Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Imam Ghazali, seorang pemikir Islam yang termasyhur itu, adalah kelahiran desa Thus, yang terletak di dekat kota Masyhad. Beliau hidup pada abad ke-5 Hijriyyah. Pada saat itu kota Naisapur menjadi pusat ilmu pengetahuan, tempat berkumpul para penuntut ilmu dari berbagai penjuru.
Imam Ghazali adalah seorang di antara mereka. Beliau datang ke Naisapur dan Ju‟jan untuk menuntut ilmu dan memburu keutamaan. Dari kedua kota itu beliau telah berhasil mengumpulkan segudang ilmu yang diperoleh dari guru-gurunya.
Adapun metode yang ditempuh oleh Imam Ghazali dalam studinya, ialah mencatat segala apa yang diajarkan oleh gurunya dalam kertas agar beliau tidak lupa. Dengan metode seperti itu, beliau berhasil mengumpulkan sejumlah catatan yang amat banyak selama masa studinya.
Ketika beliau akan kembali ke daerahnya, dibawalah catatancatatan itu dalam sebuah kopor, dan pulanglah beliau bersama rombongan yang juga akan kembali ke daerah.
Di tengah perjalanan, mereka dicegat oleh sekawanan penyamun yang akan merampas segala harta mereka, satu persatu mereka digeledah oleh penyamun. Pada giliran terhadap penggeledahan terhadap Imam Ghazali, para penyamun mendapatkan kopornya yang berisi catatan-catatan ilmu itu. Mereka bermaksud untuk merampasnya, namun beliau mempertahankan agar kopor itu jangan dirampas. Mereka menyangka bahwa di dalamnya berisi barang-barang yang berharga. Setelah dibuka, ternyata isinya lembaran-lembaran kertas dan buku-buku. Lalu mereka bertanya,
“Buat apa semua ini?”
“Ini bermanfaat bagiku tetapi tak ada gunanya bagimu.”
“Apa yang kau dapat kau manfaatkan dari lembaran-lembaran
ini?”
“Ini adalah hasil jerih payahku selama bertahun-tahun menuntut ilmu. Jika kamu ambil barang ini, akan lenyaplah semua pengetahuanku dan akan sia-sialah hasil usahaku selama ini”.
“Apakah benar semua yang kau pelajari itu ditulis dalam kertaskertas ini?”
“Benar”.
“Ilmu yang dapat dicuri bukanlah ilmu.”
Rupanya kalimat ini terguris dalam-dalam di lubuk hati Imam Ghazali. Kalimat ini pulalah yang mengubah metode Imam Ghazali dan menambah kecerdasan dalam studi-studi berikutnya.
Beliau merasa bahwa selama ini dirinya tak berbeda dengan seekor burung beo, hanya merekam apa-apa yang diperoleh dari gurunya ke dalam kertas. Setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut penyamun, beliau mulai melatih otaknya untuk berpikir dan membiasakan diri untuk menghafal. Sejak itu beliau sealu mengabadikan masalah-masalah penting di dalam otaknya, tidak men-catatnya di dalam kertas.
Terhadap nasehat yang amat berharga itu beliau berkomentar, ”Sebaik-baik nasehat yang menerangi jalan pikiranku dalam kehidupan ini ialah nasehat yang kudengar dari para penyampun.”
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#One_Hour_Awardness
#Ilmu_Yang_Dapat_di_Curi_Bukanlah_Ilmu