Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Dalam keluarga, hanya ibunya saja yang masih ada. Uwais bekerja menjadi pengembala kambing untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Upah yang diterima cukup untuk dirinya dan ibunya. Bila mendapat hasil lebih, ia akan menggunakan kelebihan itu untuk membantu tetangganya.
Sang ibu sudah renta. Penglihatannya sudah kabur. Ia tidak bisa jauh dari Uwais. Uwais memeluk Islam secara tidak langsung di hadapan Rasulullah. Rumahnya di Yaman, beratus kilometer dari tempat Rasulullah di Madinah. Tak sedikit tetangganya yang memeluk Islam kemudian pergi ke Madinah untuk beremu secara langsung dengan Rasulullah, dan kembali ke Yaman dengan membawa ajaran-ajaran dari Nabi terakhir itu. Uwais sedih karena ia tidak bisa melakukan itu. Ia sangat ingin bertemu langsung dengan Rasulullah. Namun, ia tidak bisa meninggalkan ibunya yang tak bisa lepas dari pendampingan dirinya, selain ia tidak memiliki bekal yang cukup untuk ke Madinah.
Hari demi hari kerinduan Uwais bertemu dengan Rasulullah semakin tak terbendung. Ia tidak bisa memendamnya lagi. Ia kemudian mengutarakan niatnya kepada sang ibu. Ibunya terharu dengan kesungguhan anaknya.
“Pergilah, Nak!” kata sang ibu. “Temui kekasihmu, Rasulullah.
Dan segeralah pulang jika sudah menemuinya. Aku tak bisa sendiri.”
Uwais sangat gembira. Ia segera berkemas, mempersiapkan bekal yang diperlukan. Sebelumnya tak lupa ia membereskan segala keperluan ibunya selama ia pergi, dan meminta tolong kepada tetangganya agar menjaga ibunya. Pergilah Uwais menempuh perjalanan ke Madinah yang berjarak sekitar empat ratus kilometer dari Yaman. Perjalanan yang tak mudah dengan kondisi alam yang bisa mengganas. Belum lagi perampok yang mungkin saja menghalangi perjalanan.
Tibalah Uwais di Madinah. Ia segera mencari Rasulullah. Setelah ketemu, di rumah Rasulullah hanya ada Aisyah. Uwais menyampaikan niat kedatangannya. Namun, sayang, saat itu Rasulullah sedang memimpin perang. Betapa kecewa hati Uwais. Ia berpikir akan menunggu sampai Rasulullah pulang, namun Aisyah pun tidak tahu kapan Rasulullah akan pulang. Uwais teringat pesan ibunya agar tidak terlalu lama di Madinah.
Akhirnya, ia memutuskan kembali ke Yaman dengan berat hati dan rindu yang tak tertahan karena belum sempat bertemu dengan Rasulullah. Ia pun pamit kepada Aisyah dan hanya menitip salam untuk Rasulullah. Uwais melangkah. Air matanya menetes. Hatinya berbisik, “Tak apa aku tak bisa berjumpa dengan Rasulullah. Namun, aku akan menjaga dan mengamalkan sunnah-sunnah beliau sebaik-baiknya.” Uwais begitu mencintai Rasulullah. Dikisahkan, saat perang Uhud, Rasulullah terluka. Gigi beliau tanggal. Kabar itu sampai ke Uwais. Saat itu juga Uwais segera menanggalkan giginya, ingin merasakan sakit yang dirasakan Rasulullah.
Cinta itu terkadang tidak bisa dimengerti oleh akal. Ia melahirkan getaran-getaran yang unik, aliran-aliran yang tak terduga, dan perilaku-perilaku aneh. Kisah Uwais adalah buktinya. Ia rela menempuh perjalanan yang amat jauh, 400 km. Itu pun ditempuh bukan dengan kendaraan, tapi dengan berjalan kaki. Namun, perjalanan panjangnya justru sia-sia. Ia sama sekali tidak bertemu dengan sang kekasihnya, Rasulullah. Uwais pun rela menggalkan giginya, karena ingin merasakan sakit sebagaimana sakitnya Rasulullah Saw. Bukankah ini aneh?
Namun, jika kita membaca sosok Rasullullah Saw. dalam bukubuku sejarah, kita akan menangkap bagaimana kecintaan beliau kepada umatnya, sehingga wajarlah kalau umatnya pun mencintainya. Maka, hal yang aneh menjadi wajar, karena cinta adalah timbal balik. Tidak mungkin seseorang mencintai kekasihnya, kalau sang kekasih tidak punya cinta kasih.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Energi_Cinta
#Cinta_Uwais_Terhadap_Rasul