Marak Pelecehan Seksual di Ranah Minang, DPP MIMBAR Angkat Suara

Yelia Syamsul (Wasekjend Bidang Politik dan Demokrasi DPP MIMBAR)

banner 120x600

-Sumatera Barat, Prihatin dengan maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir, luka mendalam tergores di bumi Ranah Minang mencoreng citra budaya Minangkabau yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Menurut data Polres Padang Pariaman, selama periode Januari hingga Juni 2024, telah terjadi 108 kasus tindak pidana, dengan kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur menjadi yang terbanyak, yaitu 22 kasus. Dari jumlah tersebut, 13 kasus adalah persetubuhan anak di bawah umur dan 9 kasus perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur. Data ini menunjukkan lonjakan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya mencerminkan realitas pahit yang harus dihadapi masyarakat. Pada tahun 2022, hanya terdapat 65 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Padang Pariaman.

 

Wasekjend DPP Mimbar, Yelia Syamsul mengatakan bahwa Mirisnya para korban pelecehan ini tidak hanya dari kalangan anak-anak perempuan, tetapi juga remaja laki-laki dan perempuan dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual dapat menimpa siapa saja, tanpa pandang usia dan gender. Para pelaku pelecehan seksual di Padang Pariaman menggunakan berbagai modus untuk melancarkan aksinya, seperti Memancing korban dengan iming-iming tertentu seperti uang, makanan, atau hadiah, Menyembunyikan diri di tempat sepi dan memaksa korban untuk melakukan hubungan seksual, Memabukkan korban terlebih dahulu sebelum melakukan pelecehan seksual dan Menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa korban melakukan hubungan seksual. Trauma yang ditimbulkan pun tak terkira. Korban tak hanya mengalami luka fisik, tetapi juga trauma mental dan emosional yang dapat mengganggu kehidupan mereka di masa depan. Mereka sering kali mengalami depresi, kecemasan, rasa malu, dan rasa bersalah. Mereka juga dapat mengalami kesulitan untuk mempercayai orang lain dan membangun hubungan yang sehat.

Menurutnya, Dari sudut pandang hukum, Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 menjadi landasan utama dalam penanggulangan kasus pelecehan seksual terhadap anak. Pasal 81 dan 82 UU Perlindungan Anak mengatur tentang tindak pidana persetubuhan dan perbuatan cabul terhadap anak, dengan ancaman hukuman yang tegas. Namun, pelaksanaan penegakan hukumnya masih terkendala oleh beberapa faktor, seperti kurangnya bukti dan keengganan korban untuk melapor akibat stigma sosial dan proses hukum yang panjang. Peran penting masyarakat dan penegak hukum menanggulangi maraknya pelecehan seksual di Padang Pariaman membutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak. Beberapa langkah yang telah diambil antara lain meningkatkan sosialisasi dan edukasi tentang bahaya pelecehan seksual kepada masyarakat, khususnya kepada anak-anak sekolah dan remaja, Membentuk Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Perempuan dan Anak di tingkat nagari dan kecamatan dan Memperkuat layanan pendampingan psikologis bagi para korban pelecehan seksual.

Masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan dan berani melapor jika melihat atau mengalami pelecehan seksual. Pemerintah dan aparat penegak hukum perlu memperkuat penegakan hukum, melindungi hak-hak korban, dan meningkatkan edukasi tentang bahaya pelecehan seksual. Institusi pendidikan juga perlu memberikan edukasi tentang bahaya pelecehan seksual dan bagaimana cara mencegahnya kepada para siswa. Pungkasnya”.

Luka pelecehan seksual di Padang Pariaman tak boleh dibiarkan menganga. Penegakan hukum yang tegas, perlindungan terhadap korban, dan edukasi yang masif menjadi kunci untuk menyembuhkan luka ini. Agar dapat tercipta lingkungan yang aman dan nyaman bagi seluruh masyarakat Padang Pariaman. Tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *