PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN

Khazanah

Oleh : Syaiful Anwar 

 

Penegakan hukum di suatu negara hendaknya adanya penghargaan dan komitmen menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin semua warga negara setara dalam penegakkan hukum. Dalam penegakkan suatu hukum sering kali terjadi hal-hal yang dapat merusak penegakkan suatu hukum seperti halnya rasa terabaikan korban yang tidak dilindungi hak-haknya oleh negara. Apabila dilihat dari sisi korban dalam hal ini korban tidak langsung mengambil haknya untuk menuntut kerugian yang dialaminya, kerugian materiil maupun non materiil, tetapi ada tata cara tertentu dan aturannya untuk mengambil hak tersebut. Di Indonesia sendiri terdapat lembaga yang mengatur tentang hak-hak saksi dan korban. LPSK (lembaga perlindungan saksi dan korban) ini bertugas untuk membantu setiap hal-hal yang dibutuhkan oleh korban dalam makalah ini akan dijelaskan tentang wewenang dari lembaga perlindungan korban dan saksi.

Dengan kelengkapan perangkat perundang-undangan yang mengatur ruang lingkup perlindungan hak korban dan saksi beserta komisi atau lembaga yang menjalankan fungsi untuk itu diharapkan perlindungan korban dan saksi menjadi lebih baik. Mengingat pada kenyataannya kejahatan tidak mungkin dapat dihilangkan dan hanya dapat dikurangi. Kemungkinan kejahatan akan terus berlangsung dan meningkat. Apabila hal itu terjadi korban dipastikan menjadi bertambah. Pihak korban bukan saja perseorangan, tetapi kelompok, masyarakat, institusi dan bahkan negara. Menyadari fenomena tersebut partisipasi aktif seluruh masyarakat tanpa kecuali sangat dibutuhkan. Untuk itu pemerintah dan DPR sebagai pembentuk Undang-undang membuat beberapa undang-undang untuk melindung saksi dan korban.

Bertolak dari pendapat Frank R. Prassel diatas maka dapat kita lihat bahwa betapa korban pada kenyataannya harus merasakan kembali penderitaannya setelah menjadi korban secara langsung dari perbuatan pelaku, kini harus mengalami menjadi korban kedua kalinya (second victimisation) bahkan hal tersebut dilakukan oleh pihak-pihak maupun unsur-unsur sistem yang seharusnya menjadi harapan bagi korban dalam memberikan perlindungan.

Sesuai ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2006, LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan atau Korban. Bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan

LPSK kepada saksi dan korban dapat dikategorikan sebagai berikut:

  1. Perlindungan fisik dan psikis: Pengamanan dan pengawalan, penempatan di rumah aman, mendapat identitas baru, bantuan medis dan pemberian kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan, bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
  2. Perlindungan hukum: Keringanan hukuman, dan saksi dan korban serta pelapor tidak dapat dituntut secara hukum (Pasal 10 UU 13/2006).
  3. Pemenuhan hak prosedural saksi: Pendampingan, mendapat penerjemah, mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, penggantian biaya transportasi, mendapat nasihat hukum, bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan dan lain sebagainya sesuai ketentuan Pasal 5 UU 13/2006.

Perlindungan terhadap korban kejahatan apabila kita cermati secara teliti ternyata bersifat perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung yang dirumuskan dalam kebijakan formulatif yaitu perlindungan abstrak dimana cenderung mengarah pada perlindungan masyarakat dan individu. Korban sebagai pihak yang dirugikan oleh suatu kejahatan terisolir atau tidak mendapat perhatian sama sekali, terlebih lagi dengan meningkatnya perhatian terhadap pembinaan nara pidana yang sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan pemenuhan kepentingan korban, maka tidak mengherankan jika perhatian kepada korban semakin jauh dari peradilan pidana yang oleh Sthepen Schafer dikatakan sebagai cinderella dari hukum pidana.

Tegasnya, perlindungan terhadap korban kejahatan penting eksistensinya oleh karena penderitaan korban akibat suatu kejahatan belumlada bagaiah berakhir dengan penjatuhan dan usainya hukuman kepada pelaku. Dengan titik tolak demikian maka sistem peradilan pidana hendaknya menyesuaikan, menselaraskan kualitas dan kuantitas penderitaan dan kerugian yang diderita korban.23

Argumentasi yang mengedepankan perlindungan hukum bagi korban kejahatan adalah argumen kontrak social dan argumen solidaritas sosial. Yang pertama menyatakan bahwa Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi social terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, bila terjadi kejahatan dan membawa korban, Negara harus bertanggungjawab untuk memerhatikan kebutuhan para korban tersebut. Yang disebut terakhir, menyatakan bahwa Negara harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi kebutuhannya atau apabila warga negaranya mengalami kesulitan melalui kerjasama dalam masyarakat berdasarkan atau menggunakan sarana- sarana yang disediakan oleh Negara. Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak.24

Perlindungan korban kejahatan biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yang dewasa ini banyak dikedepankan yakni, penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Dalam rangka konsep pengaturan terhadap perlindungan korban kejahatan, pertama-tama yang harus diperhatikan adalah esensi kerugian yang diderita si korban. Ternyata esensi kerugian tersebut tidak hanya bersifat material atau penderitaan fisik saja melainkan juga yang bersifat psikologis. Hal ini dalam bentuk “trauma kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat dan ketertiban umum “. Simpton dari sindrom tersebut dapat berupa “kegelisahan, rasa curiga etnisme, depresi, kesepian, dan berbagai perilaku penghindaran lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *