Ejakulasi Dini Perjuangan HMI: Dari Refleksi Untuk Proyeksi

Oleh: Muh. Asmar Hidayat Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bone

Kita tidak lagi membahas soal kapan dan di mana Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu didirikan. HMI yang selalu di perdengungkan di setiap kegiatan, baik yang sifatnya formal atau non formal adalah bahwa dari rahim organisasi ini telah lahir para intelektual, pemimpin publik, dan cendekiawan yang menjadi wajah generasi bangsa. Namun, di balik sejarah panjang yang megah itu, muncul sebuah pertanyaan fundamental, apakah para kader HMI tidak mengalami kejemudan berpikir?

Dalam buku “HMI Candradimuka Mahasiswa”, HMI digambarkan sebagai ruang penggemblengan kader, tempat ditempanya insan-insan cita yang beriman, berilmu, dan berakhlak sosial. Namun, di balik kilau sejarah panjang itu, tersimpan paradoks yang semakin terasa di era sekarang, yakni HMI mengalami ejakulasi dini dalam perjuangannya.

Istilah ini bukanlah bentuk provokatif, melainkan metafora sosial-politik. “Ejakulasi dini perjuangan” menggambarkan ledakan semangat yang berakhir terlalu cepat, gairah intelektual dan idealisme yang kehilangan daya tahan untuk mengubah realitas sosial. HMI yang lahir dari rahim revolusi kemerdekaan 1947 dengan semangat keislaman dan keindonesiaan, kini kerap terlihat lebih sibuk memperdebatkan simbol, posisi, dan prestise politik ketimbang melanjutkan cita-cita masyarakat adil makmur.

Dalam buku tersebut, kakanda Solichin menggambarkan HMI sebagai “tempat penggodokan”, ibarat kawah tempat di tempanya Gatotkaca yang perkasa. Analogi tersebut mengartikan bahwa HMI adalah tempat kaderisasi yang progresif, terukur, dan bernilai luhur. Namun di sinilah ironi mulai nampak, kawah tersebut sering berfungsi sebagai pemanas ideologis atau semata-mata hanya doktrin belaka, bukan lagi penggemblengan karakter. Maka perlu menelisik lebih dalam lagi soal sebab muasal HMI mengalami Ejakulasi Dini Perjuangan.

Perkaderan yang Terjebak Formalitas

Perkaderan merupakan jantung dari eksistensi HMI. Perkaderan bukan sekadar proses teknis, tetapi ruang ideologis untuk menanamkan kesadaran keislaman-keindonesiaan, dan keilmuan. Namun dalam praktiknya, perkaderan sering kali bergeser menjadi rutinitas administratif. Banyak forum yang digelar hanya karena tuntutan struktural, bukan karena kebutuhan pendalaman kesadaran. Forum diskusi kehilangan kedalaman, materi kaderisasi kehilangan konteks, dan outputnya lebih administratif dari pada transformasional.

Dalam realitas perkaderan, hanya sebatas pengguguran tanggung jawab. Kader-kader yang pasca basic training kurang mendapatkan prosesi follow up sehingga basic training tak khayal hanya menjadi penambahan database keanggotaan. Entah terjadi kemunduran dalam tubuh pengurus komisariat ataukah adanya jarak di internal HMI. BPL sebagai mata air perkaderan semakin ke sini hanya sebatas simbol, padahal semestinya BPL mengambil peran besar dalam membina kepribadian muslim, menjalin sinergitas dengan pengurus cabang yang mengurusi kaderisasi, sehingga mampu melahirkan formulasi perkaderan yang hidup dan produktif.

Kader lahir dalam jumlah banyak, tetapi dengan kadar pemahaman yang tipis. Alih-alih melahirkan insan akademis dan pencipta seperti yang dicita-citakan, yang muncul sering kali adalah kader dengan orientasi jabatan. Perkaderan yang kehilangan ruh menjadikan organisasi sekadar “pabrik aktivis” tanpa nilai perjuangan. Inilah boomerang kemunduran, ketika proses pembentukan manusia berubah menjadi pengguguran tanggung jawab.

