Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
“Jika bisa meminta izin, apa salahnya menyempatkan diri meminta izin terlebih dahulu. Agar masing-masing tak saling curiga. Agar sama-sama ikhlas.”
Banyak dari kita yang memakai atau meminjam barang punya teman, misalnya helm, pulpen, laptop, dan lain-lain tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pemiliknya.
Memang, keakraban antarteman menjadi alasan yang paling banyak digunakan untuk menghapus sikap-sikap yang dianggap sebagai sesuatu yang terlalu formal dalam realitas sosial. Dua orang yang sudah bersahabat karib, karena saking akrabnya biasanya terlalu kaku untuk mengucap salam saat bertemu, saling berterima kasih, meminta maaf, termasuk meminta izin tiap pinjam barang milik sahabat.
Seorang teman saya, berkali-kali cerita bahwa selama beberapa bulan, ia kehilangan sandal paling tidak dua minggu sekali. Kadang-kadang sandal itu tidak benar-benar hilang. Sandal itu dipinjam oleh seorang kawan tanpa minta izin dulu padanya, kemudian si peminjam lupa. Teman saya itu tanya pada saya, “Pinjem tanpa izin beneran dosa nggak, ya? Kalau dosa, kasian dong temanku yang cuma niat pinjem tapi nggak sempet izin ke aku, meskipun ku udah ikhlasin dia tetap menanggung dosa!”
Dalam bahasa agama, kita menyebut kejadian itu dengan istilah ghashab. Ghashab adalah memakai barang milik orang lain tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pemiliknya.
Saat ini ghashab acapkali disepelekan karena memang dirasa sebagai hal yang lumrah atau biasa saja. Apalagi kepada teman akrab yang sudah lama saling pinjam, saling pakai, saling bagi, saling minta, dan saling kasih barang- barang yang dimiliki. Persahabatan yang begitu akrab menghadirkan sebuah rasa yang menganggap, milikku adalah milikmu, dan milikmu adalah milikku. Keakraban itu kemudian menimbulkan satu kalimat, “Ah, pinjem bentar nggak papa lah!” Nah, perasaan itu kemudian merasuk ke dalam diri menjadi karakter yang sudah dihilangkan. Sikap tak meminta izin saat meminjam hak milik orang lain akhirnya menjadi kebiasaan yang dianggap wajar.
Apakah benar keakraban bersahabat menjadi bisa menjadi alasan untuk tidak diberlakukannya dosa ghashab? Jujur, saya tak berani menjustifikasi hukum-nya apa, karena bukan level saya untuk memfatwa. Tapi jika boleh berpendapat, saya lebih menyarankan untuk mengambil sikap hati-hati dalam beragama. Jika bisa meminta izin, apa salahnya menyempatkan diri untuk meminta izin terlebih dahulu. Agar masing-masing tak saling curiga. Agar sama- sama ikhlas. Karena seperti kasus teman saya yang saya ceritakan di atas, dia tahu mungkin yang pinjam adalah teman sendiri, tapi mbok ya bilang dulu, biar yang punya barang nggak bingung nyari. Memang hanya sebuah sandal, tapi jika pas dibutuhkan, sandal itu bisa menjadi hal yang sangat berharga.
Semoga kini kita lebih hati-hati saat berhubungan antarmanusia. Apalagi menyangkut hak milik. Tentu tak asing bagi kita tentang syuhada’ yang terpaksa harus tertahan di pintu surga hanya karena punya utang yang belum dilunasinya saat dia masih hidup. Jangankan sebuah sandal, bahkan dalam salah satu buku Cak Nun (Slilit Sang Kiai), seserpih kayu slilit pun di akhirat kelak mampu menjadi gelondongan kayu yang menjadi penghalang perjalanan menuju surga. Ceritanya begini, ada seorang kiai yang mimpin kenduri di rumah seorang warga. Di sana ia makan dengan lahapnya, hingga usai makan ada serpihan daging yang masuk di sela-sela gigi sang kiai atau kita menyebutnya sebagai slilit. Nah, sepulang kondangan, sang kiai dalam perjalanan pulang meng-ambil seserpih kayu dari pagar tetangganya untuk mencongkel slilit yang dari tadi mengganggu di mulutnya. Singkat cerita, setelah kiai itu meninggal, seorang santrinya bermimpi kalau perjalanan kiainya menuju surga terhambat oleh kayu pencongkel slilit yang statusnya memang adalah pencurian. Karena saat mengambil serpihan kayu itu, sang kiai tidak minta izin kepada sang pemilik pagar.
Sadarlah kita, betapa Islam sangat menghargai hak kepemilikan. Islam menghargai hak masing-masing manusia dengan peraturan yang sangat indah. Semoga kita bisa belajar menghargai hak milik dan berhati-hati terhadap hak-hak Adami.