Merawat Permata Peradaban

Matarakyat24.com, Jakarta – Perempuan merupakan permata kehidupan. Dalam setiap lekuk
hidupnya, Tuhan menganugerahkan permata yang indah dan
menawan. Nietzsche bahkan berani menyebut seorang
perempuan mempunyai kecerdasan besar.
Sejarah umat manusia menempatkan perempuan sangat luhur.
Walaupun juga sejarah umat manusia telah menempatkan perempuan
dalam jalan yang nista dan buruk. Sejarah kehidupan masyarakat Arab pra Islam, perempuan dikubur hidup-hidup, dijadikan barang dagangan, begitu pula sejarah Eropa sebelum feminisme membongkar kerangkeng besi laki-laki yang memonopoli tubuh perempuan lewat keperkasaan lelaki sebagai kaum superior.

Menata Jalan Hidup lewat Perempuan

Perempuan sebagai manifestasi Tuhan paling indah dan sempurna dimuka bumi, memiliki kualitas peradaban yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Rahim perempuan sebagai manifestasi cinta dimuka bumi menghantarkan perempuan sebagai manusia mulia yang patut dicintai melalu ketulusan dan penuh kasih sayang.
Selama berabad-abad peradaban manusia telah membuat gambaran
tentang perempuan dengan cara pandang ambigu dan paradoks. Perempuan dipuja sekaligus direndahkan. Ia dianggap sebagai tubuh
yang indah bagai bunga ketika ia mekar, tetapi kemudian dicampakkan
begitu saja begitu ia layu. Padahal, awal kelahiran perempuan adalah awal dari terbentuknya peradaban manusia.
Di era modern, seharusnya tubuh perempuan tidak lagi dikontrol oleh budaya _machoism_ secara berlebihan. Seorang feminis muslim Iran, Haideh Moghissi mengemukakan keadaan di atas dengan tajam: “Ungkapan (ekspresi)
perempuan atas keinginan-keinginannya dan usahanya untuk
memperoleh hak-haknya terlalu sering dianggap bertentangan dengan kepentingan-kepentingan laki-laki dan melawan hak-hak laki-laki atas
perempuan yang telah diberikan oleh Tuhan”.
Perempuan sebagai juru selamat masyarakat, ditempatkan sebagai sumber potensi manusia. Seorang pemimpin cerdas lahir dari rahim seorang perempuan. Gen kecerdasan seorang pemimpin berkualitas lahir dari gen kecerdasan seorang perempuan. Maka tidak heran, peradaban yang cerdas lahir dari seorang perempuan.

Reposisi Perempuan

Perjuangan pemberdayaan kaum perempuan pada dasarnya
adalah merupakan perjuangan umat dan bangsa secara keseluruhan,
bukan perjuangan perempuan _an-sich._ Posisi perempuan sebagai sumber peradaban harus dikembalikan ke posisi sebenarnya. Menghilangkan stigma perempuan sebagai kaum inferior adalah keharusan dan kewajiban semua manusia. Demikian pula, masa depan
perempuan hakikatnya sebagai masa depan bangsa. Oleh karena itu, perjuangan ini hendaknya tidak disalah artikan sebagai perjuangan
untuk membalas dendam kepada kaum laki-laki, melainkan sebuah
perjuangan untuk menciptakan suatu sistem hubungan laki-laki dan
perempuan yang lebih adil dan _equal._ Menurut Mansoer Fakih ada beberapa agenda untuk
mengakhiri sistem yang tidak adil, yaitu: (1) Melawan hegemoni yang
merendahkan perempuan dengan melakukan dekonstruksi terhadap
tafsiran agama yang merendahkan kaum perempuan yang seringkali
menggunakan dalil-dalil agama. (2) Perlu kajian-kajian kritis
untuk mengakhiri bias dan dominasi laki-laki dalam penafsiran agama dengan mengkombinasikan studi, penelitian, investigasi, analisis
sosial, pendidikan, serta aksi advokasi untuk membahas isu perempuan, termasuk menciptakan kemungkinan bagi kaum perempuan
untuk membuat, mengontrol dan menggunakan pengetahuan mereka
sendiri.
Kedudukan perempuan sebagai rahim peradaban dan mata air kehidupan harus dikembalikan ke tempat yang mulia. Upaya penghilangan dominasi laki-laki atas perempuan dalam ranah publik harus ditiadakan jika ingin menciptakan peradaban yang berkualitas kasih sayang, karena lewat kelembutan dan cinta seorang perempuan peradaban yang berkualitas cinta akan terwujud.

Menghilangkan Pencitraan Terhadap Perempuan

Citra perempuan selalu dihantui oleh beberapa aspek, diantaranya : (1) perempuan itu sendiri, (2) dominasi laki-laki terhadap tubuh perempuan, dan (3) masuknya arus globalisasi yang cenderung mencederai perempuan. Tiga aspek tersebut harus diberikan pemahaman untuk menghilangkan tubuh perempuan sebagi objek pencitraan dan objek kapital.
Pencitraan terhadap sosok perempuan masih menyisakan pada
sosok yang memilukan. Perempuan dengan segala karakteristik biologisnya dikesankan sebagai makhluk ‘spesifik’ yang berbeda dari
rata-rata karakteristik manusia (baca, laki-laki) pada umumnya. Ada sebagian yang berkonotosi positif yang sesungguhnya. Atas
nama spesial dan istimewa, perempuan diistimewakan karena
sebenarnya mereka memiliki keistimewaan, seperti halnya laki-laki juga
memiliki keistimewaan.
Pencitraan perempuan sebagai manusia pelengkap, mendorong
perempuan ke posisi subordinat. Pencitraan subordinasi perempuan
dimulai dari pandangan terhadap perbedaan biologis. Perempuan
dilihat secara fisiologis dan dari fungsi reproduksinya, dianggap
sebagai yang lebih dekat dengan alam (nature) untuk melaksanakan
fungsi haid, hamil, melahirkan, dan memberikan ASI, dan sering
disimbolkan dengan tanah atau air sebagai pusat dan sumber kehidupan, yang harus memiliki karakteristik sebagai pemelihara dan
penyangga kehidupan manusia.
Pandangan tentang perempuan hanya memiliki potensi pada ranah domestik yang dicitrakan sebagai pelengkap harus dihilangkan baik dalam pemahaman maupun dalam praktek sosial masyarakat. Tubuh perempuan semestinya tidak diberdayakan harus sebatas objek kesepian paling indah bagi kaum laki-laki untuk dinikmati. Tubuh perempuan adalah tubuh peradaban, tiang peradaban sekaligus tempat bernaungnya cinta dan kasih sayang. Ketimpangan sosial dalam relasi laki-laki dan perempuan karena
organ seksualitas serta fungsi seksualitas dan fungsi reproduksi yang
berbeda itu disebabkan citra perempuan di mata laki-laki masih timpang. Perempuan harusnya tidak dilihat dari segi seksualitas dan sensualitas. Hal ini juga harus berlaku bagi kesadaran perempuan dan laki-laki. Perempuan tidak boleh menonjolkan sensualitas dan seksualitasnya melalui media apapun agar tidak dapat dipandang dan dimaknai oleh laki-laki yang melihat perempuan melalui dimensi sensualitas dan seksualitas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *