MEMAKNAI PENDERITAAN

Khazanah

Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh 

 

Mendambakan kebahagiaan, kenikmatan dan ketenangan manusia normal, terutama di zaman sekarang sangat hidup. Kalau perlu semua tenaga dan pikiran akan dikerahkan demi mencapai kebahagiaan, kenikmatan dan ketenangan tadi. Barangkali adalah tidak normal jika ada orang yang menginginkan penderitaan dalam hidupnya. Namun tak bisa dipungkiri pula, di dunia ini yang namanya penderitaan masih belum bisa lepas sepenuhnya dari hidup manusia. Sebagai manusia berakal kita tentu tidak akan memilih jalan penderitaan (jika memang pilihan itu ada dan ditawarkan kepada kita). 

 

Namun walau tak kita pilih, tetap saja penderitaan suatu saat akan menghampiri dan menyerang kita. Kita tak bisa menolaknya. Sekuat apapun manusia melawannya, penderitaan itu tak akan pernah benar-benar hilang dari hidup di dunia. Belajar dan menjadi bijak melalui penderitaan, barangkali merupakan sikap yang paling tepat saat menghadapi penderitaan. 

 

Pertama-tama, saya persempit dulu penderitaan mana yang saya maksud. Yaitu penderitaan yang lahir bukan karena kesalahan atau kelalaian atau keonaran diri sendiri. Jadi murni penderitaan yang saya maksudkan adalah penderitaan yang muncul karena sengaja dikenakan orang lain kepada kita, atau karena proses alamiah, atau akibat konsekuensi dari sebuah perbuatan yang baik/benar (bukan jahat). 

 

Mudah sekali bagi kita jatuh dan putus asa ketika harus mengalami penderitaan yang terjadi bukan karena kesalahan kita. Kerap kali kita jatuh pada sikap yang buruk, ketika menghadapi hal semacam itu. Namun alangkah baiknya jika kita mampu belajar menjadi lebih baik, kala penderitaan itu mucul. 

Apa yang bisa kita pelajari? 

Pertama, memuji Tuhan dalam penderitaan. Tidak mudah melakukannya. Namun perlu diingat, bahwa salah satu tanda kemurnian iman kita pada Allah, adalah ketika kita sanggup dan bersedia memuliakanNya dalam segala hal, terutama dalam penderitaan. Butuh iman yang tangguh untuk dapat memuji Allah saat sedang menderita. Jadi dalam penderitaan kita bisa belajar meneguhkan dan memurnikan iman kita kepada Allah.  

 

Kedua, menantikan penghiburan Tuhan. Bagaimana sih rasanya dihibur oleh Tuhan? Dihibur oleh artis, kita sudah tahu rasanya. Dihibur oleh badut, pemain sirkus, penyanyi, pelawak, tetangga, teman, dsb, barangkali juga sudah pernah kita rasakan. Tapi penghiburan dari Tuhan, tak semua orang bisa merasakannya. Hanya orang yang menderita, dan berseru pada Tuhan, itulah yang bisa merasakan penghiburan Tuhan. Jadi dalam penderitaan, kita bisa belajar mengenal dan menerima penghiburan Tuhan. 

 

Ketiga, ketabahan. Jujur, bahwa ketabahan bukanlah barang murahan yang bisa kita temukan di sembarang tempat. Tak semua orang memiliki karakter ini. Padahal kemuliaan seorang manusia salah satunya ditentukan oleh sifat ketabahan ini. Jadi dari penderitaan kita belajar untuk tabah.  

 

Keempat, pengharapan. Dalam penderitaan kita bisa belajar untuk tetap memelihara dan menyalakan api pengharapan. Pengharapan itu adalah kekuatan yang memberanikan kita untuk menatap jauh ke masa depan. Pengharapan adalah cahaya kita untuk menuju masa depan yang lebih baik. Yang punya pengharapan akan punya semangat dan kekuatan untuk terus maju. Pengharapan itu dipacu sinarnya ketika menghadapi penderitaan 

 

Setiap kali kita mengalami peristiwa yang membuat kita bersedih atau menderita seringkali kita menutupinya atau menekan perasaan kita agar tidak terlihat lemah atau takut dianggap sebagai orang yang lemah iman sehingga bila ditanya “Apa kabar? Kemudian kita menjawab, baik..!” Tanpa kita sadari kita menolak penderitaan. 

 

Di lingkungan kita berada bila terjadi peristiwa duka cita, kehilangan orang yang kita cintai biasanya ada ungkapan, ‘sudahlah, jangan menangis. Ikhlaskan saja kepergiannya.’ atau ada juga yang mengatakan, ‘kayak bukan orang beriman saja, begitu kok menangis.’ Itulah sebabnya kita menekan perasaan kita, menekan emosi kita, tidak menunjukkan menangis di depan umum agar kita tidak dianggap sebagai orang yang lemah bahkan dianggap sebagai orang yang kufur. 

 

Padahal bila kita memahami lebih dalam setiap duka cita dan penderitaan yang kita alami sesungguhnya banyak manfaatnya dalam hidup kita. Penderitaan dan duka cita yang sering kita alami sesungguhnya bukan kelemahan melainkan sebuah kekuatan yang ada di dalam diri kita. Ada beberapa manfaat di dalam penderitaan yang kita rasakan sebagai kekuatan. 

 

Pertama, pengalaman duka cita atau yang kita rasakan sebagai menderitaan justru mengajarkan kita pada limpahan kasih sayang Allah agar kita semakin dekat dan taat kepadaNya, dengan demikian limpahan kasih sayang Allah akan memenuhi hati kita dan hati kita memancarkan kasih sayangNya untuk semua orang yang di sekeliling kita. 

 

Kedua, penderitaan yang kita rasakan menjadikan kebahagiaan kita menjadi sempurna. Kebahagiaan sejati pada dasarnya adalah mengalami kegembiraan dan penderitaan secara seimbang. Hidup menjadi dinamis ketika semuanya datang silih berganti antara kebahagiaan dan penderitaan. 

 

Ketiga, penderitaan membuat kita semakin peka terhadap penderitaan orang lain. Kita menjadi memiliki empati dan menghormati orang lain sebagai hamba Allah yang sama-sama dimuliakan. Kita tidak berani menghina, melecehkan, atau mencemooh orang lain karena kita merasakan betapa pahitnya sebuah penderitaan. 

 

Keempat, ketika hati kita remuk redam, ingin menangis menangislah sesungguhnya apa yang kita rasakan sakitnya, dengan menangis merupakan salah satu cara untuk membersihkan hati kita. Menangislah kepada Allah agar diberikan kesabaran dalam menjalani hidup ini sebagaimana Firman Allah SWT. 

“Apa yang disisimu akan lenyap dan apa yang disisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an- Nahl : 96). 

 

Jangan pernah menyalahkan Tuhan ketika kita ditimpa penderitaan, karena terkadang penderitaan itu justru membawa berkah dalam kehidupan.  

 

Adalah Wiharja, bertahun-tahun lamanya, ia harus tersiksa akibat penyakit yang dideritanya. Pada suatu hari Wiharja tibatiba merasa pegal-pegal di jari kaki kirinya. Rasa pegal itu menjadi semakin parah sampai Wiharja harus berjalan terpincang-pincang. Oleh seorang temannya, Wiharja diantarkan ke seorang tukang pijat. Dari ahli pijat itulah Wiharja tahu kalau ia menderita penyakit rematik yang jenisnya tidak boleh dipijat. 

Hanya bisa dihangatkan saja.  

 

Penderitaan yang dirasakan Wiharja belum berakhir. Rasa sakit itu mulai menjalar ke sendi-sendi tangannya. Akibatnya Wiharja harus dirawat di rumah sakit. Dokter rumah sakit yang menganalisis penyakit Wiharja menduga ada infeksi di persendian tangan Wiharja. Dengan diagnosa itulah dokter memutuskan untuk memberikan suntikan penisilin. Namun keesokan harinya saat Wiharja kembali disuntik penisilin, Wiharja mengalami gejala yang berbeda. Kepalanya terasa penuh dengan suara-suara seperti bunyi komputer yang lemah. Ternyata Wiharja tidak tahan dengan suntikan penisilin.  

 

Tahun 1993, Wiharja divonis menderita penyakit rematik akut. Hari demi hari Wiharja harus menahan rasa sakit yang luar biasa pada sendi kaki dan tangannya. Sampai akhirnya persendiannya pun mengalami perubahan.  

 

Rematoid Atritis adalah penyakit radang sendi yang disebabkan oleh auto immun. Auto immun itu adalah proses dimana sel-sel immun si penderita menyerang tubuhnya sendiri. Kalau misalnya sudah bertahun-tahun, persendiannya menjadi kaku, tidak bisa digerakkan dan akhirnya lumpuh. 

 

Saat penyakitnya kambuh selalu diserta dengan demam tinggi dan rasa sakit yang luar biasa di persendian mana pun baik di kaki maupun tangan. Penderitaan itu biasanya harus dialaminya paling sedikit selama dua minggu. Saat itu Wiharja hanya bisa mengerang kesakitan tak berdaya. Namun dalam keadaan seperti itu, Wiharja mengambil tekad untuk tidak ditemani di malam hari. Ia tidak mau merepotkan istri dan anaknya. Sudarti, Istrinya, tak tega menyaksikan penderitaan Wiharja tapi Sudarti sendiri tidak berani melanggar perintah Wiharja untuk tidak menemaninya di malam hari.  

 

Dalam keadaan putus asa dan tidak berdaya, Wiharja datang kepada Tuhan dan menyesali kesalahan yang pernah dilakukan terhadap keluarganya, terutama kepada istrinya. Wiharja sering mengabaikan istrinya. Meskipun istrinya sedang sakit dan tidak ada yang menjagai anak mereka yang masih kecil, Wiharja tetap sibuk dengan kegiatannya sebagai seorang hamba Tuhan. Karena Wiharja merasa banyak orang yang lebih memerlukan kehadirannya. Wiharja benar-benar berlaku tidak adil dan jauh dari kasih terhadap istrinya.  

 

Hal ironis pun terjadi. Sebagai hamba Tuhan yang sudah tidak berdaya, masih saja ada orang yang datang untuk minta didoakan. Terkadang sambil menahan sakit yang teramat sangat, Wiharja masih harus berbicara dan melayani orangorang yang minta didoakan. Bagi Wiharja, itulah cara Tuhan untuk membangun mentalnya di hadapan Tuhan.  

 

Usaha untuk sembuh tetap dilakukan. Namun sesuatu yang lebih baik tidak pernah terlihat. Sampai pada suatu ketika, Wiharja benar-benar merasa kesakitan dan berpikir untuk mati. Kondisinya sudah sangat drop. Pada saat itulah Wiharja berteriak kepada Tuhan. Tiba-tiba jiwanya bangkit, dan ia merasa bahwa dirinya akan tetap bertahan hidup. 

 

Wiharja tidak mau dikalahkan oleh penyakitnya. Ia pun mulai bangkit. Dalam keterbatasannya secara fisik, Wiharja terus berpikir bagaimana caranya agar ia dapat tetap mengunjungi orang-orang yang ia layani. Saat itulah gagasan “ministry by mail” itu muncul. Dengan membuat buletin “ministry by mail“, Wiharja dapat mengunjungi rekan-rekannya lewat surat.  

 

Tidak berhenti sampai di situ. Dengan tekad dan semangat yang tinggi, Wiharja digerakkan Tuhan untuk mulai menulis buku. Dalam segala keterbatasannya, Wiharja hanya yakin dan percaya bahwa Tuhan akan mengajari dan menuntunnya  agar ia dapat mewujudkan mimpi itu. Buku pertama yang ditulisnya adalah mengenai puasa. 

 

Walaupun masih tetap membutuhkan pertolongan orang lain, kini Wiharja sudah dapat melakukan sendiri aktifitasnya sehari-hari. Pada awalnya, ketika Wiharja mengalami kelumpuhan, ia tidak dapat melakukan apa-apa dan harus digendong. Segala hal harus dengan bantuan orang lain. Tapi saat ini banyak hal yang sudah dapat dilakukannya sendiri. Berkat keyakinan, semangat dan pengharapannya kepada Tuhan, Wiharja tidak menganggap cacat tubuhnya sebagai penghalang untuk melakukan hal-hal yang berarti bagi orang lain.  

 

Walaupun dengan keadaan fisik yang tidak sempurna, tapi bagi Wiharja penyakitnya itu tidak membuatnya mundur. Dalam masa penyembuhannya, Wiharja tetap memiliki kerinduan untuk memotivasi orang lain melalui buletin “ministry by mail” dan buku-buku karangannya sampai sekarang. 

 

Seringkali ketika kita menghadapi masalah, kita menghadapi persoalan, kita berpikir bahwa Tuhan meninggalkan kita. Kita berpikir bahwa Tuhan tidak perduli dengan kita. Padahal tidak demikian. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita.  

 

Jika Anda sering mendengarkan filosofi “Success is My Right”, yakni sukses adalah hak milik siapa saja, barangkali kisah yang dialami presiden terpilih Korea Selatan ini mampu menjadi contoh nyata. Lee Myung-bak yang baru saja memenangkan pemilu di Korea ternyata punya masa lalu yang sangat penuh derita. Namun, dengan keyakinan dan perjuangannya, ia membuktikan, bahwa siapa pun memang berhak untuk sukses. Dan bahkan, menjadi orang nomor satu di sebuah negara maju layaknya Korea Selatan. 

 

Coba bayangkan fakta yang dialami oleh Lee pada masa kecilnya ini. Jika sarapan, ia hanya makan ampas gandum. Makan siangnya, karena tak punya uang, ia mengganjal perutnya dengan minum air. Saat makan malam, ia kembali harus memakan ampas gandum. Dan, untuk ampas itu pun, ia tak membelinya. Keluarganya mendapatkan ampas itu dari hasil penyulingan minuman keras. Ibaratnya, masa kecil Lee ia harus memakan sampah. 

 

Terlahir di Osaka, Jepang, pada 1941, saat orangtuanya menjadi buruh tani di Jepang, ia kemudian besar di sebuah kota kecil, Pohang, Korea. Kemudian, saat remaja, Lee menjadi pengasong makanan murahan dan es krim untuk membantu keluarga. “Tak terpikir bisa bawa makan siang untuk di sekolah,”sebut Lee dalam otobiografinya yang berjudul “There is No Myth,” yang diterbitkan kali pertama pada 1995. 

 

Namun, meski sangat miskin, Lee punya tekad kuat untuk menempuh pendidikan tinggi. Karena itu, ia belajar keras demi memperoleh beasiswa agar bisa meneruskan sekolah SMA. Kemudian, pada akhir 1959, keluarganya pindah ke ibukota, Seoul, untuk mencari penghidupan lebih baik. Namun, nasib orangtuanya tetap terpuruk, menjadi penjual sayur di jalanan. Saat itu, Lee mulai lepas dari orangtua, dan bekerja menjadi buruh bangunan. “Mimpi saya saat itu adalah menjadi pegawai,” kisahnya dalam otobiografinya. 

 

Lepas SMA, karena prestasinya bagus, Lee berhasil diterima di perguruan tinggi terkenal, Korea University. Untuk biayanya, ia bekerja sebagai tukang sapu jalan. Saat kuliah inilah, bisa dikatakan sebagai awal mula titik balik kehidupannya. Ia mulai berkenalan dengan politik. Lee terpilih menjadi anggota dewan mahasiswa, dan telibat dalam aksi demo antipemerintah. Karena ulahnya ini ia kena hukuman penjara percobaan pada 1964. 

 

Vonis hukuman ini nyaris membuatnya tak bisa diterima sebagai pegawai Hyundai Group. Sebab, pihak Hyundai kuatir, pemerintah akan marah jika Lee diterima di perusahaan itu. Namun, karena tekadnya, Lee lantas putar otak. Ia kemudian membuat surat ke kantor kepresidenan. Isi surat bernada sangat memelas, yang intinya berharap pemerintah jangan menghancurkan masa depannya. Isi surat itu menyentuh hati sekretaris presiden, sehingga ia memerintahkan Hyundai untuk menerima Lee sebagai pegawai. 

 

Di perusahaan inilah, ia mampu menunjukkan bakatnya. Ia bahkan kemudian mendapat julukan “buldozer”, karena dianggap selalu bisa membereskan semua masalah, sesulit apapun. Salah satunya karyanya yang fenomonal adalah mempreteli habis sebuah buldozer, untuk mempelajari cara kerja mesin itu. Di kemudian hari, Hyundai memang berhasil memproduksi buldozer. 

 

Kemampuan Lee mengundang kagum pendiri Hyundai, Chung Ju-yung. Berkat rekomendasi pimpinannya itu, prestasi Lee terus melesat. Ia langsung bisa menduduki posisi tertinggi di divisi konstruksi, meski baru bekerja selama 10 tahun. Dan, di divisi inilah, pada periode 1970-1980 menjadi mesin uang Hyundai karena Korea Selatan tengah mengalami booming ekonomi sehingga pembangunan fisik sangat marak. 

 

Setelah 30 tahun di Hyundai, Lee mulai masuk ke ranah politik dengan masuk jadi anggota dewan pada tahun 1992. Kemudian, pada tahun 2002, ia terpilih menjadi Wali Kota Seoul. Dan kini, tahun 2007, Lee yang masa kecilnya sangat miskin itu, telah jadi orang nomor satu di Korea Selatan. Sebuah pembuktian, bahwa dengan perjuangan dan keyakinan, setiap orang memang berhak untuk sukses. 

 

Keberhasilan hidup Lee, mulai dari kemelaratan yang luar biasa hingga menjadi orang nomor satu di Korea Selatan, adalah contoh nyata betapa tiap orang bisa merubah nasibnya. Jika orang yang sangat miskin saja bisa sukses, bagaimana dengan kita? Mulailah dengan keyakinan, perjuangan, dan kerja keras, maka jalan sukses akan terbuka bagi siapapun. 

 

Pada suatu hari seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengaduh pada ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek. “Anakku,” kata sang ibu sambil bercucuran air mata, “Tuhan tidak memberikan pada kita bangsa kerang sebuah tangan pun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu. Sakit sekali, aku tahu anakku.  

 

Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam.” “Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat”, kata ibunya dengan sendu dan lembut. Anak kerang pun melakukan nasihat bundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit bukan alang kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan, bertahun-tahun lamanya. Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Dan semakin lama mutiaranya semakin besar. Rasa sakit menjadi terasa lebih wajar. 

 

Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna. Penderitaannya berubah menjadi mutiara; air matanya berubah menjadi sangat berharga. Dirinya kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada sejuta kerang lain yang cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan. Cerita di atas adalah sebuah paradigma yg menjelaskan bahwa penderitaan adalah lorong transendental untuk menjadikan “kerang biasa” menjadi “kerang luar biasa”. Karena itu dapat dipertegas bahwa kekecewaan dan penderitaan dapat mengubah “orang biasa” menjadi “orang luar biasa”.  

 

Jika Anda saat ini sedang mengalami penolakan, kekecewaan, patah hati, atau terluka karena orang-orang disekitar Anda…cobalah untuk tetap tersenyum dan katakan di dalam hati Anda..”airmataku diperhitungkan Tuhan..dan penderitaanku ini akan mengubah diriku menjadi mutiaramutiara. 

 

Sebagai pencipta makhluk, Allah adalah Dzat yang paling mengenal manusia hingga pada hal-hal yang baik atau yang buruk bagi manusia. Allah memelihara makhluknya. Allah memelihara manusia bukan saja dengan kegembiraan tetapi juga dengan kesedihan. Allah mengurus kita tidak hanya dengan kenikmatan tetapi juga dengan penderitaan. Tujuannya supaya kita bisa mencapai perkembangan yang baik. Orang-orang yang tidak pernah dipelihara dengan penderitaan biasanya tidak berkembang ke arah kesempurnaan. Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Meraih Cinta Ilahi mengingatkan bahwa kebaikan Allah kepada kita jauh lebih besar daripada ujian-Nya dan kebaikan Allah itu tak pernah berhenti. 

 

Kesusahan dan kesulitan yang menimpa manusia tidak selalu harus disikapi dengan keluh kesah, karena setiap kesulitan belum tentu jelek akibatnya. Bisa jadi, kesulitan yang dihadapi manusia justru membawa kebaikan dan hikmah yang positif. Ada ayat Al-Quran yang menjelaskan bahwa pemahaman manusia tentang akibat dari suatu kejadian sangatlah  terbatas, yang tahu secara keseluruhan hanyalah Allah Swt. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS.Al Baqarah 2: 216). 

