih ada. Kita perlu membangun kesadaran bersama untuk membuka ruang aman bagi pemuda bertanya, gagal, dan tumbuh. Dunia pendidikan, organisasi, dan komunitas harus menjadi tempat yang tidak hanya mengejar hasil, tapi juga menghargai proses.

Menemukan jati diri memang tidak mudah, tapi melalui proses itu, lahirlah pemuda yang sadar siapa dirinya dan apa tujuannya. Bukan pemuda yang marah dan penuh ego, melainkan yang berjuang dengan kesadaran dan keberpihakan pada sesama.

Karena itu, tugas kita bukan sekadar mencetak pemuda yang pintar dan berani, tapi yang juga utuh, pulih, dan tahu arah hidupnya merekalah yang benar-benar mampu mengguncang dunia.

Referensi:

1. Kementerian Kesehatan RI. (2023). Laporan Nasional Status Kesehatan Mental Remaja Indonesia

2. Erikson, E.H. (1968). Identity: Youth and Crisis

3. Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI

4. Fromm, Erich. (1955). The Sane Society

5. WHO (2022). World Mental Health Report

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *