Oleh: Efriza |Dosen Ilmu Politik di Berbagai Kampus dan Owner Penerbitan
Matarakyat24.com –Presiden Prabowo Subianto setelah dilantik bergerak lincah dan cepat dalam membentuk kabinet merah putih. Hanya saja sejak dilantik, Prabowo maupun para menterinya menghadirkan perhatian publik terhadap pernyataan Prabowo sebagai Presiden yang mengharapkan kementerian berfokus pada program kerja yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat ketimbang membelanjakan anggaran untuk program seremonial.
Pernyataan ini jika dicermati, ternyata tidak sepenuhnya benar-benar dapat dijalankan dengan konsisten. Sebab, ternyata beberapa menteri Prabowo telah menunjukkan sikap yang tidak sesuai dengan arahan dari Prabowo sebagai Presiden terpilih.
Bahkan, Prabowo sendiri tanpa sadar juga malah asyik dalam agenda-agenda seremonial, Prabowo sebagai Presiden dengan para pembantunya di pemerintahan seakan asyik dalam acara seremonial yang berupa pembekalan para menteri hal mana dilakukannya di Hambalang dan juga di Magelang.
Memang harus diakui Prabowo tak bisa melepaskan diri bahwa Pemerintahannya dilakukan dengan cara membagi-bagi kursi, politik akomodatif dilakukan oleh Prabowo sebagai presiden. Sehingga pemerintahannya bersifat “jumbo” bahkan cenderung bersifat obesitas, sehingga banyak keraguan yang menggelayuti bahwa pemerintahan ini dapat berjalan dengan baik.
Apalagi dalam hal pengelolaan keuangan, Presiden Prabowo bahkan telah mewanti-wanti berulang kali, untuk para menteri untuk fokus kepada kerja bukan malah menghamburkan uang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Postur Kabinet yang Besar dan Evaluasi Kabinet
Patut diakui bahwa Presiden Prabowo membentuk Kabinet dengan dasar ingin memperkecil peran dan fungsi kementerian yang dianggap besar. Hanya saja konsekuensinya postur kabinet malah menjadi besar.
Inilah yang terjadi dengan jumlah kementerian Prabowo yang jumlah kenaikannya begitu besar dari 34 kementerian di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi 48 kementerian dengan tujuh di antaranya adalah kementerian koordinator.
Prabowo sebagai Presiden dalam mengangkat Menteri, Wakil Menteri, Staf Khusus Presiden, dan beberapa pejabat dari lembaga-lembaga terkait, menunjukkan representasi partai politik diborong secara mayoritas.
Setidaknya ada 11 partai politik yang mendukung pemerintahan dengan memperoleh jabatan-jabatan strategis, sedangkan dua partai politik lainnya yakni Partai Nasdem dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menyatakan mendukung pemerintahan, tetapi Nasdem saja yang tidak punya perwakilan tokoh yang memiliki irisan dengan partai politik ini, berbeda dengan PDIP yang telah hadir dua orang tokoh di pemerintahan meski bukan kader PDIP tetapi beririsan dengan PDIP.
Ini menunjukkan dari 18 partai politik yang ikut serta di Pemilu, hanya 5 partai politik yang tidak mendukung pemerintahan yakni Partai Buruh, Partai Kebangkitan Nasional (PKN), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Ummat. Kelima partai politik itu memang tidak lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan tidak menyatakan dukungannya kepada Pemerintahan Prabowo-Gibran.
Namun menjadi anomali, ketika 5 partai politik lainnya yang tidak lolos di Parlemen Senayan, tetapi juga tetap memperoleh jabatan strategis di pemerintahan, seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Semakin janggal dan anomali ketika Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) tidak lolos sebagai partai politik peserta pemilu malah memperoleh jabatan 1 kursi wakil menteri. Bahkan, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai partai politik yang tidak lolos parlemen, tetapi jumlah kursi menteri dan wakil menterinya sama dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merupakan partai politik lolos di parlemen dan menduduki peringkat keempat.
Kabinet yang ada ini juga diperkirakan hanya akomodatif semata, jika tidak ingin dianggap sebagai seremonial dalam akomodatif semata sebagai “balas budi,” karena mereka sebagai pembantu presiden sekarang ini adalah yang sudah berjasa dan berkeringat memenangkan pasangan Prabowo-Gibran di Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 kemarin.
Ini ditunjukkan dengan pernyataan dari Hashim Djojohadikusomo, wakil ketua umum partai gerindra sekaligus adik kandung Prabowo, Hashim menyatakan Presiden Prabowo bakal melakukan evaluasi setiap 6 bulan sekali terhadap kinerja menteri dan wakil menteri di Kabinet Merah Putih, sehingga tidak segan Prabowo akan melakukan reshuffle kabinet.
Pernyataan Hashim ini menunjukkan untuk menjawab persoalan “kabinet gemuk” Prabowo yang dikhawatirkan akan membebani fiskal negara. Sehingga, langkah ini diambil oleh Prabowo sebagai presiden.
Satu sisi patut diapresiasi, sisi lain menjadi pertanyaan bagi publik, saat ini penentuan para calon menteri dan wakil menterinya hanya bersifat akomodatif saja karena jasa di Pilpres kemarin, kemudian setelah 6 bulan dilakukan reshuffle untuk membentuk kabinet merah putih yang sifatnya tidak lagi sepenuhnya akomodiatif melainkan didasarkan keahlian para calon menteri dan wakil menteri yang akan masuk dalam proses reshuffle. Jika ini yang terjadi, maka kabinet pertama ini, hanyalah sebagai kabinet seremonial semata.
Seremonial Kabinet
Jika dipelajari dengan cermat semestinya Kabinet Merah Putih yang disusun oleh Prabowo dapat langsung bergerak cepat. Sebab Pemerintahan Prabowo adalah Pemerintahan yang melanjutkan pemerintahan Presiden Jokowi kemarin, bahkan Pemerintahan Prabowo disebut Hashim juga sebagai Pemerintahan Jokowi tahap kedua. Susunan Kabinet Prabowo juga banyak dari orang-orang yang bekerja di kementerian Jokowi, sehingga Kabinet Prabowo disindir sebagai “kabinet seken.”
Hanya saja, kabinet merah-putih ini lagi asyik dengan acara seremonial, layaknya Mahasiswa yang sedang memperoleh pembelajaran seperti orientasi siswa pengenalan kampus (Ospek) atau pembekalan terhadap mahasiswa baru.
Pemerintahan Prabowo layak seperti sedang melaksanakan Orientasi Pengenalan Pemerintahan untuk para pembantunya di kabinet, hal ini dilakukan dari proses pembekalan pasca pemanggilan para menteri dan wakil menteri dilakukan di Hambalang selama dua hari, kemudian dilanjutkan setelah pelantikan menteri dan wakil menteri di Akademi Militer Lembah Tidar Magelang, Jawa Tengah yang dilakukan selama tiga hari.
Ini menunjukkan bahwa sebenarnya Prabowo sebagai Presiden sedang dalam proses yang tidak konsisten, antara apa yang dilakukannya dengan pernyataan dan keinginannya. Prabowo menginginkan pemangkasan anggaran seremonial kementerian, padahal Prabowo sedang asyik berserimonial dalam bentuknya pembekalan bagi para pembantunya di kabinet.
Prabowo juga melupakan kenyataan bahwa pemerintahan ini adalah melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh Presiden Jokowi dengan komposisi menteri yang lebih dari sepertiga adalah menteri dari pemerintahan Jokowi sebelumnya, semestinya pemerintahan ini dapat langsung bekerja dengan cepat.
Bahkan, pernyataan Prabowo tentang pemangkasan anggaran seremonial diyakini ke depannya juga sulit diterjemahkan dan dilakukan oleh para menteri-menteri Prabowo. Sebab, bisa dilihat dari “sikap apatis” dalam hal ini kesan yang diterima oleh Publik ketika Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) meminta anggaran di kementeriannya dari 64 miliar dinaikkan menjadi 20 Triliun hal ini dilakukan untuk melakukan kerja edukasi HAM dilakukan di 80 ribu Desa.
Hal yang dilakukan oleh Pigai ini adalah bentuk kerja kementerian yang lebih ke arah seremonial semata, meski edukasi HAM itu penting, sehingga arahan Prabowo agar menteri untuk fokus kepada kerja bukan malah menghamburkan uang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tampak diawal tak digubris oleh menterinya, padahal menteri-menteri Prabowo baru saja menerima pembekalan awal sebelum pelantikan di Hambalang.
Sikap pesimis mungkin juga perlu disampaikan publik, apakah acara seremonial pembekalan di Magelang ini berhasil dengan kerja menteri dan wakil menteri yang bersih dari berbagai persoalan yang selama ini terjadi di pemerintahan Presiden Jokowi.