Matarakyat24.com –Advokat dari Pusat Bantuan Hukum Masyarakat (PBHM) Ralian Jawalsen,SH.,MH mengatakan, Indonesia dalam darurat korupsi. Sehingga Mahkamah konstitusi agar bijak dalam memutuskan Judicial Review Pasal 7 ayat (2) huruf i UU No.10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
“Salah satu perbuatan tercela adalah korupsi yang disebut kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dalam penanganannya tidak bisa dianggap biasa, dan korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur sehinga para pelaku korupsi, dan narapidana koruptor jika ingin maju dalam pemilihan gubernur, pemilihan wakil gubenur, pemilihan bupati, wakil bupati, pemilihan wali kota, dan wakil wali kota maka harus dibuktikan dengan catatan kepolisian, dan surat pengadilan,”ucap Ralian dalam Sidang Pemeriksaan Perkara Nomor 81/PUU-XXII/2024 dan Perkara Nomor 82/PUU-XXII/2024 perihal Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (12/08/2024).
Lebih lanjut, Ralian mengutip pernytaan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD yang menyebutkan, Indonesia darurat korupsi.
Sidang dipimpin Ketua MK Suhartoyo,dan dua hakim konstitusi M. Guntur Hamzah dan Ridwan Mansyur.
Berdasarkan pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD menyebut Korupsi adalah penyakit yang sangat berbahaya, dan jumlah korupsi di Indonesia sebanyak 1200 orang. Sekitar 87 persen, atau 1044 orang korupsi adalah sarjana.
Ralian melanjutkan, data CNBC Indonesia Research, menyebutkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia berada di angka 34, atau di bawah Singapura dan Malaysia. Bahkan, IPK mengalami stagnan dari pertama kali Joko Widodo menjabat periden hingga mau berakhirnya jabatan tersebut.
Dikatakan, bahwa kondisi korupsi di Indonesia darurat, hal ini hasil survei BPS menyebutkan bahwa indeks perilaku anti korupsi (IPAK) pada tahun 2024 sekitar 3,85, mengalami penurunan 0,07 poin, dari tahun 2023 sekitar 3,92. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat semakin permisif dan acuh terhadap korupsi.
“Dengan apa yang dikemukakan di atas Indonesia darurat korupsi, PBHM Minta Agar Napi Koruptor Dilarang Untuk Ikut Pilkada,” imbuh aktivis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Jakarta itu.
Dengan terpilihnya kepala daerah yang melakukan korupsi, lanjut Ralian, maka akan semakin sulitnya masyarakat untuk sejahtera, dan tidak jaminan bahwa mantan koruptor tidak akan melakukan perbuatan korupsi jika terpilih.
“Agar hakim Konstistusi melihat bahwa Indonesia adalah negara hukum karena itu harus adanya supremasi, dan kepastian hukum dalam undang-undang yang berlaku, sehingga terwujudnya pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme,”tandas Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998 itu.
Ralian juga menyinggung dugaan korupsi sepersepuluh dari dana otonomi khusus tahun 2021 yang diterima Papua, yakni Rp 5,7 triliun.
“Berdasarkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan Lukas Enembe menyetor uang tunai senilai 55 juta dollar Singapura, atau sekitar Rp 560 miliar, ke kasino di luar negeri. Uang itu diduga terkait korupsi dan pencucian uang melalui perjudian,”katanya.
Dia mengatakan, korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
Ralian dalam persidangan yang digelar di MK pada Selasa (30/7/2024) mengatakan korupsi seharusnya dikategorikan sebagai salah satu perbuatan tercela dan merupakan kejahatan luar biasa yang dalam penanganannya tidak bisa dianggap biasa, dan korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.
“Sehingga para pelaku korupsi, dan narapidana koruptor jika ingin maju dalam pemilihan gubernur, pemilihan wakil gubernur, pemilihan bupati, wakil bupati, pemilihan walikota, dan wakil walikota maka harus dibuktikan dengan catatan kepolisian, dan surat pengadilan,” jelasnya.
Kemudian, Pemohon mengelaborasikan sejumlah pemberitaan mengenai kasus korupsi yang dilakukan oleh sejumlah kepala daerah untuk menyatakan bahwa korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara, melainkan juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK agar mantan narapidana korupsi, dan/atau gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota jika pernah menjadi narapidana korupsi ditolak untuk ikut kontestasi dalam pemilihan wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota.
Pemohon juga meminta MK memasukkan korupsi adalah perbuatan tercela seperti halnya penyalahgunaan dan/atau pengedar narkoba yang dicantumkan dalam penjelasan pasal tersebut.
Sementara, Ketua MK Suhartoyo mengatakan akan memplenokan gugatan Pasal 7 ayat (2) huruf i.”Diterima atau tidaknya Judicial Review Pasal 7 ayat (2) huruf i UU No.10 Tahun 2016 akan diplenokan,”tandas Suhartoyo. (rls)