MataRakyat24.com, Sibolga — Di tengah panasnya isu relokasi Depot Pertamina Fuel Terminal Sibolga, suara mahasiswa kembali menggema. Di antara para pemuda yang bergerak, sosok Rahmad Hidayat Panggabean berdiri di barisan depan. Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sibolga-Tapanuli Tengah itu tegas menyatakan, ini bukan sekadar isu teknis. Ini soal nyawa, soal masa depan warga Kota Sibolga.
“Kami bukan anti pembangunan, kami tidak memusuhi Pertamina. Tapi kalau pembangunan mengancam keselamatan rakyat, mahasiswa wajib bersuara,” tegas Rahmad saat ditemui usai penyerahan surat resmi permintaan relokasi ke PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Sibolga, Rabu (2/7/2025).
Rahmad sadar, perjuangan ini bukan hal baru. Isu relokasi Depot BBM Pertamina sudah bertahun-tahun menjadi keresahan warga. Namun menurutnya, justru karena sudah terlalu lama diabaikan, mahasiswa harus turun tangan memastikan masalah ini tidak terus-menerus didiamkan.
Sebagai aktivis HMI, ia melihat isu ini bukan hanya dari sisi keselamatan, tetapi juga sebagai bentuk kegagalan pemerintah dan perusahaan dalam mematuhi prinsip tata ruang yang sehat. Jarak Depot BBM dengan pemukiman warga yang hanya 14–25 meter, kata dia, adalah bentuk nyata pelanggaran terhadap standar zona penyangga sebagaimana diatur dalam Permen ESDM No.32 Tahun 2016.
“Kalau kita bicara tata ruang, sudah jelas melanggar. Kalau bicara keselamatan, sudah sangat mengancam. Lalu, mau tunggu apa lagi untuk relokasi?” ujar Rahmad.
Baginya, mahasiswa tidak hanya datang membawa poster atau teriakan di jalanan. Mereka datang membawa kajian, data, dan rekam jejak sikap resmi dari Pemerintah Kota Sibolga yang sudah tiga kali melayangkan surat permintaan relokasi, tapi sampai sekarang tidak ditindaklanjuti.
“Kami tahu, selalu ada alasan klasik: keterbatasan lahan. Tapi kami juga tahu, di Kabupaten Tapanuli Tengah masih banyak lahan kosong yang jauh lebih aman untuk Depot BBM,” tegasnya.
Rahmad juga mengkritik minimnya upaya konkret dari PT Pertamina Patra Niaga. Meski dalam surat internal mereka pernah menyatakan rencana pembangunan Integrated Terminal BBM dan LPG di wilayah Tapteng, realisasi itu tak pernah jelas arahnya.
Ia menegaskan, mahasiswa HMI tidak ingin terjebak dalam rutinitas aksi formalitas. Mereka siap mengawal isu ini dengan cara akademis, advokasi, hingga turun ke lapangan jika dibutuhkan.
“Kalau perlu, kami akan buka ruang diskusi terbuka dengan pihak Pertamina, pemerintah, dan masyarakat. Ini bukan soal siapa melawan siapa, tapi soal bagaimana keselamatan rakyat harus jadi prioritas,” ungkap Rahmad.
Di akhir perbincangan, ia menegaskan bahwa mahasiswa tidak anti investasi atau pembangunan. Namun keselamatan warga, keadilan tata ruang, dan masa depan kota harus lebih diutamakan.
“Kami tidak mau bangun tidur nanti, Kota Sibolga jadi headline berita nasional karena tragedi yang seharusnya bisa dicegah sejak sekarang. Relokasi Depot adalah harga mati,” tutupnya.***