Oleh: Efriza | Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
Matarakyat24.com –MENUJU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 ini pasca Joko Widodo (Jokwi) tidak lagi menjadi Presiden. Pesona Jokowi, Pengaruh dan rekam jejak politik gemilang Jokowi menghadirkan politik “agak laen” di negeri ini. Jokowi seolah dijadikan bak “jimat” untuk memenangkan Pilkada.
Jokowi meski tidak lagi sebagai Presiden tetapi pengalaman politik individunya dalam proses Pemilihan Umum (Pemilu) yang begitu fantastis dikarenakan memenangkan Pemilu hingga 7 kali berturut-turut.
Bahkan, Jokowi juga di Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) lalu dianggap tuah Jokowi terhadap Prabowo Subianto menyebabkan fakta mengitari kemenangan Prabowo sebagai presiden terpilih ke-8 Republik Indonesia.
Tak bisa dimungkiri akhirnya keberadaan Jokowi yang sudah memilih menghabiskan waktu bersama keluarga di Solo, ia tetap disambangi dan juga pertemuan dengannya menjadi nilai tersendiri, politik Indonesia menjadi nyeleneh, kehadiran Jokowi dianggap jimat untuk memenangkan Pilkada.
Pilkada Seolah Butuh Jokowi
Jokowi saat ini tidak lagi sebagai Presiden. Prabowo sudah dilantik dan menjalankan pemerintahan ini sebagai presiden menjalankan keberlanjutan dari kinerja Jokowi ketika menjadi presiden.
Hanya saja, Jokowi tetap menjadi sorotan media, perbincangan publik, seolah politik Indonesia tak lagi asyik tanpa Jokowi. Perilaku Jokowi, maupun sikap politik Jokowi, begitu ditunggu-tunggu, bahkan banyak yang berusaha mengidentikkan dengan tindakan yang pernah dilakukan Jokowi ketika memenangkan Pilkada.
Pilkada Jawa Tengah kembali menjadi perbincangan publik. Pertemuan Jokowi dengan pasangan calon Ahmad Luthfi dan Taj Yasin langsung merubah suhu politik menjadi panas. Jokowi langsung tersorot sedang melakukan kembali politik cawe-cawe. Permintaan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus untuk Jokowi menjadi Juru Kampanye (Jurkam) direspons dengan beragam argumentasi pro dan kontra.
Padahal Jokowi saat ini sudah tidak lagi memerintah sebagai Presiden. Jokowi sebagai seorang individu, dalam iklim demokrasi Jokowi berhak memilih untuk mendukung maupun tidak mendukung terhadap pasangan calon. Hak politik individu Jokowi dalam demokrasi tak bisa dibelenggu, tidak bisa kita dorong-dorong agar ia bercengkrama dengan cucunya saja.
Jokowi bukan Aparatur Sipil Negara (ASN), juga bukan anggota Polisi aktif maupun Tentara Nasional Indonesia (TNI) aktif. Ia hanya seorang individu berhak menentukan pilihan politiknya maupun memberikan dukungan terhadap pasangan calon.
Rumor Jokowi cawe-cawe jika melihat dirinya sebagai individu semata adalah suatu sikap politik sinisme semata. Andaipun, ia dianggap punya pengaruh menggerakkan dan memobilisasi perangkat desa, tuduhan ini tidak sepenuhnya benar meski juga tidak dapat disalahkan, Jokowi diyakini memang punya pengaruh tetapi apakah perintah Jokowi wajib dipatuhi, tentu saja tidak, sebab Jokowi tidak lagi punya jabatan Presiden, artinya kendali penuh terhadap pengelolaan kekuasaan juga menyusut drastis ketika jabatan sudah tidak lagi dimilikinya.
Malah sebenarnya yang perlu kita telusuri jika kehadiran Jokowi masih berpengaruh besar, artinya lingkaran penguasa yang memberikan akses tersebut. Ini artinya penguasa politik yang dikontrol oleh Jokowi. Sehingga, semestinya sasaran masyarakat ditujukan kepada pemerintah untuk bersikap netral dan menghargai proses kompetisi dari Pilkada Serentak 2024 ini.
Meragukan Jokowi Effect
Pilkada Jawa Tengah tak bisa dimungkiri Jokowi diyakini masih berpengaruh, karena dinasti politik ingin menjaga warisan karya dari kerja mereka. Sehingga kehadiran Jokowi untuk diminta sebagai juru kampanye wajar jika dikritik oleh Publik dan juga untuk diterima oleh Jokowi secara individu. Sebab sangat berkaitan dengan legacy yang telah dihasilkan oleh Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka ketika memerintah sebagai wali kota Solo.
Pengaruh Jokowi di Jawa Tengah memang diyakini tetap besar. Hanya saja, Jokowi tak bisa dianggap sosoknya akan mempengaruhi politik seluruh Pilkada di tanah air. Sosok Jokowi dapat berpengaruh besar di Jawa Tengah, hal mana Jokowi effect memungkinkan bernilai di sana, tetapi daerah lain diyakini tidak akan berpengaruh besar jika tidak ingin dibahasakan nol.
Diyakini “efek ekor jas” dari kepopuleran Jokowi untuk di daerah lain seperti sebut saja di Tangerang, ketika Faldo-Fadhlin mencoba tuah Jokowi dengan menemui Jokowi di kediamannya, diyakini pasangan ini berharap bisa memenangkan Pilkada Wali Kota Tangerang, patut kita simak pasca Pilkada.
Sebab, Jokowi tidak punya legacy khusus di Tangerang, berbeda dengan di Jawa Tengah. Jika kerja Jokowi sebagai presiden artinya untuk kepentingan nasional, berbeda ketika Jokowi sebagai wali kota Solo dengan apa yang dikerjakannya akan bermanfaat bagi daerah Solo yang sedang dipimpinnya.
Fenomena Jokowi yang berada di Solo kemudian didatangi oleh pasangan calon yang berkompetisi di Pilkada adalah upaya mencoba tuah Jokowi agar sukses memenangi Pilkada. Jokowi dianggap masih berpengaruh besar karena kepuasan masyarakat masih tinggi terhadap hasil kerja Jokowi ketika sebagai Presiden dan juga popularitas Jokowi masih tinggi. Ini dasar dinamika politik menjelang pencoblosan di Pilkada, Jokowi akhirnya dijadikan layaknya jimat keberuntungan.
Pasangan calon berharap efek “ekor jas” Jokowi akan menyebabkan kemenangan bagi pasangan tersebut. Hanya saja, pertanyaannya adalah Apakah Jokowi memang memiliki tuah, sehingga layak dijadikan semacam “jimat”? Patut kita tunggu. Tetapi situasi menjelang pencoblosan Pilkada pada 27 November 2024, telah menghadirkan fakta miris dalam politik di negeri ini, seorang mantan presiden seolah dijadikan jimat keberuntungan, memang politik di Indonesia agak laen dan nyeleneh. (*)