Perubahan Tutupan Lahan 1990–2024 Dinilai Jadi Pemicu Bencana di Sumatera Utara

 

 

Matarakyat24.com – Bencana hidrometeorologi yang berulang di Sumatera Utara dan Kabupaten Tapanuli Selatan kembali menjadi sorotan. Sejumlah banjir, longsor, hingga kerusakan lingkungan yang muncul dalam beberapa tahun terakhir dinilai tidak terjadi secara mendadak, melainkan merupakan akumulasi dari perubahan bentang alam yang berlangsung selama puluhan tahun. Hal ini disampaikan oleh Hanif Bancin, pengamat lingkungan dan lulusan Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam analisis terbarunya mengenai kondisi tutupan lahan di wilayah tersebut.

Menurut Hanif, hasil pengamatan terhadap visualisasi data tutupan lahan 1990–2024 menunjukkan pola yang konsisten: hutan di berbagai wilayah Sumatera Utara mengalami penyusutan drastis dan berangsur-angsur digantikan oleh perkebunan sawit, kebun kayu, serta berbagai bentuk penggunaan ruang lainnya. Pergeseran pemanfaatan ruang itu berdampak langsung terhadap kondisi biofisik kawasan, terutama pada stabilitas tanah dan aliran sungai.

“Bencana di Sumatera tidak datang tiba-tiba. Perubahan tutupan lahan yang terjadi dari tahun ke tahun membuat daya dukung lingkungan terus melemah. Hutan yang hilang berarti hilangnya penyangga alamiah yang menjaga tanah tetap kokoh dan mengatur debit air sungai,” ujar Hanif.

Data Tutupan Lahan Sumatera Utara & Tapanuli Selatan

Lebih lanjut, Hanif menjelaskan bahwa slide data tutupan lahan tingkat Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Tapanuli Selatan memperlihatkan transformasi bentang alam secara jelas. Hutan alam, yang sebelumnya menjadi elemen utama bentang lingkungan di kawasan tersebut, kini telah bergeser menjadi wilayah budidaya berskala besar. Perubahan itu ikut mempengaruhi pola aliran sungai, memperbesar sedimentasi, serta meningkatkan potensi banjir saat curah hujan berada pada intensitas tinggi.

“Ketika hutan diganti dengan tanaman monokultur, tanah menjadi jauh lebih rentan terhadap erosi. Air tidak lagi meresap secara alami, melainkan mengalir deras ke dataran rendah dan pemukiman. Dampaknya kini kita lihat sendiri,” tambahnya.

Hanif juga mengutip pernyataan lembaga riset lingkungan Auriga, bahwa “the devil is in the detail” — sebuah pengingat bahwa detail kecil di balik hilangnya tiap hektare hutan memiliki dampak besar dalam mempercepat kedatangan bencana ekologis.

Pertanyaan Publik yang Harus Dijawab

Melihat tren perubahan bentang alam tersebut, Hanif menilai wajar jika publik kini menuntut transparansi lebih besar dari pemerintah maupun perusahaan yang beroperasi di sektor kehutanan dan perkebunan. Ia menegaskan bahwa beberapa pertanyaan mendasar harus dijawab secara terbuka:

Bagaimana pengawasan izin pemanfaatan ruang dilakukan selama ini?

Siapa yang bertanggung jawab melakukan kajian dan evaluasi dampak lingkungan secara berkala?

Mengapa pola kehilangan hutan yang sama terus terjadi tanpa pembenahan yang signifikan?

Apakah pemerintah daerah telah menjalankan prinsip kehati-hatian dalam memberikan izin alih fungsi lahan?

Menurutnya, minimnya pengawasan dan ketidakterbukaan data membuat publik sulit mengawasi perubahan tata ruang secara independen. Kondisi ini pada akhirnya memicu ketidakpastian dan menurunkan daya tahan ekologis wilayah.

Dorongan Transparansi dan Evaluasi Menyeluruh

Hanif menilai sudah saatnya kementerian terkait — termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ATR/BPN, dan BNPB — bersama pemerintah daerah membuka data penggunaan ruang secara transparan. Ia juga mendorong adanya audit ekologis yang menyeluruh untuk memastikan bahwa pemanfaatan ruang sesuai dengan prinsip keberlanjutan.

“Data harus dibuka, evaluasi harus dilakukan sampai ke akar permasalahan. Tanpa itu, risiko bencana akan terus membayang-bayangi masyarakat,” tegasnya.

Hanif menekankan bahwa keberanian politik untuk menjaga hutan yang tersisa merupakan kebutuhan mendesak. Ia mengatakan bahwa langkah nyata untuk menahan laju kehilangan hutan lebih penting daripada sekadar menunggu siklus bencana berikutnya.

“Kalau ruang hidup terus ditekan, hasilnya seperti sekarang. Kita bukan hanya kekurangan ruang hijau, tapi juga kehilangan benteng alami yang menjaga keselamatan masyarakat,” tutup Hanif.

Penulis: AdminEditor: Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *