Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf [7]: 96).
Ketiadaan rahmat bisa terjadi lantaran hedonisme, materialisme, dan keserakahan begitu kentara dipertontonkan oleh mereka yang cinta dunia. Seakan kesenangan dunia itu abadi.
Pengejaran murni terhadap dunia –tanpa diimbangi kesadaran akan adanya kematian dan alam kubur sebagai negeri persinggahan terakhir– maka bukan kesenangan yang menghampiri, melainkan hanya cabutan rahmat-Nya yang berupa awan azab. Bukan kesukaan yang akan didapat, melainkan hanya kesusahan dan kesia-siaan. Semua itu akibat buruk yang memang ‘layak’ diterima.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rûm [30]: 41)
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memeroleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hûd [11]: 15-16)
“Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. Mereka itu, balasannya ialah: bahwasanya laknat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) laknat para malaikat dan manusia seluruhnya.” (QS. Ali Imran [3]: 86-87)
Atau kasih dan sayang-Nya ‘menghilang’ ketika manusia tidak lagi menghargai Allah sebagai Tuhannya. Berlaku sewenang-wenang seolah Tuhan tidak ada, tuli, dan tidak pernah peduli.
Ya, ketiadaan rahmat sungguh benar-benar akan terjadi pada masyarakat yang mempertontonkan sebuah sandiwara kehidupan tanpa hukum, tanpa moral, dan tanpa malu.
Keinginan cepat sampai di tujuan tanpa perjuangan, alias tiadanya kesabaran adalah yang paling sering membuat manusia tidak sejalan dengan kesadaran dan kebersihan nurani. Terkalahkan oleh ego dan kepentingan pribadi. Akhirnya cinta dan kasih Tuhan berubah menjadi amarah dan azab. Dan akhirnya keindahan dunia menjadi tragedi serta prahara yang menyedihkan.
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’âm [6]: 44-45)
Layak menjadi pemikiran bagi kita semua yang merasakan kesusahan dalam kehidupan ini, di mana seakan Tuhan hilang, tiada rahmat-Nya dan tiada lindungan-Nya. Betapa banyak kini di antara kita yang kehilangan tempat tinggal, kehilangan harta dan jiwa. Betapa banyak di antara kita, kini, yang jantungnya berdebar setiap saat. Banyak jiwa yang kini kesulitan mencari sekadar makan. Dan berapa banyak individu yang punya harta dan kedudukan
tetapi tidak bisa membeli ketenangan dan memberikan keaslian senyum.
Demikian kiranya, bahwa penyebab kesusahan dan penderitaan adalah sebab tidak lagi mengindahkan peraturan Tuhan. Ketidaktenangan dan kegelisah-an begitu mudah datang memperkeruh suasana batin, sebab hati sudah berkarat. Karat dengan dosa dan maksiat. Kesombongan dan keserakahan telah menjadi sifat yang menempel. Ketidakpedulian sosial begitu kentara, yang mengakibatkan jurang pemisah yang begitu dalam antara si kaya dan si miskin. Sifat welas asih, asah, dan asuh menjadi barang langka yang tak pernah terwarisi lagi dari pendahulu negeri ini.
Kaidah-kaidah keagamaan yang urusannya ‘langsung berhadapan dengan Tuhan’ sudah diterjang seenak perut. Apalagi kaidah negara, yang bisa dimanipulasi dan mudah direkayasa lantaran keko-toran manusianya. Otak dan pola pikir sebagian masyarakatnya juga sudah mengarah pada materialis-me. Apa yang dipikir dan diperbincangkan sehari-hari adalah harta dan kekuasaan. Tema berita, suguhan TV, berita radio, internet, tidak pernah lagi mengisi kekosongan ruhani, kecuali hanya sedikit dan bersifat basi- basi, maaf.
Pengejaran kenikmatan duniawi saja, jelas akan membuat kering ruhani. Kepemilikan terhadap hal-hal kebendaan dunia, tetapi mengabaikan kebutuhan jiwa akan mengakibatkan diri dikejar-kejar perasaan tidak puas. Yang pada gilirannya akan mengakibatkan kehancuran psikis.
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadîd [57]: 20).
Your article helped me a lot, is there any more related content? Thanks!