Matarakyat24.com – Jakarta, Sejarah Indonesia tidak pernah lepas dari persilangan kekuatan sipil dan militer. Salah satu simpul penting dalam perjalanan itu adalah hubungan erat antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hubungan ini tidak hanya menyangkut strategi politik, tetapi juga lahir dari figur penghubung, salah satunya Letjen (Purn.) Achmad Tirtosudiro. Minggu 21 September 2025
HMI dan TNI: Awal Pertemuan Dua Kekuatan
HMI didirikan pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta oleh Lafran Pane. Sejak awal, HMI bukan hanya organisasi mahasiswa, tetapi juga bagian dari perjuangan bangsa. Dalam masa revolusi, kader HMI ikut berjuang di garis depan, baik melalui jalur intelektual maupun perlawanan bersenjata.
Achmad Tirtosudiro menjadi tokoh sentral. Sebagai mahasiswa hukum UGM sekaligus Ketua Umum PB HMI periode 1948–1949, ia mengarahkan HMI untuk terlibat langsung dalam Corps Mahasiswa (CM), wadah mahasiswa bersenjata yang ikut menumpas pemberontakan PKI Madiun 1948. Dari sinilah awal jembatan HMI–TNI terbentuk.
Pada era 1960-an, hubungan itu semakin erat. Saat HMI menghadapi tekanan politik akibat kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani menunjuk langsung Tirtosudiro untuk membina HMI. Sejarah mencatat, HMI menjadi salah satu kekuatan sipil yang mendukung TNI menghadapi tragedi G30S/PKI 1965. Setelah itu, banyak kader HMI masuk ke birokrasi Orde Baru, mempertegas hubungan erat sipil–militer.
Selain itu, sejarah menunjukkan adanya kader HMI yang memiliki jiwa militer, patriotik, sekaligus intelektual. Mereka menjadi bukti nyata bahwa kekuatan sipil dan militer dapat bersinergi, melahirkan kader bangsa yang lengkap: religius, intelektual, disiplin, serta berjiwa patriot.
Achmad Tirtosudiro: Prajurit, Intelektual, Religius
Lahir di Yogyakarta pada tahun 1923, Achmad Tirtosudiro menempuh pendidikan hukum di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menguasai berbagai bahasa asing, dikenal tekun, religius, dan berpikir futuristik. Karier militernya dimulai sejak pelatihan era Jepang (1944), lalu bergabung dengan Divisi Siliwangi, memimpin Tentara Republik Kereta Api (TRIKA), hingga dipercaya sebagai hakim perwira militer pada awal 1950-an.
Kiprah militernya terus menanjak hingga mencapai pangkat Letnan Jenderal TNI. Posisi tersebut menunjukkan bahwa Tirtosudiro bukan sekadar aktivis mahasiswa yang masuk ke militer, melainkan seorang perwira yang meniti karier dengan dedikasi tinggi. Ia memiliki kombinasi langka: pengalaman aktivisme mahasiswa Islam, latar belakang intelektual hukum, serta pengabdian militer.
Dengan kombinasi tersebut, Tirtosudiro menjadi figur unik yang mampu menjembatani dunia mahasiswa Islam dengan militer nasional. Ia adalah simbol persatuan sipil–militer yang menopang kokohnya republik.
Relevansi dengan Gagasan Prabowo
Apa yang dilakukan Tirtosudiro sejalan dengan gagasan Prabowo Subianto dalam bukunya Kepemimpinan Militer. Menurut Prabowo, kepemimpinan sejati bukan hanya soal taktik perang, melainkan juga soal keteladanan, pengorbanan, dan kemampuan merangkul berbagai kekuatan bangsa. Tirtosudiro telah membuktikan hal itu lebih dahulu.
Dalam Paradoks Indonesia, Prabowo mengingatkan bahwa negeri kaya ini menghadapi kontradiksi: sumber daya alam melimpah, tetapi rakyat banyak yang miskin. Jawaban atas paradoks itu hanya satu, yaitu persatuan. Sejarah HMI dan TNI menunjukkan bahwa persatuan sipil dan militer adalah modal besar menghadapi ancaman ideologi maupun tekanan global.
Prabowo dituntut untuk meneladani Tirtosudiro dengan mengintegrasikan kekuatan rakyat sipil yang dinamis dengan ketegasan TNI yang terstruktur. Di sinilah letak ujian kepemimpinan: bukan sekadar menguasai strategi, tetapi juga merawat kepercayaan dan semangat kebangsaan lintas kelompok.
Tantangan Kepemimpinan Prabowo Saat Ini
Kini, Prabowo menghadapi tantangan yang berbeda, tetapi dengan esensi serupa. Globalisasi ekonomi, ketegangan geopolitik, serta polarisasi politik dalam negeri adalah “PKI baru” yang menguji daya tahan bangsa.
Dari sejarah HMI–TNI, kita belajar bahwa kekuatan bangsa justru lahir ketika sipil dan militer berdiri bersama. Jika Tirtosudiro mampu melahirkan kader yang menjembatani dua dunia tersebut, maka tantangan Prabowo adalah mencetak generasi baru pemimpin bangsa yang cerdas secara intelektual, berakar pada nilai religius, disiplin ala militer, serta berorientasi kebangsaan yang inklusif.
Sejarah HMI–TNI mengajarkan bahwa bangsa ini tidak bisa berdiri hanya dengan satu kaki. Persatuan militer, intelektual, dan sipil adalah syarat utama menjaga kedaulatan. Figur Achmad Tirtosudiro adalah bukti konkret, dan kini Prabowo sebagai Presiden ditantang untuk membuktikan bahwa teori yang ia tulis dapat diwujudkan dalam praktik kepemimpinan nasional. Jika berhasil, ia bukan hanya mewarisi sejarah, tetapi juga menulis sejarah baru bagi bangsa.
Prabowo dan Keteladanan Tirtosudiro
Sebagai Presiden, Prabowo Subianto harus merefleksikan dan meneladani sosok Letjen Achmad Tirtosudiro, seorang tokoh yang mampu mengkolaborasikan kekuatan sipil dan militer. Tirtosudiro tidak hanya dikenal sebagai perwira militer, tetapi juga sebagai figur intelektual yang religius, berwawasan luas, serta mampu menyatukan kepentingan mahasiswa Islam dengan dunia militer. Keteladanan ini relevan bagi Prabowo dalam membangun kepemimpinan yang menyatukan seluruh kekuatan bangsa.
Penulis : Ridho Alamsyah,.M.H. Fungsionaris PB HMI 2024 – 2026