 

Ada sebuah ungkapan, ”sometimes accident is not accident at all.” Kadangkala kecelakaan itu sama sekali bukan kecelakaan. Kesulitan itu sama sekali bukan kesulitan. Umar bin Khathab r.a pun pernah berkata, “Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang lebih baik bagiku.” Dari kalimat itu terlihat benar ketenangan dan kedamaian jiwa yang dimiliki Umar bin Khathab karena pemahaman yang baik dan kokohnya keyakinan pada Allah. Keyakinan bahwa Allah yang paling tahu, apa yang terbaik bagi hambanya. Bahwa Allah adalah penghulu kasih sayang dan kebijaksanaan. Dan  bahwa beserta kesulitan ada kemudahan.  

 

Banyak kesulitan dalam hidup ini. Banyak pula manusia yang gagal karenanya. Tak ada perjalanan hidup yang seratus persen mulus. Tetapi Allah menegaskan bahwa di dalam kesulitan itu ada unsur-unsur kemudahan. Ia bahkan tidak mengatakan “Sesudah kesulitan ada kemudahan” tapi “sungguh, beserta kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6) Ayat itu bahkan diulang dua kali dalam satu surat, yang menunjukkan sebuah penegasan. Dengan menggunakan logika terbalik, kita bisa menghayati dan merasakan, bahwa unsurunsur yang ada pada kesulitan itu pada saat yang sama ada yang menjadi simpul-simpul jalan bagi kemudahan yang datang menyertainya. Atau bahkan jika kita cermati, secara tersirat kita dapati bahwa kesulitan bisa menjadi pintu mendatangkan kemudahan. 

 

Contoh mudah saja. Begitu banyak orang, saat melamar suatu pekerjaan, berharap untuk mendapatkan panggilan tes. Karena mendapatkan panggilan tes adalah salah satu pintu yang jika bisa melewatinya maka akan bisa diterima sebagai pegawai.  Jika tidak mendapatkan panggilan tes, bisa jadi si pelamar tidak layak atau telah tersisih dengan kandidat lain. Tes disini bisa menjadi analog bagi sebuah kesulitan yang harus dilewati. Sedangkan mendapatkan pekerjaan atau diterima sebagai pegawai bisa menjadi analog bagi kemudahan. Mungkin sejauh ini kebanyakan manusia belum meresapi atau menemukan ’formula’ ini karena mempersepsi kesulitan sebagai hal yang negatif. Sedangkan bagi orang-orang yang terbiasa bertafakur, kadangkala doa ”Allah, beri aku duka” adalah hal yang biasa. Karena dengan duka atau kesulitan itu bisa lebih mendekatkan dirinya dengan Allah, sehingga Allah pun senantiasa ’melihat’ nya. Bagi mereka kesulitan adalah kebahagiaan, kemudahan adalah bagian dari kebahagiaan. Mereka memahami bahwa apapun ketetapan Allah adalah bagian dari kasihNya. Bagian dari cara Allah untuk membawa manusia ke dalam keadaan dan derajat yang lebih baik. Apapun –baik tentang kemudahan ataukah kesulitan- ujungnya akan selalu di jumpai ’wajah’ Allah saja. Karena mereka telah menemukan-Nya.  

 

Bagi orang-orang yang ‘menemukan’ Allah sangatlah pantas mendapatkan kemenangan. Yaitu jika seseorang mampu menemukan maksud Allah atas kesulitannya, sehingga dia bersabar. “Hai orang-orang yang beriman, berlakulah sabar dan perkuat kesabaran diantara sesama kalian, dan bersiagalah kalian serta bertaqwalah kepada Allah, supaya kalian memperoleh kemenangan.”(QS. Ali Imran: 200).  

 

Dengan kata lain kesulitan justru bisa menjadi satu kesempatan untuk menang. Tentu saja jika orang tersebut bersabar. Dalam sebuah hadits qudsiy telah dituturkan, “Apabila telah Kubebankan kemalangan (bencana) kepada salah seorang hambaKu pada badannya, hartanya, atau anaknya, kemudian ia menerimanya dengan sabar yang sempurna, Aku merasa enggan menegakkan timbangan baginya pada hari kiamat atau membukakan buku catatan amalan baginya.”(HR. al-Dailamiy, dari Anas ra) 

 

Dan orang-orang yang menemukan hakikat kesulitan inilah, yang kemudian ‘ketagihan’ akan kemenangan. Orang-orang seperti ini dalam dunia motivasi disebut dengan The Climbers (para pendaki). Mereka adalah orang-orang yang beristirahat sejenak setelah selesai satu pekerjaannya, lalu akan berkemas lagi memulai pekerjaan baru (faidza faroghta fanshob, wa ilaa robbika farghab). Dengan kesadaran akan tantangan dan kesulitan baru yang akan mereka jumpai. Dan tentu saja dengan kesadaran akan banyaknya pertolongan Allah atau kemudahan yang ternyata turut menyertai. 

 

Ketua Mer-C (Medical Emergency Rescue Committee), dr. Jose Rizal Jurnalis, saat ditanya kenapa suka dan rela pergi ke beberapa zona perang untuk misi kemanusiaan padahal bisa saja mencapai kemapanan hidup jika pun dengan tinggal dirumah saja, menjawab dengan singkat, “Hidup seperti itu, tidaklah nikmat”.  

 

Pengalaman hidup Ferrasta ‘Pepeng’ Soebardi –dulu dikenal sebagai presenter sebuah acara kuis ‘jari-jari’- mungkin juga bisa menjadi masukan bagi kita tentang indahnya memenangkan pertempuran melawan kesulitan.  

 

Pepeng menderita Multiple Sclerosis. Penderita Multiple Sclerosis harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tak bisa sembuh, karena hingga kini belum ditemukan obatnya. Kemudian penderita akan lumpuh dan terus-menerus merasa nyeri yang amat sangat. Kombinasi keduanya menyebabkan penderita mengalami tekanan mental yang berat. Tapi pepeng menghadapinya dengan sabar bahkan berusaha untuk lebih shalih dan terus memberi manfaat untuk orang-orang disekitarnya. Ia masih terus berkarya. Apapun yang ia bisa. Menulis buku, mengisi kuliah psikologi, dan lain-lain meskipun hanya di kamarnya.  

 

“Haqul yaqin, saya tak akan stres,” ujar Pepeng. Pepeng juga menegaskan bahwa ia tidak mau menjadi victim (berputus asa), tetapi harus menjadi survivor sekaligus leader.    Survivor selalu siap menghadapi segala sesuatu, tidak merasa takut sama sekali meski cobaan sangat berat. Survivor bukan berarti menjadi sombong, merasa dirinya bisa mengatasi segala sesuatu.  Melainkan tetap mempunyai keyakinan bahwa Allah lah yang mengatasi segalanya. 

 

Setelah bisa survive ia berusaha untuk take a lead dengan tak pernah kekurangan akal menghadapi kondisi yang serba terbatas. Ketika punya kaki, dia bisa pergi ke mana saja. Ketika lumpuh, dia pun tak lantas larut dalam penderitaan dan menyerah begitu saja. Ia berfikir bagaimana agar tetap bisa pergi tanpa menggunakan kakinya. Ketika seseorang bisa menjaga agar hatinya tak menderita, orang tersebut tak akan sick. Sehingga, apa pun kondisinya, dia akan take a lead. Badan boleh sakit, tapi tak menghalanginya untuk bisa berkontribusi pada keluarga dan lingkungan sekitarnya. “I’m not sick, but pain,” kata Pepeng menggambarkan kondisinya.  

 

Pepeng dengan kestabilan mental sekarang ini ternyata tak lepas dari godaan. Banyak orang yang datang menawarkan kesembuhan, Dari ujung yang paling kedokteran sampai ujung yang paling tak karuan. Semua godaan itu diyakini Pepeng sebagai sebuah konsekuensi dari pilihannya dan tantangan baru. Ia tetap memegang prinsip yang ia yakini untuk tak mencoba karena tahu bahwa cara-cara itu melanggar aturan Allah. 

 

Kemudian, contoh yang terdahsyat dari para Climbers, adalah Rasulullah saw. Allah swt menawarkan pada beliau, seluruh bumi dijadikan emas dan diserahkan kepada beliau. Tapi, apa yang Rasulullah saw pilih? Beliau memilih jalan yang dianggap ‘aneh’ oleh sebagian besar orang. Seorang kepala negara, tidur beralaskan rerumputan kasar lagi membekas di punggungnya, tidak makan sebelum yang lain makan, tidak mengambil fasilitas dan harta rampasan perang, tidak menyisakan harta di hari wafatnya karena diserahkan dijalan perjuangan. Beliau adalah seorang sederhana yang penuh cinta dalam pendakian 23 tahun tanpa henti dengan hasil yang sekarang bisa kita nikmati. 

 

”Kehidupan itu menderita”. Itulah yang dipelajari Pangeran Siddhartha di atas kereta kudanya ketika ia melihat seorang pria tua, seorang pria sakit, seorang pria miskin, dan seorang pria yang telah mati. Ada banyak bentuk penderitaan karena penderitaan mencakup derita tubuh maupun derita pikiran. Kematian, rasa sakit, dan penyakit adalah bentuk penderitaan yang paling terlihat. Yang kurang terlihat, walaupun mungkin lebih merusak, adalah menderita oleh perasaan-perasaan duka, frustasi, putus asa, menderita keadaan mental-mental negatif (seperti rakus, sikap benci dan kecanduan) serta menderita– bahkan, dalam saat-saat merasa puas–kebosanan dan kegelisahan. Keluarga kita membangkitkan amarah. Temanteman kita mengecewakan kita. Masa lalu kita tidak lagi menyenangkan. 

 

Dalam cara-cara ini, penderitaan menginfeksi totalitas kehidupan. Begitu banyaknya sampai-sampai satu bagian kehidupan yang menderita mengisi peristiwa-peristiwa yang menyenangkan.  

 

Maka, bergaullah dengan penderitaan. Anggaplah penderitaan sebagai ’teman akrab’ Anda, karena walaupun Anda hendak lari dari penderitaan, penderitaan akan tetap mengejar dan lengket dalam kehidupan Anda. Sesungguhnya yang menjadi masalah bukan ’penderitaan’, tapi sikap kita terhadap penderitaan itu. 

 

Diantara hal yang bisa membantu seseorang agar bisa menerima apa yang telah menjadi kehendak dan keputusan Allah adalah dengan selalu mengingat apa yang menimpanya merupakan hal yang dicintai dan dikehendaki Allah. Oleh karena itu, sudah seharusnya dia mencintai apa yang dicintai oleh tuan, raja, sekaligus penciptanya. Pantaskah jika kita tidak mencintai sesuatu yang dicintai Allah, sementara ketika kita mencintai seseorang saja, kita sampai mencintai semua yang dicintainya, sesuatu yang mirip dengannya, bahkan semua yang bisa menyenangkannya? 

Lihatlah ketika orang sedang dimabuk cinta. Dia pasti berkata, 

Kalau memang bahagiamu dalam dukaku Tidurku pun akan kugadaikan untukmu. 

 

Dan yang lain lagi berkata, 

Ketika orang yang melakukannya sungguh memuakkan jiwa. Tapi ketika kamu yang melakukan sungguh begitu menyenangkan. 

Wahai saudaraku, cintailah apa yang dicintai Allah. Pejamkan matamu, kosongkan jiwamu, dan bisikkan kepada 

Tuhan, 

 

Ya Allah…. 

Kepedihan di jalan-Mu ialah kenikmatan 

Keterasingan bersamamu ialah kesejukan 

Bagiku, Engkau adalah ruh dan kehidupan 

Bahkan untuk-Mu nyawa kan ku korbankan 

Cintaku pun akan aku persembahkan Untuk hal-hal yang Kau cintakan. 

 

Ketika Tuhan menyentuh Anda–dalam suka atau dalam duka, dalam kesenangan atau dalam penderitaan, dalam sehat atau dalam kesakitan, dalam kekayaan atau kemiskinan, dalam kelebihan atau kekurangan, dan dalam kemuliaan atau kehinaan–pahamilah bahwa selalu ada peran Dia dalam kehidupan ini. Pada akhirnya, kemampuan mengenali Tuhan, kemampuan merasakan kehadiran-Nya–di setiap nafas kehidupan– dapat menentukan kedamaian hidup kita. Kelak ketika kita kaya, kita kaya dalam damai. Ketika kita sejahtera, kita sejahtera dalam damai. Begitu pula ketika kita menderita, kita menjalani penderitaan dalam kedamaian. Tidak ada satu pun situasi yang tidak kita jalani kecuali dengan hati yang selalu diliputi kedamaian. 

 

Temukanlah Tuhan dalam penderitaan! Sebab sejatinya Tuhan sedang menganugerahi anugerah-Nya lewat pintu penderitaan. Kita mengenal Dia lewat sakit kita, bukankah ini anugerah? Kita mendapatkan “pencucian dosa” dalam setiap gumpalan penderitaan dan kesusahan di dunia ini. Bukankah ini juga anugerah? Temukan dulu Tuhan, maka penderitaan kita bukanlah sebuah penderitaan. 

 

Untuk mereka yang sedang diliputi kekayaan dan kesenangan, temukan juga Tuhan dalam kekayaan dan kesenangan Anda. Apa maksud Tuhan ketika Dia memberikan kekayaan buat Anda? Apa maksud Tuhan meneteskan kesenangan untuk Anda? Bila Anda gagal menangkap pesan Tuhan, atau gagal merasakan peran-Nya di balik semua kekayaan dan kesenangan yang dirasa, maka sesungguhnya ia bukanlah kekayaan dan kesenangan yang sebenarnya. 

 

Jika Anda sudah menggantungkan semua hal kepada Allah, niscaya Anda tidak akan menganggap penderitaan adalah penderitaan, kesedihan adalah kesedihan. Anda akan menganggap penderitaan dan kesedihan sebagai hal yang biasabiasa saja. 

 

Priatno, penulis buku ”Spiritual Thinking” pernah menguji coba konsep Spiritual Thinking kepada adik Abah Anom bernama Abah Nur Anom. Ia mempersilakan Abah Nur Anom agar membayangkan episode masa lalunya yang menyedihkan. Abah Nur Anom pun berpikir sejenak, lalu berkata, ”Ah, yang sudah lewat semua biasa-biasa saja….” Kemudian Priatno mempersilakan Abah Nur Anom membayangkan episode masa lalunya yang menyenangkan. Dan jawaban Abah Nur Anom tetap sama seperti semula. 

 

Demikianlah orang yang sudah tercelup dengan kalimat La Ilaha Illallah. Kesedihan baginya sama saja dengan kesenangan. Ia menganggapnya sebagai hal biasa. Abah Nur Anom telah mampu menghapus semuanya dengan prinsip La Ilaha Illallah. Abah Nur Anom sudah bisa melepaskan semua yang dialaminya dalam kehidupan dan berpegang teguh hanya kepada Allah, sehingga hidupnya tenang, karena gerak-geraknya adalah zikrullah

 

Sebuah batu intan akan bercahaya indah apabila sudah dibakar, diasah, digosok, serta ditempa. Apabila sebuah intan tak mau mengalami proses itu maka ia takkan menjadi bercahaya, tak ada orang yang akan mengagumi keindahannya. 

 

Begitu juga seorang manusia yang ingin berjalan menuju suatu pintu kesadaran dan kedamaian, ia akan ditempa oleh proses yang bernama penderitaan, kesakitan, kehilangan. Baru setelah ia mengalami semua proses penempaan yang berwujud penderitaan, ketika ia ikhlas menerima semua itu, ia pasrah mengalir bersama derita, ia bahagia dalam derita, maka hatinya akan bercahaya, ia mulai masuk pada jalan jalan pencerahan diri, jalan menuju kesadaran nurani. 

 

Banyak contoh manusia manusia suci yang lahir menjadi bercahaya ketika bisa menikmati penderitaan. Jalarudin Rumi bercahaya setelah ia kehilangan mursidnya Syam dari Tabrit, Pema Codron lahir dalam pencerahan ketika ia dikhianati suaminya serta diceraikan tanpa kesalahan dan penjelasan, Mahatma Gandhi lahir dari pencerahan tekanan penjajahan. 

 

Naik turun irama kehidupan, bahagia derita, senang susah, sukses gagal adalah sebuah proses yang datang kepada kita dengan pesan yang berbeda. 

 

Dalam kesuksesan, kemenangan, kekayaan memang patut kita syukuri. Namun pesan yang dibawakan oleh penderitaan, kehilangan, kesedihan, juga sedang mengajar kita akan perlunya wajah ikhlas serta pasrah total pada pengaturan pada Sang Pemberi Kehidupan. 

 

Jadi, jadikanlah semua proses hidup, baik itu kemudahan, maupun penderitaan untuk mengembalikan terang cahaya hati nurani kita. 

 

“Ibarat bola lampu yang terang memancarkan cahaya setelah memadukan kutub positif dan negatif. Begitu juga manusia harus memadukan bahagia dan derita menjadi cahaya nuraninya dalam kesadaran” 

 

Membangun rasa syukur adalah penawar menakjubkan bagi kelaparan yang tiada terpuaskan. Kita jarang menyadari atau menghargai hal-hal yang selalu tersedia bagi kita, momen demi momen. Alih-alih berfokus pada yang diberikan pada mereka, banyak orang menghabiskan waktu untuk memusatkan perhatian pada hal-hal yang tidak mereka miliki. Pikiran inilah yang membuat kita menderita. 

 

Bukankah kita sering menderita karena hal-hal yang tidak ada di hadapan kita, padahal kita masih mempunyai mata, telinga, kaki dan tubuh yang sehat? Tidakkah kita memerhatikan begitu banyak orang yang lumpuh, rumahnya hanya gubuk reot, namun mereka masih bisa tersenyum lepas dan tersenyum sinis menghina dunia ini? 

 

Ayah, tolong petikkan mawar merah yang indah itu!” pinta seorang bocah kepada ayahnya.  

“Kenapa kau tak petik sendiri aja, Nak?” “Aku takut, `kan banyak durinya, Ayah!” 

“Jika kita ingin memetik bunga, kita harus kuat menahan duri yang ada padanya. Begitu pun kehidupan, Nak.” 

 

Ya, begitu juga kehidupan. Tanpa duri, tidak akan ditemukan keindahan hidup. Tak `kan ada hidup yang menawan tanpa dibidani oleh duri penderitaan. Namun, tak sedikit di antara kita yang menganggapnya sebagai musuh kehidupan. Sebagai musuh, ia sering dihindari ketimbang dihadapi. Sebagai musuh, ia sering diproyeksikan buruk oleh ego kita. 

 

Duri memang selalu identik dengan penderitaan. Dan sampai kapan pun, yang namanya penderitaan selalu berwajah taksa, ganda: menyakitkan dan menguatkan. Banyak yang luka karenanya, tapi juga tak sedikit yang justru menjadi kuat karena kehadirannya. Saat kita tidak menerima kehadirannya, di situlah proyeksi kita terhadap penderitaan selalu menyesak di dalam dada. 

 

Selama kita tidak membuka diri, dan masih mengharapkan sepi dari penderitaan, kita tak `kan pernah menemukan indahnya kehidupan. Selama kita menawannya sebagai musuh, ia hanya akan menyisakan derai airmata. Butuh kearifan yang tak biasa dan kematangan jiwa untuk menemukan hikmah di balik setiap kepedihan akibat luka sayatannya. 

 

Kepedihan hanya ada dalam perlawanan. Sukacita hanya ada dalam penerimaan. Situasi menyakitkan yang kita terima dengan sepenuh hati akan menjadi sukacita. Situasi sukacita yang tidak kita terima akan menjadi kepedihan. Tidak ada yang namanya pengalaman buruk. Pengalaman buruk semata-mata merupakan kreasi dari perlawanan kita terhadap pengalaman itu. (Jalaluddin Rumi). 

 

Setiap penderitaan, setiap kegagalan, setiap kemalangan, dan setiap sakit hati mengandung benih hikmah yang setimpal atau bahkan lebih besar lagi. Memang, tak bisa dimungkiri kalau melepaskan diri dari ragam penderitaan merupakan pekerjaan yang sulit. Tapi, masih perlukah kita menangisi perih yang diakibatkannya jika banyak hikmah yang dilahirkannya dari sana? 

 

Sepuhlah derita menjadi bahagia. Sebab, jika kau tahu bahwa hidup itu mempunyai arti yang beragam, tentunya bahagia juga memiliki makna yang tidak tunggal!!!” ucap sang ayah sembari berlalu pergi. 

 

#Syaiful_Anwar

#Fakultas_Ekonomi

#Universitas_Andalas

#Kampus2_Payakumbuh

#Mahakarya_Penderitaa

#Memaknai_Penderitaa

 

Respon (2)

  1. Thank you for your sharing. I am worried that I lack creative ideas. It is your article that makes me full of hope. Thank you. But, I have a question, can you help me?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *