Oleh: Efriza | Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan
Matarakyat24.com –EUFORIA Agama tampaknya begitu terlihat di Indonesia sejak 2017 lalu. Sayangnya, euforia agama malah menyebabkan nilai-nilai agama untuk memanusiakan manusia malah terpinggirkan. Candaan kasar dan kotor, Sinisme, dan Komentar Kasa, acap terkesan hal lumrah, padahal jauh dari nilai-nilai kesantunan dan keadaban.
Negeri Indonesia sejak 2024 ini, sedang menuju kepada kesadaran agama untuk kebaikan bersama. Wajar akhirnya, satu persatu orang-orang yang membawa narasi agama dengan unsur sinis atau candaan kasar banyak kesandung permasalahan.
Narasi Agama Bukan untuk “Jualan”
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merasakan gelombang balik terhadap partainya. Sentimen negatif publik terhadap partai ini amat kental terasa. Narasi Agama yang acap menjadi dasar kekuatan membangun eksistensi kepartaian, malah saat ini yang yang menjadi bumerang bagi partai ini.
Kesalahan narasi agama terhadap status perempuan janda menjadi gelombang kekecewaan masyarakat, jika tidak ingin disebut kesadaran masyarakat. Calon Wakil Gubernur PKS Suswono menjadi penyebab dari kekalahan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus di Pilkada Jakarta. Suswono yang berpasangan dengan Ridwan Kamil, malah dalam narasinya dianggap publik melecehkan Nabi Muhammad SAW terkait tentang argumentasinya tentang janda.
Gelombang kekecewaan masyarakat terhadap partai Islam tersebut, mungkin saja merembes disinyalir ke wilayah Jawa Barat sebut saja Depok, Bogor, dan Bekasi. Kesadaran masyarakat ini berkelindan dengan fakta bahwa kepemimpinan PKS di daerah sebut saja Depok, tidak berhasil mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan tidak terwujud, malah kehidupan lainnya tidak nyaman seperti persoalan kemacetan, penataan kota yang buruk, maupun kondisi daerah-daerah di Depok yang tidak merata pembangunan infrastrukturnya.
Wajar kepemimpinan PKS di Depok yang sudah dua dekade, malah akhirnya ditumbangkan oleh masyarakat dengan memberikan legitimasi politik kepada pasangan Supian Suri-Chandra Rahmansyah. Ini bukan sekadar masyarakat mempercayai pasangan baru untuk memimpin kota Depok, tetapi ini adalah kesadaran sekaligus kekecewaan masyarakat yang sudah membuncah, akhirnya PKS tersingkir sebagai partai terkuat di kota Depok.
Pendakwah Berpolitik dan Komentar Kasar
Narasi agama jika dihamburkan ke dalam politik pragmatis cenderung malah menyebabkan terjadinya banyak masalah baru. Begitu juga yang terjadi ketika pendakwah terjun ke politik, rasa kebersamaan dengan masyarakat lambat-laun malah terkikis. Akhirnya yang terjadi adalah acap pendakwah kepleset dalam komentarnya yang kasar maupun sinis.
Gus Miftah hari ini mengagetkan publik ketika ia melontarkan kata kasar “Goblok” kepada seorang bapak penjual Es Teh. Niat awal Miftah hanya guyonan, tetapi kata kasar yang meluncur drastis dari mulutnya, malah menyayat hati bapak tersebut, bahkan menyulut kemarahan publik. Akhirnya, Gus Miftah melakukan mengupayakan meminta maaf secara media dan juga menemui bapak tersebut.
Sertifikasi Pendakwah
Kasus Gus Miftah menunjukkan ia sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, malah kepleset pada situasi pelaku dari ketidakharmonisan beragama. Bagi publik Gus Miftah telah melakukan kesalahan, karena pendakwah semestinya tidak mengeluarkan bahasa kasar maupun candaan yang mengolok-olok pihak lain saat berdakwah.
Mendiskusikan Agama memang dapat membuat manusia kepleset seperti, penggunaan kata-kata kasar, melecehkan, maupun pemilihan penggambaran cerita yang malah menghadirkan kejengkelan publik.
Memang dirasa amat baik, usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait jika pendakwah harus memiliki sertifikasi. Sertifikasi ini sejatinya untuk menjaga keharmonisan masyarakat. Diharapkan pendakwah dalam menyampaikan pesan-pesan dakwahnya tidak keluar dari nilai keagamaan. Sebab memang agama sejatinya untuk memanusiakan manusia, bukan malah sebagai alat untuk menghina antar manusia.
Sisi lain, disamping sertifikasi tentu saja tetap dibutuhkannya kontrol dari masyarakat. Agar pendakwah lebih mengedepankan etika, sehingga tidak terjadi lagi pendakwah melanggar tata kesopanan publik dan melanggar keadaban publik. Bahkan, memang sebaiknya, masyarakat mulai menyadari euforia agama dalam politik juga sudah sebaiknya mulai perlahan-lahan diabaikan. Sebab, negara Indonesia dibangun atas dasar nilai-nilai moral bukan individual. Sehingga, nilai-nilai kesantunan memang menjadi perekat persatuan dan kesatuan serta keharmonisan di masyarakat. Jadi tanpa diminta maupun diungkapkan dalam narasinya, pondasi agama dan moral juga menjadi dasar dalam politik di negeri ini.