Oleh: Efriza | Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
Matarakyat24.com –WACANA Pajak 12% sudah memberikan kerugian langsung kepada masyarakat. Padahal program pajak ini diinformasikan berlaku pada tanggal 1 Januari 2025, realitas di lapangan, masyarakat sudah merasakan biaya pengeluarannya sudah cukup besar ketimbang pendapatannya yang tidak naik.
Gembar-gembor pajak ditenggarai sudah dilakukan oleh para pengusaha, sebut saja pengusaha makanan. Langkah penerapan oleh para pengusaha ini berdampak kepada perekonomian masyarakat.
Mereka para pengusaha mensiasati wacana kenaikan pajak ini dengan cara tindakan yang tidak fair, jika tak ingin disebut tidak jujur. Konsumen akhirnya mengalami terjebak dalam situasi yang dirugikan, tetapi acap harus memakluminya. Tulisan ini ingin membahas dampak wacana PPN 12% dan dampak yang dirasakan oleh masyarakat.
Perubahan Pola Pasar
PPN 12% ditenggarai menjadi pemicu para pedagang mengakali keuntungan dengan membebankan anggaran untuk bayar pajak kepada konsumen. Pedagang memahami menaikkan barang dagangannya akan menyebabkan kerugian, jika memperkecil kemasan yang dijual juga akan merugikan, bahkan apalagi jika tidak memberikan diskon bisa-bisa kalah dengan para pedagang kompetitor maupun yang online.
Banyak kasus yang ditemui oleh penulis, sejak wacana PPN 12% mencuat maka situasi pasar berbeda dari kondisi harga untuk suatu produk dan harga yang harus kita bayar. Maka, hitungan kita misalnya, ketika makan di luar rumah, dine in, jika dulu yang diterapkan adalah harga total apa yang kita beli sudah termasuk PPN. Tetapi sekarang tidak, sebab di struk yang kita terima ada tambahan biaya untuk pajak bahkan biaya pelayanan.
Hal yang sama terjadi dalam diskon ketika kita memesan makanan. Jika dulu kita tergiur karena harga yang tercantum sama dengan yang dibayarkan. Sekarang berbeda, harga diskon itu belum termasuk harga pajak yang dibebankan kepada pembeli.
Jadi, harganya tentu tidak sama dengan apa yang kita bayangkan dan dengan yang harus kita bayarkan. Fakta yang miris adalah harga service charge dan pajaknya, bisa seharga makanan dan minuman yang dipesan dalam satu menu. Sebab, harga pajak standar makan saat ini adalah sekitar 13-14 ribu rupiah.
Pemerintah Melupakan Efek “Pengikut”
Acap kita mendengar bahwa informasi Pemerintah tentang Pajak 12 persen hanya terbatas pada barang-barang tertentu. Sayangnya, Pemerintah melupakan pola “latah” para pengusaha kita, yang aji mumpung.
Sana-sini diprediksi akan naik, ikut-ikutan naik, dengan alasan adanya kenaikan pajak. Efek pengikut, atau para pelaku pasar yang sekadar mengikuti, tak bisa diabaikan, akhirnya yang terjadi adalah kenaikan harga-harga di mana-mana.
Bahkan, ditenggarai Perbankan pun harga potongan untuk biaya pajak atau administrasinya diprediksi akan mengalami kenaikan, tinggal hanya menunggu waktu saja. Kecenderungan yang dapat diprediksi adalah memungkinkan kita merasakan biaya bunga bank tidak lagi besar ketimbang biaya potongannya.
Kondisi ini tentunya akan meningkatkan kenaikan biaya hidup dari masyarakat. Sayangnya, pendapatan masyarakat tidak bertambah. Andai ada penambahan pendapatan itu tidak merata, perhatian pemerintah lebih kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) semata, sedangkan swasta tidak pernah menjadi perhatian dari pemerintah. Kecuali ketika terjadi berita viral, auto pemerintah peduli, sehingga terkenal analogi di negeri ini, jika ingin diperhatikan pemerintah maka viralkan.
Jangan lupakan pula kenyataan pola perdagangan di negeri ini, jika harga naik maka akan sulit untuk turun. Jadi jika ada kestabilan harga, sebenarnya adalah karena penerimaan masyarakat saja terkait harga baru. Contoh kecil saja, ketika era Jokowi di periode keduanya, sampai saat ini harga daging sapi, masih sebesar 120 ribu per kilogram, masyarakat telah menerima harga tersebut, harga daging yang disebutkan tersebut tentu berbeda-beda di daerah-daerah lainnya.
Saat ini, harga sudah mulai merangkak naik perlahan. Harga kebutuhan Sembilan Bahan Pokok (Sembako) terasa sekali sudah mengalami kenaikan. Situasi ini diprediksi bahwa barang-barang kebutuhan lainnya akan juga mengalami kenaikan harga. Namun, diyakini ketika gejolak kenaikan harga meningkat, maka langkah kebijakan dari pilihan pemerintah menaikkan harga Pajak untuk menstabilkan kondisi ekonomi masyarakat adalah melalui program bantuan sosial (Bansos) maupun bantuan langsung tunai (BLT) semata.
Ini artinya, memungkinkan Pemerintah tidak punya strategi dalam menyelesaikan proses dan imbas dari persoalan wacana kenaikan pajak. Bahkan, sayangnya respons pemerintahan Prabowo tidak cepat dan cermat, disinyalir jika rakyat memilih protes melakukan demonstrasi turun ke jalanan karena tercekik kondisi ekonomi akibat imbas wacana pajak 12%, maka pemerintah baru merespons dengan meninjau wacana kenaikan pajak tersebut.
Tetapi apakah persoalan ini selesai? Diyakini tidak, sebab pengusaha sudah menikmati keuntungannya, jadi harga yang harus dibayar saat masyarakat makan ditempat dikedai-kedai makanan misalnya, memungkinkan tidak kembali ke kondisi sebelumnya, tetapi harga sebuah komiditi ditambah biaya pelayanan dan pajaknya. (*)
This blog is definitely rather handy since I’m at the moment creating an internet floral website – although I am only starting out therefore it’s really fairly small, nothing like this site. Can link to a few of the posts here as they are quite. Thanks much. Zoey Olsen