Kemunduran Literasi dan Hilangnya Ruh Pena

Salah satu simbol dalam logo HMI adalah bentuk pena, yang menandakan kedalaman ilmu pengetahuan, kecintaan akan literasi, dan haus akan ilmu. Pena melambangkan peran HMI sebagai laboratorium ilmu pengetahuan. Namun, realitas hari ini menunjukkan kemunduran literasi yang mengkhawatirkan. Diskusi-diskusi ilmiah berganti dengan obrolan dangkal di media sosial, lentera dana cahaya keilmuan semakin meredup. Kader lebih sibuk membuat spanduk aksi ketimbang membaca buku. Banyak komisariat kehilangan budaya membaca, apalagi menulis.

HMI yang semestinya menjadi ruang lahirnya pemikir muslim progresif, justru terjebak dalam aktivisme beku tanpa basis intelektual. Inilah bentuk lain dari ejakulasi dini perjuangan, yakni gairah berbicara tanpa stamina berpikir. Jika pena dalam logo HMI kehilangan makna, maka sesungguhnya HMI sedang kehilangan ruh intelektualnya. Padahal, dari pena itulah lahir peradaban. HMI harus kembali menghidupkan budaya baca dan tulis, mengembalikan literasi sebagai inti kaderisasi, bukan pelengkap kegiatan.

Surplus Kritik, Defisit Auto-Kritik

HMI dikenal sebagai organisasi yang kritis terhadap realitas. Tradisi kritik sosial, politik, dan dunia kampus telah lama menjadi bagian dari identitas. Namun, kritik eksternal yang tidak diimbangi dengan auto-kritik justru menjadikan HMI semakin melangit dan lupa membumi. Kecenderungan yang muncul hari ini adalah surplus kritik tapi defisit auto-kritik. HMI tajam menilai kekurangan orang lain, tetapi tumpul melihat kelemahan sendiri. Forum-forum besar penuh dengan retorika perubahan, namun sedikit yang mau membahas cacat internal.

Dalam konteks ini, pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nur) perlu di kontemplasikan. Pada tahun 1972, Cak Nur pernah menyerukan gagasan yang sebagian pihak menganggap sebagai pernyataan yang kontroversial, yakni “HMI sebaiknya dibubarkan saja”. Pernyataan tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan peringatan keras terhadap degradasi moral dan intelektual di tubuh HMI. Cak Nur menilai HMI telah terlalu politis, kehilangan substansi gerakan, dan terjebak dalam rutinitas struktural yang buram dari spiritualitas perjuangan.

Sayangnya, seruan reflektif itu kini tenggelam dalam riuhnya ambisi jabatan dan kompetisi internal. Auto-kritik dipandang sebagai ancaman, dipandang sebagai tindakan yang akan mempermalukan organisasi sendiri. Padahal tanpa keberanian untuk menilai diri sendiri, HMI tidak akan pernah menemukan arah yang benar. Padahal, pembubaran itu bukan tindakan destruktif, melainkan bentuk “pendalaman kesadaran” sebagai ajakan untuk membentuk solidaritas mekanik, melalui kelahiran baru yang lebih jernih, bersih, dan otentik.

Disintegrasi dan Fragmentasi

Krisis lain yang menandai ejakulasi dini perjuangan HMI adalah disintegrasi kepentingan. Solidaritas yang dulu menjadi daya ikat seperti yang selalu disuarakan “berteman lebih dari sodara” kini mulai terkoyak oleh kepentingan pribadi dan faksi. Komisariat, cabang, hingga pengurus besar sering bergerak dalam orbit berbeda, dengan prioritas yang tidak lagi sinkron. Disintegrasi ini memunculkan fragmentasi ideologis dan organisatoris. Sebagian kader masih memegang idealisme klasik perjuangan moral dan intelektual, namun sebagian lain terjebak dalam pragmatisme politik. Akibatnya, nafas organisasi terpecah dan futurologi HMI menjadi kabur.

Kondisi tersebut tereskalasi oleh lemahnya kepemimpinan yang tidak berorientasi pada pembinaan dan pengabdian. Banyak struktur lebih sibuk menjaga posisi daripada memelihara nilai. Akibatnya, jaringan kader melemah dan daya internalisasi HMI menurun. Kritik berbeda dapat di temukan dalam literatur yang lain, buku “44 Indikator Kemunduran HMI” karya Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul yang menegaskan bahwa gejala kemunduran HMI tampak pada tiga hal utama; melemahnya fungsi kaderisasi, disorientasi nilai, dan pragmatisasi perjuangan.

Menurutnya, kader kini banyak yang aktif hanya untuk jabatan, bukan pengabdian. Kegiatan intelektual berganti menjadi rutinitas administratif. Sehingga HMI yang dahulu lahir untuk menembus kegelapan zaman, kini justru kehilangan kompas moralnya sendiri. Krisis HMI adalah krisis makna, organisasi masih hidup secara administratif, tetapi kehilangan vitalitas perjuangan. Ibarat tubuh besar tanpa jiwa, bergerak karena kebiasaan bukan karena kesadaran.

Salah satu pilar HMI adalah sifat independensinya, baik independensi etis maupun independensi organisatoris. Tetapi independensi yang seharusnya menjadi benteng moral kini justru menjadi slogan tanpa daya. Independensi kehilangan makna ketika organisasi lebih sibuk menegosiasikan posisi dan loyalitas, ketimbang membumikan nilai. Maka, ejakulasi dini perjuangan di sini adalah kegagalan menjaga denyut moral di tengah godaan pragmatisme politik. HMI, yang seharusnya berdiri di atas komitmen asasinya, kini sering menjadi sekadar tangga menuju jurang sendiri.

HMI yang berperan sebagai organisasi perjuangan sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 AD/ART, semestinya memposisikan diri untuk mengubah suatu kondisi buruk menjadi baik. Namun kini justru mengalami kelumpuhan. Misalnya dalam aksi demonstrasi, banyak kader HMI enggan melakukan riset dan penggalian data sebelum turun aksi. Akibatnya, gerakan menjadi dangkal dan kehilangan substansi. HMI bukan lagi gerakan pengetahuan, melainkan sekadar kerumunan yang kehilangan daya analisis.

Nafas Panjang Perjuangan

Ejakulasi dini perjuangan adalah gejala hilangnya kesadaran spiritual dan intelektual yang menjadi inti HMI. HMI mesti memproduksi wacana baru, melahirkan narasi sebagai identitas organisasi. HMI harus kembali menjadi lokomotif intelektual bukan sekadar arena kompetisi ego antar kader.

Sejarah tidak butuh organisasi yang hanya bisa memanaskan idealisme, sejarah menunggu mereka yang mampu menjaga api perjuangan hingga menyala panjang. Karena sejatinya, perjuangan bukan soal siapa yang paling cepat berapi-api, melainkan siapa yang paling tahan menjaga bara di tengah gelapnya zaman. Perjuangan HMI mestinya diarahkan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah. Bukan sekadar mencetak politisi atau pejabat, tetapi melahirkan manusia yang mampu berpikir, beriman, dan bertindak untuk kemaslahatan umat. HMI tidak boleh puas menjadi “organisasi alumni sukses”, melainkan harus menjadi “gerakan nilai yang terus menyala.”

Refleksi atas kemunduran HMI bukan sekadar catatan pesimistis, melainkan fondasi untuk proyeksi masa depan. Dari cermin refleksi ini, generasi HMI harus menata ulang arah perjuangan. Semisal menghidupkan kembali BPL sebagai pusat kaderisasi sejati, mengembalikan nilai Islam sebagai sumber etika praksis, serta memperkuat riset dan intelektualisme sebagai energi perjuangan.

HMI senantias melahirkan gerakan pembebasan intelektual dan spiritual, bukan lembaga seremonial yang menua dalam kebanggaannya sendiri. Karena hanya dengan itu, HMI bisa melampaui ejakulasi dini perjuangan, dan menemukan kembali stamina sejarahnya sebagai pembentuk insan cita dan penjaga moral bangsa.

Sehingga yang mesti dipikirkan bersama adalah bagaimana kita bisa menjadi jarum yang mampu menjahit bagian-bagian yang robek dalam tubuh HMI, bukan malah berpikir untuk lebih hijau hitam dari pada yang hijau hitam lainnya. Garis besar dari refleksi ini adalah kita membutuhkan nafas panjang untuk perkaderan, membutuhkan kolektifitas lintas kader dalam mencapai misi HMI, setidaknya dalam scope komisariat.

Pada titik ini, barangkali tidak berlebihan untuk menyampaikan satu kalimat yang paling jujur, lahir dari kegelisahan dan cinta terhadap himpunan ini, “Yang ‘tersisa’ di HMI hanya komisariat, selainnya perlu dipangkas, terutama pucuknya”.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *