Matarakyat24.com, TERNATE – Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) melaksanakan tugas dan fungsi legislasi untuk menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hilirisasi Mineral dan Batu Bara. Dalam melakukan tugas dan fungsi registrasi tersebut, Komite II DPD RI melakukan penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tentang Hilirisasi Mineral dan Batu Bara pada Hari Senin (03/02) di Ternate, Maluku Utara.
Komite II DPD RI melaksanakan penyusunan DIM RUU tentang Hilirisasi Mineral dan Batu Bara di Royal Function Hall, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara yang dihadiri oleh PJ. Gubernur Maluku Utara beserta jajaran pejabat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku Utara; Staf Ahli Menteri Bidang Pangan, Sumber Daya Alam, Energi, dan Mutu Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup/BPLH beserta tim; Direktur Hilirisasi Mineral dan Batu Bara Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM; Koordinator Pengawasan Usaha Operasi Produksi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM); Deputy Manager of Environmental, Social, and Governance (ESG) PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (PT. IWIP) beserta tim; Government Relation Manager Harita Nickel beserta tim; Perwakilan PT. Antam; Perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Maluku Utara; Perwakilan Kadin Provinsi Maluku Utara; dan sejumlah akademisi di bidang lingkungan.
Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si. selaku Senator asal Maluku Utara mengawali rapat penyusunan Daftar Investarisasi Masalah RUU tentang Hilirisasi Mineral dan Batu Bara ini dengan memberikan sambutan. Pada kesempatannya, beliau menyampaikan bahwa RUU ini merupakan inisiatif DPD RI sebagai rencana jangka panjang yang akan diusulkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2026. Dalam sambutannya, beliau menyoroti bahwa hilirisasi mineral dan batu bara perlu dikawal dengan regulasi perundang-undangan yang jelas.
Hal ini dikarenakan hilirisasi pada komoditas mineral dan batu bara memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat di daerah yang memiliki sumber daya mineral. Sebagai salah satu daerah yang memiliki cadangan nikel terbesar di Indonesia, Maluku Utara tentunya memiliki kepentingan untuk menyejahterakan masyarakatnya. Kebijakan hilirisasi mineral dan batu bara sangat berdampak terhadap ekonomi Maluku Utara, utamanya investasi yang dilakukan di Pulau Halmahera. Dengan dimanfaatkannya sumber daya mineral di bumi Indonesia timur, suara masyarakat di Timur Indonesia, khususnya Maluku Utara, harus didengar oleh para pemangku kepentingan.
Pj. Gubernur Maluku Utara Drs. Samsuddin Abdul Kadir, M.Si. dalam sambutannya mengapresiasi kedatangan Komite II DPD RI di Maluku Utara untuk membahas mengenai hilirisasi pada komoditas mineral dan batu bara. Hal ini dikarenakan peningkatan nilai tambah pada komoditas mineral dan batu bara dapat memberikan keuntungan bagi perekonomian daerah dan negara. Hilirisasi sudah memberikan manfaat yang luar biasa terhadap perekonomian Maluku Utara. Akan tetapi, regulasi tertentu terkadang menghambat upaya hilirisasi yang dapat memberikan ketidakpuasan kepada pemerintah dan masyarakat Maluku Utara. Regulasi terkait pertambangan dan hilirisasi seharusnya mendekatkan pemerintah dan masyarakat daerah kepada rasa puas, bukan sebaliknya. Selain itu, beliau juga menyinggung mengenai pelarangan ekspor bijih nikel dan kewajiban untuk melakukan hilirisasi pada bijih nikel tersebut menciptakan sekitar ratusan ribu lapangan kerja. Potensi untuk membuka lapangan kerja di Maluku Utara dapat lebih besar lagi apabila hilirisasi pada komoditas nikel dapat dilakukan sampai produk akhir, seperti pabrik mobil dan pabrik baterai. Hal ini dikarenakan hilirisasi nikel hanya terbatas pada produk Ferro-Nickel (FeNi) yang bukan merupakan produk akhir.
Beliau mengharapkan hilirisasi dapat menciptakan “deltanisasi”, yaitu membentuk kehidupan baru yang bisa memberikan penghidupan yang lebih baik dari hasil hilirisasi. Hilirisasi perlu diperdalam dan diperkuat untuk dapat memaksimalkan manfaat hilirisasi kepada masyarakat. Regulasi yang akan disusun dalam RUU ini diharapkan bisa memperbaiki tata kelola hilirisasi mineral dan batu bara sehingga bisa memberikan manfaat yang maksimal kapada masyarakat.
Selama ini, daerah pertambangan adalah daerah yang termasuk berkontribusi untuk pendapatan negara dan memberikan manfaat berupa terbukanya banyak lapangan kerja. Namun, pertambangan dan upaya hilirisasinya seringkali berlawanan dengan isu yang berkaitan dengan lingkungan. Dengan demikian, perlu dirumuskan regulasi yang sedemikian rupa untuk mewujudkan aktivitas pertambangan dan hilirisasinya yang tetap dapat menguntungkan secara ekonomi tetapi juga memerhatikan aspek lingkungan agar tidak rusak.
Dalam sambutannya, Dr. Badikenita Br. Sitepu, S.E., S.H., M.Si., selaku Ketua Komite II DPD RI, menyampaikan bahwa penyusunan RUU ini dilakukan untuk melahirkan regulasi perundang-undangan yang dapat menciptakan ekosistem pertambangan dan hilirisasi mineral dan batu bara yang dapat mendukung upaya peningkatan perekonomian negara dan kesejahteraan ekonomi masyarakat, baik secara regional maupun nasional, dan upaya untuk mewujudkan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya mineral dan batu bara yang berkelanjutan. RUU ini akan memuat mengenai regulasi yang mengatur mengenai peningkatan nilai tambah hingga industrialisasi dan manufaktur yang berkelanjutan serta produk berteknologi tinggi. Dengan dilakukannya dialog dengan berbagai pemangku kepentingan, hasil dari kunjungan kerja ini akan menjadi masukan yang bersifat fundamental dalam menciptakan peraturan perundang-undangan yang dapat memperbaiki dan mempertegas tata kelola hilirisasi mineral dan batu bara di Indonesia.
Dalam sesi pemaparannya, Dra. Laksmi Widjayanti, M.Sc. selaku Staf Ahli Menteri Bidang Pangan, Sumber Daya Alam, Energi, dan Mutu Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup/BPLH menilai bahwa RUU ini dapat menjadi role model dalam pelaksanaan hilirisasi mineral dan batu bara di Indonesia. Beliau menyinggung bahwa perlu dilakukan penguatan pada pengawasan dan pembinaan terkait aspek lingkungan dalam pertambangan dan hilirisasi. BPLH akan berperan dalam penyusunan RUU tentang Hilirisasi Mineral dan Batu Bara dengan memberikan masukan terkait cara berperilaku di sektor pertambangan dan mitigasi perubahan iklim. Beliau melihat bahwa RUU ini disusun untuk mencapai target ekonomi tertentu. Akan tetapi, pemanfaatan sumber daya alam ini perlu diimbangi dengan aspek pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Sebagai Direktur Hilirisasi Mineral dan Batu Bara Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Rizwan Aryandi Ramdhan menyampaikan bahwa hilirisasi dilakukan untuk mendorong tercapainya target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% per tahun. Dalam upaya mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut, dibutuhkan total nilai investasi sebesar Rp13.528 Triliun pada Periode 2025-2029. Beliau mengungkapkan bahwa kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel dan hilirisasi nikel meningkatkan nilai ekspor Indonesia berkali lipat. “Pada tahun 2017, sebelum larangan ekspor nikel, ekspor produk turunan nikel hanya sebesar USD 3,3 miliar. Pada tahun 2023, setelah larangan ekspor nikel, ekspor produk turunan nikel mencapai USD 33 miliar”, ucap Rizwan.
Selain itu, Rizwan juga menjelaskan bahwa BKPM telah melakukan upaya untuk mendorong hilirisasi pada sektor mineral dan batu bara, salah satunya adalah membentuk Peraturan Presiden tentang Hilirisasi yang memuat peta jalan hilirisasi investasi strategis sebagai dasar hukum bagi Kementerian/Lembaga (K/L) dan menetapkan BKPM sebagai leading sector untuk implementasi dari hilirisasi. Beliau juga menyinggung bahwa hilirisasi ini dihadapi oleh sejumlah tantangan, diantaranya adalah dibutuhkannya investasi yang cukup besar dan masih belum mandirinya Indonesia dari segi teknologi hilirisasi. Beliau menyarankan kepada Komite II DPD RI untuk berkoordinasi dengan Satuan Tugas (Satgas) Ketahanan Energi Nasional untuk memetakan isu-isu yang dapat menghambat percepatan hilirisasi serta aspek lingkungan yang perlu diperhatikan lintas-K/L.
Sejalan dengan BKPM, Koordinator Pengawasan Usaha Operasi Produksi Kementerian ESDM Hersanto Raharjo menyinggung bahwa hilirisasi adalah salah satu kebijakan yang menjadi inti dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. “Dalam RPJPN 2025-2045, kegiatan hilirisasi, industrialisasi, dan industri padat teknologi dan inovasi menjadi game changers super prioritas”, ujarnya.
Dalam kesempatannya, beliau juga menyinggung proses hilirisasi nikel yang tidak sampai produk akhir. “Pada saat ini, untuk nikel, prosesnya baru sampai tahap satu dan tahap dua. Tapi sampai ke hilir masih belum. Pengolahan bijih nikel masih sampai produk tengah, seperti Ferro-Nickel, tidak sampai produk akhir seperti mobil”, singgung Hersanto. Walaupun demikian, hilirisasi akan terus diupayakan pemerintah agar dapat mencapai produk hilir.
Perwakilan PT. IWIP Mohammad Fuad Albar menyampaikan bahwa dalam upaya menghilirisasi komoditas mineral, khususnya nikel, PT. IWIP terus berekspansi dengan dibangunnya produk hilir di kawasan industrinya. “Beberapa pabrik sedang progress dibangun di PT. IWIP, seperti pabrik kendaraan alat berat bertenaga listrik. Ada rencana pembangunan industri energi hijau di PT. IWIP, yaitu energi bayu (angin)”, jelasnya.
Fuad juga menyampaikan bahwa ESG menjadi salah satu aspek penting untuk dipenuhi dalam operasional PT. IWIP. “Melalui CSR, PT. IWIP melakukan sejumlah poyek, seperti pembangunan gereja di sekitar kawasan Weda Bay Project dan bantuan evaluasi darurat kepada masyarakat desa sekitar yang terkena dampak banjir”, jelas Fuad.
Ketua APINDO Provinsi Maluku Utara Gajali Abdul Mutalib menyoroti adanya daerah di sekitar pertambangan Maluku Utara yang masih miskin. “Di Maluku Utara ada 10 Kabupaten/Kota. Ada daerah tambang yang menempati ranking 1 daerah tertinggal. Daerah tambang kok miskin? Apakah pengelolaan dan kebijakan kita salah?”, ucapnya.
Gajali berpendapat bahwa perizinan untuk pertambangan kecil yang dikelola masyarakat perlu dipermudah agar masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya alam (SDA) nya sendiri untuk meningkatkan kesejahteraannya. “Regulasi tambang-tambang kecil perlu dipermudah. Kalau tidak, kita hanya menjadi penonton karena putra daerah tidak dapat memanfaatkan SDA-nya sendiri. Jangan dipersulit. Kalau bisa tanpa diperlukan tender. Maluku Utara pasti kalah dalam tender ini”, ucapnya.
Gajali mengharapkan pemerintah pusat dapat mengatur pertambangan ini agar juga berpihak ke pertambangan kecil.
Dalam kesempatannya, perwakilan Dinas ESDM Pemprov Maluku Utara menyinggung terkait kewenangan atas hilirisasi yang sudah dialihkan kepada pemerintah pusat. Hal ini menyebabkan daerah kehilangan haknya untuk berperan aktif dalam hilirisasi. Pemprov Maluku Utara berharap kewenangan dalam melakukan hilirisasi dikembalikan kepada daerah agar kepentingan daerah dapat terlindungi.
Selain itu, perwakilan dari DPMPTSP Provinsi Maluku Utara menyinggung bahwa daerah tidak sama sekali dilibatkan dalam hal kemitraan terkait bagaimana merangkul pelaku usaha lokal di Maluku Utara untuk berperan aktif. DPMPTSP Provinsi Maluku Utara menegaskan perlu penekanan pada peran daerah dalam mengelola SDA dan hilirisasinya untuk kesejahteraan masyarakat daerah itu sendiri. “Perlu ditekankan pada peran daerah dalam hilirisasi karena pemerintah daerah seringkali digugat oleh masyarakat. Daerah yang memiliki SDA itu, tetapi daerah tidak memiliki wewenang dalam pelaksanaan hilirisasi tersebut”, ujarnya.
Dr. Muhammad Amin, S.Si., M.Eng. selaku akademisi dengan kepakaran pada bidang lingkungan menjelaskan krisis air bersih dan degradasi biodiversitas menjadi dua isu penting yang perlu diperhatikan dalam sektor pertambangan dan hilirisasinya. Kelangkaan air bersih di lingkar tambang menjadi isu karena adanya migrasi masuk masyarakat selain pekerja tambang ke daerah lingkar tambang yang menyebabkan semakin padatnya permukiman di daerah tersebut dan semakin banyaknya sumur yang digali untuk mendapatkan air bersih dari bawah tanah. “Krisis yang masuk pada aspek lingkungan yang terpenting dari hilirisasi adalah krisis air bersih”, ujar Dr. Amin.
Menurut Amin, daerah lingkar tambang tidak memiliki air tanah yang aman untuk dikonsumsi secara langsung. “Dapat kami buktikan bahwa 97% masyarakat (di daerah lingkar tambang) beli air bersih di warung-warung”, tambah akademisi tersebut.
Semakin padatnya permukiman menyebabkan semakin sedikitnya daerah resapan air yang menyebabkan bencana banjir. Bencana banjir yang terjadi ini disebabkan oleh belum adanya peraturan gubernur (Pergub) ataupun peraturan daerah (Perda) yang mengatur Daerah Aliran Sungai (DAS) di Maluku Utara. Dengan demikian, perlu ada kajian untuk menetapkan DAS di Maluku Utara sehingga permukiman yang tumbuh, terutama di daerah sekitar pertambangan, dapat terkendali. Di sisi lain, isu degradasi biodiversitas timbul dari dilakukannya pembebasan lahan untuk pertambangan dan aktivitas pertambangan itu sendiri. “Terdapat 47 spesies tumbuhan endemik yang berstatus terancam (vulnerable) di daerah pertambangan Maluku Utara,” ujar Amin.
Ia mengatakan bahwa hal yang paling penting untuk dilakukan dalam mengatasi krisis air bersih dan isu degradasi biodiversitas tersebut adalah dengan kolaborasi lintas stakeholder di tingkat lokal. Pemerintah Provinsi Maluku Utara telah berkomitmen untuk melakukan pengembangan sektor bidang lingkungan di pemerintah daerah sehingga akademisi dapat memberikan masukan dan solusi terhadap isu lingkungan di sektor pertambangan.
Para Anggota Komite II DPD RI turut menyampaikan masukan dan pendapatnya dalam sesi diskusi acara ini. Ketua Komite II DPD RI Dr. Badikenita Br. Sitepu, S.E., S.H., M.Si. menyampaikan perlunya spesialisasi pendidikan di daerah pertambangan untuk menyiapkan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan pertambangan di daerah tersebut. “Kampus lokal di daerah seharusnya dapat menyiapkan SDM yang sesuai untuk kebutuhan sektor pertambangan (di daerah) sehingga tidak perlu sekolah jauh-jauh ke luar pulau”, ujarnya.
Wakil Ketua Komite II DPD RI La Ode Umar Bonte, S.H., M.H. mengungkapkan bahwa DPD RI gerah dengan tata kelola hilirisasi yang tidak mengutamakan kepentingan daerah. “Daerah-daerah seringkali tidak dilibatkan dalam hilirisasi sebagai mitra pemerintah pusat”, tambahnya.
Senator asal Riau H. Abdul Hamid, S.Pi., M.Si. berpendapat bahwa perlu adanya pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam hilirisasi agar peran daerah semakin jelas. Senator asal Kepulauan Bangka Belitung Ir. H. Darmansyah Husein setuju dengan dipermudahnya izin untuk pertambangan kecil. “Terkait izin, pertambangan kecil perlu diperjuangkan kewenangannya. Kalau pusat kasih izin, kontrol pertambangan kecil akan dilakukan oleh pemerintah daerah”, ucapnya.
Habib Hamid Abdullah, S.H., M.H. selaku Senator asal Kalimantan Selatan menyayangkan fakta dimana Maluku Utara masih memiliki tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran yang tinggi serta terlihat seperti daerah tertinggal, yang dimana menjadi ironi karena Maluku Utara memiliki sumber daya mineral yang sangat kaya. “Perlu duduk bersama untuk berdiskusi dan berkolaborasi (antara pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan). Perlu penataan kembali dalam pelaksanaan hilirisasi, dengan memerhatikan peran Maluku Utara”, ucapnya dengan prihatin.
Senator asal Kalimantan Timur Dr. Yulianus Henock Sumual, S.H., M.Si. mengungkapkan bahwa perusahaan yang melakukan hilirisasi di Indonesia sangat minim. Hal ini menjadi ironi karena Singapura dapat secara sukses melakukan hilirisasi tanpa perlu memiliki sumber daya mineral di wilayahnya. Hilirisasi di Indonesia dapat memberikan manfaat yang maksimal apabila terlaksana dengan baik. “Pemerintah harus mengupayakan pembangunan infrastruktur (pendukung hilirisasi), seperti jalan, air bersih, listrik, dan sinyal internet karena semua itu adalah kebutuhan dasar masyarakat. Maluku Utara termasuk provinsi dengan pendapatan per kapita yang tinggi, tetapi kebutuhan dasarnya belum terpenuhi seluruhnya”, tambahnya.
Lis Tabuni selaku Senator asal Papua Tengah berpendapat bahwa nasib Papua Tengah dan Maluku Utara adalah sama. Hal ini tercermin dari adanya PT. Freeport di Timika, Papua Tengah yang dirasa tidak memberikan manfaat bagi masyarakat lokal. “Ada yang dimiliki daerah seperti hanya diambil seluruhnya oleh pusat. Daerah hanya mendapatkan “ampas” nya saja. Hak daerah harus diperjuangkan untuk mengolah SDA nya sendiri demi kesejahteraan masyarakatnya”, ucapnya.
Sebagaimana yang terjadi di Papua Tengah, Senator asal Papua Pegunungan Matias Heluka, S.H., M.H. mengatakan bahwa Papua Pegunungan memiliki tambang emas, tetapi tidak dirasakan oleh masyarakat Papua Pegunungan itu sendiri. “Hilirisasi ini perlu diperjuangkan bersama-sama (untuk kepentingan daerah)”, pungkasnya.
Untuk memeroleh informasi yang dibutuhkan dalam acara ini, Senator asal Papua Barat Daya Agustinus R. Kambuaya, S.I.P., S.H. mengatakan bahwa perlu dilakukan konfirmasi terhadap apa yang disampaikan para narasumber yang hadir dalam acara ini sehingga dapat diperoleh unsur fundamental dari disusunnya RUU ini. “Kita harus masuk ke pelaku usaha pertambangan (dalam penyusunan RUU ini). Apakah yang disampaikan narasumber dari pihak pemerintah itu benar? Perlu di cross-check’, ujarnya.
Kunjungan Kerja DIM RUU Hilirisasi Mineral dan Batu Bara Komite II DPD RI di Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara juga turut dihadiri oleh Wakil Ketua II Komite II DPD RI La Ode Umar Bonte, S.H., M.H. dan Anggota Komite II DPD RI, yaitu Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si. (Maluku Utara), H. Abdul Hamid, S.Pi., M.Si. (Riau), Ir. H. Darmansyah Husein (Kepulauan Bangka Belitung), Habib Hamid Abdullah, S.H., M.H. (Kalimantan Selatan), Dr. Yulianus Henock Sumual, S.H., M.Si. (Kalimantan Timur), Lis Tabuni (Papua Tengah), Matias Heluka, S.H., M.H. (Papua Pegunungan), dan Agustinus R. Kambuaya, S.I.P., S.H. (Papua Barat Daya).***