Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.(QS. 33: 21) Muhammad berbisnis ketika usianya masih sangat muda. Keputusannya untuk bisnis diambil dari situasi dan kondisinya yang memaksa Muhammad harus survive dari ketergantungannya terhadap paman dan saudara-saudaranya. Muhammad muda sudah memiliki rasa malu bila harus terus menerus hidup bergantung dengan orang lain.
Keinginannya untuk mandiri memaksanya untuk terjun memulai bisnis sedini mungkin. Kondisinya yang demikian, membuat Muhammad berpikir keras bagaimana menangkap peluang bisnis yang ada. Peluang demi peluang bisnis disambarnya sehingga ketika masih muda, Muhammad sudah menjadi orang yang mandiri dan hidup berkecukupan.
Bahkan Muhammad muda sudah menjadi orang kaya dengan bukti bahwa beliau berani melamar seorang janda kaya raya yang menjadi patner bisnisnya, Siti Khadijah dengan 20 ekor unta muda. Bila harga satu ekor unta muda Rp. 10 juta, berarti Muhammad melamar Siti Khadijah dengan nilai lamaran Rp. 200.000.000,-. Pertanyaannya adalah; Sekarang siapakah di antara kita orang-orang Muslim Indonesia yang melamar calon istrinya dengan uang sebesar itu? Malu rasanya kita dibuatnya oleh Muhammad muda. Kita ternyata lebih miskin dari Muhammad. Kita miskin harta, miskin keberanian, miskin kemandirian, miskin kelapangan hati, dan miskin kepercayaan. Muhammad muda adalah sangat luar biasa disbanding pemuda seusianya dari dulu hingga sekarang. Muhammad bisa demikian, karena beliau seorang pengusaha yang sukses.
Ketika Muhammad muda sudah berjibaku dengan keringat dan peluh untuk berbisnis, door to door keliling kota Makkah dan kota-kota lain di jazirah Arab untuk menjajakan dagangannya. Di usia belasan tahun itu, apa yang sudah kita lakukan? Anak-anak kita, apa yang mereka lakukan dalam upayanya membangun kepribadian yang mandiri? Siapa di antara kita dan anak-anak negeri ini yang berani keluar dari ketergantungannya terhadap orang tua, saudara dan orang-orang terdekatnya yang dicintainya, selepas masa baligh.
Sadar atau tidak, terkadang kita dininabobokan oleh keadaan dan lingkungan kita. Orang tua kita, saudara kita, orang-orang yang kita cintai, terkadang membuat kita tak berdaya bangkit dari belenggunya sehingga kita menjadi pemuda yang cengeng, selalu meungminta dan tidak diajarkan secara cukup bagaimana menjadi pemberi. Kita tidak diajarkan oleh lingkungan kita dalam satu kondisi yang membuat kita mandiri dan banyak berderma. Kita dibuat selalu bergantung dengan mereka.
Terlalu sayang mereka, tetapi ternyata berakhir dengan penyesalan, karena sesungguhnya mereka sedang mengajari kita keterpurukan dan keterbelakangan. Orangtua kita adalah orang tua miskin (meminjam istilah yang dipakai oleh Robert T. Kiyosaki) bukan orang tua kaya. Masa depan pemuda-pemudi kita sedang dikebiri oleh sebagian orang tua kita yang sedang berapologi dengan mengucapkan “aku sayang kamu nak.” Dan anak pun terbuai oleh “kasih sayang” itu berlindung justru semu sesungguhnya. Hati-hatilah dengan “kasih sayang” orang tua.
Muhammad memang seorang anak yatim sejak lahir, dan yatim piatu ketika usianya merangkak 6 tahun menyusul kematian ibundanya ketika dalam perjalanan pulang dari ziarah makam ayahanda Rasulullah, Abdullah. Tak berayah, tak beribu sejak kecil memposisikan Muhammad dalam kondisi yang prihatin dan terjepit keadaan. Kasih sayang dari orang tua tidak pernah diperolehnya secara memadai.
Tetapi memang demikianlah tradisi orang Makkah waktu itu untuk mendidik anak-anaknya mandiri. Bayi-bayi yang lahir tidak diasuh oleh orang tuanya sendiri, melainkan dibawah asuhan orang lain. Muhammad kecil tidak disusui oleh ibunya, tetapi diasuh oleh seorang perempuan dari Bani Sa‟diyah, yaitu Halimah, yang jauh dari Makkah tempat tinggalnya. Keadaannya dibuat demikian, sebagai pelajaran kemandirian untuk Muhammad. Karena pendidikannya yang demikian, menuntut Muhammad muda harus mandiri, hidup tak bergantung dengan orang lain.
Solusi bangkit dari keterpurukan Muhammad muda, membuat beliau berkepribadian yang mandiri, tangguh, ulet, disiplin dan kukuh dalam berpendirian. Hidup dengan mengikuti orang lain (kakek dan pamannya) membuat dia tidak mau berpangku tangan mengharapkan pemberian dan bantuan dari saudara-saudaranya secara terus menerus. Muhammad muda harus disiplin, tidak mau berbuat salah, harus teliti dan mesti tabah menahan penderitaan.
Selama 20 tahun, Muhammad menjalankan profesinya sebagai wirausaha. Waktu 20 tahun untuk bisnis bukanlah waktu yang sebentar, namun hal ini sering luput dari pengamatan para ahli dan analisis. Kajian tentang bagaimana bisnis yang dijalankan Muhammad dari mulai muda hingga menjelang kerasulannya, usia 40 tahun, sering tidak menjadi bahan kajian kita. Kita hanya terfokus perhatiannya dengan apa yang disampaikan Muhammad Saw. ketika beliau berdakwah, menyampaikan wahyu-wahyu setelah kerasulannya. Bahkan terlalu menyempitkan persoalan, kita terkadang hanya membicarakan Muhammad kaitannya dengan ritual saja. Bila kita bicara salat, puasa, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya barulah kita menyinggungkannya dengan Muhammad Saw. Padahal masa kerasulan Muhammad hanya 23 tahun, terlalu sedikit waktunya bila dibandingkan dengan masa ketika Nabi Muhammad menjadi orang biasa, 40 tahun. Mengapa masa yang begitu panjang kita luput menolehnya?
Kita luput meneladani apa yang Muhammad lakukan dalam kurun kehidupannya yang lebih panjang, dan telah mengantarkannya menjadi orang kaya karena kemampuannya yang mahir dalam berbisnis. Ketokohan muda sebagai entrepreneur sejati banyak sekali yang mesti diteladani oleh para pemuda. Karena sesungguhnya Muhammad muda telah banyak melahirkan embrio-embrio yang mendasari prinsip- prinsip etika bisnis modern.
Muhammad muda terkenal dengan julukannya Al-Amin, orang yang dapat dipercaya. Gelar seperti itu pernah ada untuk seorang pemuda di masanya, bahkan kurun berikutnya hingga hari ini. Mengapa Muhammad dijuluki Al-Amin? Adakah semata hanya keberhasilannya memimpin renovasi ka‟bah yang saat itu hampir menjadi pertengkaran antarsuku di Makkah? Ternyata tidak hanya itu. Kalaulah peristiwa itu sebagai pemicunya, namun sesungguhnya perilaku menjadi orang yang selalu dapat dipercaya itu memang sudah dijalankan oleh Muhammad dalam kegiatan sehari-harinya dalam waktu yang panjang.
Ketika berjualan, Muhammad berperilaku jujur. Apa adanya dia sampaikan kepada calon-calon pembelinya tentang kualitas produk yang dijualnya. Bila produknya cacat, Muhammad juga memberi tahu kepada konsumennya bahwa produknya memiliki cacat. Bila Muhammad berjualan kurma, beliau mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan produk itu.
Muhammad sangat mengutamakan pelayanan yang terbaik terhadap para pelanggannya. Ketika bisnis modern berbicara tentang pentingnya customer satisfaction ternyata 14 abad lebih Muhammad sudah menjalankan itu. Muhammad tidak mau mengecewakan pelanggan, apa yang diinginkan pelanggan semampunya dipenuhi. Bila Muhammad tidak mampu, maka dia juga akan mengatakan dengan sejujurnya bahwa dirinya tidak mampu. Tetapi bila mampu, dia akan memenuhi janjinya dengan tepat. Tidak pernah Muhammad menipu atau mengatakan dengan perkataan yang bohong dalam berjualan. Muhammad juga senantiasa memegang janji dalam berjualan. Kesetiaannya memegang janji itulah yang membuat senantiasa banyak orang puas karena layanan dan perilakunya dalam berjualan.
Entrepreneur personality-nya (kepribadian seorang wirausahanya) yang merdeka, bebas dan senantiasa percaya pada diri sendiri adalah modal keberaniannya untuk mengembangkan usahanya sampai ke mancanegara. Dalam kurun waktu berbisnisnya yang cukup lama, 20 tahun, membuatnya sangat terkenal di Yaman, Syiria, Bahrain, Basra, Irak, Yordania dan dataran gurun Timur Tengah. Sebagai eksportir maupun importir kebutuhan bahan-bahan pokok masyarakat Makkah dan jazirah Arab pada umumnya, beliau jalani dengan tekun, rajin, disiplin dan dengan penuh dedikasi.
Salama 20 tahun Muhammad berbisnis, tidak pernah ada catatan merah tentang perilakunya dalam berbisnis. Karena sifat dan dedikasi Muhammad yang demikian, maka memunculkan berbagai pinjaman komersial (commercial loan) yang tersedia di kota Makkah dalam rangka membuka peluang kemitraan antara Muhammad dengan pemilik modal. Banyak orang menawarkan modal untuk diputar dalam bisnis Muhammad. Kepribadian yang Al-Amin telah membuat banyak orang berebut ingin berbisnis dan bermitra dengan Muhammad, salah satunya adalah dengan janda kaya yang kelak menjadi istrinya, yaitu Khadijah.
Dengan Khadijah, Muhammad bukanlah sebagai buruh atau karyawannya melainkan sebagai mitra bisnisnya yang menjalankan bisnis secara profit sharing (bagi hasil). Ketika lepas dari pamannya, tidak ditemukan dalam literatur mana pun, bahwa Muhammad pernah menjadi karyawan atau buruh. Muhammad senantiasa menjadi entrepreneur dengan segala suka dukanya.
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.