Matarakyat24.com, Jakarta – Dunia tidaklah persis sama bagi perempuan dan laki-laki. Esensi dan watak mereka tidak dimaksudkan untuk hal yang sama. Perempuan melihat dunia dari sisi keindahan dirinya walaupun terkadang bisa menjebloskan perempuan kedalam kesukaran untuk menentukan eksistensi dirinya di era yang serba serbi kosmetik untuk mempercantik dirinya seperti apa yang telah ditonton, dilihat dan dibayangkan. Harus dimengerti sepenuhnya bahwa tindakan, hak alamiah, dan hak asasi manusia bak perempuan maupun laki-laki memunculkan ketidaksamaan dalam hak-hak tertentu.
Cantik adalah Agamanya Perempuan
Menjadi cantik dimasa sekarang menjadi kebutuhan primer kaum perempuan dalam memandang dunia berdasarkan fitrah dirinya. Perempuan membuat suatu perbedaan antara yang “asli” dan “palsu”. Whorf dalam Antropologi Linguistik, mencoba menjelaskan sebuah pandangan dunia. Oleh karena cantik merupakan suatu nilai yang sah untuk dimiliki setiap perempuan menghasilkan budaya konsumerisme modern akan produk kosmetik berdasarkan apa yang mereka lihat dan apa yang mereka tonton sebagai sebuah kebutuhan yang harus terpenuhi.
Produk kosmetik yang dikonsumsi menjadi cantik adalah agama bagi perempuan. Bahasa tubuh perempuan mengharuskan dirinya akan terlihat seperti pemeran dalam iklan jika mengkonsumsi produk yang diiklankan.
Pengalaman perempuan sebagai bagian kelompok yang mendominasi kancah kosmetika, mendapat promosi sosial lewat media sosial.
Kekuasaan Kosmetik
Produk kosmetik yang dibawa oleh kapital sebagai suatu strategi kekuasaan kini menancap dalam diri perempuan. Beberapa kalangan perempuan mengidealkan dirinya seperti aktor dalam iklan. Tak jarang perempuan lebih mementingkan tampilan fisik dirinya dibandingkan tampilan dalam dirinya seperti pengetahuan dan moral. Bukan berarti semua perempuan itu imoral, melainkan kepekaan terhadap sekitar menjadi menipis akibat daya konsumerisme perempuan pada produk kecantikan menjadikan perempuan lupa akan RA Kartini, Fatimah Al-Fihri maupun tokoh-tokoh perempuan hebat lainnya. Dapat dikatakan bahwa beberapa kalangan perempuan sebagai pelaku sosial yang sekaligus rasional dan rasionalitasnya terbatas, menjadi marka Kebebasan yang menjadi dasar kekuasaan mereka terhadap produk kecantikan.
Tindakan mengkonsumsi produk kecantikan dibeberapa kalangan perempuan hanya ingin mendapatkan reaksi orang lain baik lawan jenisnya maupun sesama jenis. Menurut Marx Weber, tindakan manusia diarahkan pada makna dalam arti tindakan terkait dengan reaksi orang lain atau perilaku orang lain. Tidak dapat dipungkiri, Kekuasaan Kosmetik mengarahkan perempuan pada apa yang dimaksudkan oleh Weber, baik tindakan yang bersifat pasif maupun masif.
Kekerasan Simbolik Perempuan
Simbol dalam suatu produk kecantikan mencerminkan bentuk kekerasan secara simbolis kepada perempuan. Aktor dalam iklan misalnya, dituntut untuk memamerkan keutuhan tubuhnya baik bersifat sensual maupun tidak agar produk kecantikan tersebut dapat menguasai pasar yang diisi oleh perempuan dan sekurangnya lelaki. Dan perempuan merasa solider jika bertemu dengan orang yang sedang mengkonsumsi produk yang sama. Bagi Bourdieu, mengapa dalam kekerasan simbolik yang dikuasai menerima dan merasa solider dengan yang menguasai dalam konsensus yang sama tentang tatanan yang ada. Jadi, ada semacam persetujuan dari pihak yang dikuasai.
Dialektika hubungan antara yang subyektif dan obyektif tersebut merupakan dimensi pertama _habitus_ yang terdiri dari dimensi _prakseologis_ (arah orientasi sosial) dan dimensi _afeksi_ (cita-cita, selera).
Hexis Badaniah Perempuan
Habitus perempuan era modern selalu memunculkan selera bagi dirinya berdasarkan orientasi mengkonsumsi produk kecantikan. Dimensi tersebut melahirkan bentuk habitus yang lain yaitu, _Hexis_ Badaniah. Dikatakan _hexis_ Badaniah bila berhubungan dengan sikap atau posisi khas tubuh, disposisi badan, yang diinteriorisasikan secara sadar dan tidak sadar oleh perempuan sepanjang hidupnya. Misalnya, mempercantik dirinya berdasarkan apa yang ia lihat, dengar dan rasakan dari suatu produk kecantikan dan lain sebagainya. Tindakan beberapa kaum perempuan yang disandera oleh produk kecantikan mendorong dirinya yang digerakkan dari luar dirinya dan bertindak kedalam lingkungannya, sehingga arena perjuangan perempuan untuk mendapatkan produk kecantikan yang diinginkan menjadi sangat menentukan dirinya karena dalam suatu masyarakat ada yang menguasai dan ada yang dikuasai.
Kapitalisasi Tubuh Perempuan
Dalam semua masyarakat, selalu ada yang menguasai dan dikuasai. Hubungan dominasi ini tergantung pada situasi, sumber daya (kapital) dan strategi pelaku. Pemetaan hubungan kekuasaan didasarkan atas kepemilikan kapital-kapital dan komposisi kapital tersebut. Kapital ekonomi merupakan sumber daya yang bisa menjadi sarana produksi dan sarana finansial, yang didalam terdapat strategi menguasai pasar. Hal ini tidak terlepas dari semua elemen masyarakat sebagai pelaku ekonomi baik itu laki-laki maupun perempuan.
Merujuk pada argumentasi diatas, maka perbedaan tersebut mengafirmasi identitas khas kaum perempuan dan laki-laki dana memaksakan kepada semua dengan legitimasi suatu visi tentang dunia. Pada tulisan ini, lebih membahas tentang visi perempuan sebagi korban kapitalis. Sasaran kapitalis terhadap perempuan adalah tubuh. Keindahan tubuh perempuan menjadi identitas khas yang dibaca oleh kapitalis sebagai agen penumpukan kekayaan. Tidak dapat dihindarkan, era modern membuat perempuan secara sadar dan sukarela menyerahkan dirinya secara utuh kepada pemilik modal untuk dijadikan bintang iklan produk kecantikan yang pada akhirnya melahirkan selera dan obsesi dikalangan perempuan. Hal ini tidak terlepas dari laki-laki baik pemilik modal maupun penikmat tubuh perempuan. Secara subyektif, perempuan diatur dan teratur dan menjadi buah dari kepatuhan kapitalis akan tuntutan-tuntutan yang diinginkan Kapitalis. Tubuh perempuan yang kemudian diterjemahkan oleh kapitalis sebagai “kemampuan” mengintegrasikan perempuan kedalam sirkulasi elit-elit kapital. Tubuh perempuan dijadikan kendaraan untuk mengangkut pengikut, uang dan posisi elit kapital. Posisi perempuan tergantung pada kepemilikan besarnya dan struktur kapital. Mejadi baku jika bentuk tubuh perempuan harus sesuai dengan selera elit kapital untuk dijadikan motor pengangkut kekayaan. Doktrin materialisme dimainkan didalam tubuh perempuan. Dengan doktrin tersebut perempuan dibayar lebih murah daripada tubuhnya mahal dan bahkan tak ternilai, karena sejatinya seperti yang dikatakan oleh Rumi “Perempuan bukanlah manusia biasa dia (pencipta)” sebab dalam diri perempuan terpancar keindahan Tuhan sebagai rahim peradaban.