BERANI MENGHADAPI KEGAGALAN

Khazanah

Oleh : Syaiful Anwar

 

Pada tahun 1980, setiap 5 menit ada 40 usaha di AS yang menemui kegagalan dan ini 75% lebih tinggi dari angka pada 1978. Dapat Anda bayangkan bagaimana angkanya sekarang? Simak pulang di sekitar kita berapa banyak para pensiunan dini atau PHK-wan di tahun 2000-an, apalagi ketika pandemic Covid- 19 melanda, berapa banyak para pedagang dan pebisnis yang merasakan dampak dari pandemic ini. Kita mendengar belum lama ini, sebuah swalayan yang memiliki cabang seluruh Indonesia dan “gulung tikar” sehingga secara otomatis para karyawannya pun bubar.

Kehilangan bisnis mungkin mirip dengan kehilangan anak atau saudara, perlu waktu untuk pulih kembali. Menurut Shapero, perlu waktu sekitar 3 tahun bagi pewirausaha yang gagal untuk memulai bisnis kembali, yaitu waktu untuk merenungkan kegagalan sebelumnya, mencari ide untuk mengumpulkan sumber daya, serta menunggu peluang baru yang tepat.

Kegagalan bisnis, walaupun sakit bagi yang bersangkutan, sangat berharga bagi masyarakat dan negara. Umumnya dari bisnis yang gagal masih tertinggal sumber daya yang andal yang bisa termanfaatkan lagi bagi masyarakat. Mengutip kembali data Small Business Administration (SBA), pada 1994 di AS sebagian besar (61,4%) pebisnis yang gagal mencoba lagi berbisnis, upaya yang kedua atau ketiga umumnya menjadi badan yang lebih stabil dan potensial.

Menghindari kegagalan yang fatal tentu saja harus diusahakan, baik melalui belajar dari pengalaman, belajar melalui coba-coba (trial and error) atau tindakan, belajar di kelas kewirausahaan melalui latihan dan kasus. Di samping itu, pebisnis umumnya berbeda dalam melihat kegagalan dibanding orang kebanyakan. Bagi mereka, kegagalan adalah sukses yang tertunda, bahkan mengutip Mulyanto kegagalan adalah kesuksesan itu sendiri. Selain kesukesan tertunda, kegagalan juga merupakan tantangan atau masalah. Mengutip Sexton dan Van Auken yang menemukan bahwa banyak pebisnis sukses menganggap kegagalan sebagai kesempatan belajar, dan ketidaksuksesan sebagai masalah riil. Pebisnis yang efektif tak berpikir tentang kegagalan melainkan menggunakan kata-kata lain seperti kesalahan, awal yang salah, error, kemunduran, penurunan.

Orang-orang yang sukses hari ini dan kita sebut namanya, mereka adalah yang pernah gagal. Stephen King, novelis dunia yang kaya raya, adalah orang yang naskahnya pernah ditolak penerbit, namun karena mampu mengelola penolakan/kegagalan sebagai sukses yang tertunda, akhirnya ia justru menjadi penulis/novel yang dikenal dunia. Untuk itu, mari kita simak saja ceritanya:

King, ditinggalkan ayahnya ketika berusia tiga tahun. King dan kakaknya dibesarkan oleh ibunya yang bekerja di restoran untuk menghidupi mereka. Di usia tujuh tahun, King telah menulis cerpen pertamanya. Ia telah menjadi penggemar film horor di masa remaja. Selama di sekolah menengah, ia tidak begitu istimewa. Ia bukan orang terpandai atau orang terbodoh di kelasnya.

Di tahun pertamanya di universitas, ia berhasil menyelesaikan novel pertamanya. Ia menyerahkannya kepada penerbit, tetapi ditolak. Penerbit menolak novelnya dengan reaksi yang buruk, yakni membuang buku itu. Di waktu lain, ia berhasil menjual ceritanya yang lain hanya dengan harga US$ 35.

Di bulan Juni 1970, King lulus dari Universitas Maine dengan gelar sarjana muda sastra Inggris dan ijazah untuk mengajar di sekolah menengah. Karena tidak berhasil menjadi guru, ia menerima pekerjaan tidak tetap sebagai buruh di sebuah industri pakaian. Bahkan, ia pun mau bekerja sebagai penjaga pom bensin untuk upah sebesar US$1.25 per jam.

Di bulan Januari 1971, ia menikah. King memenuhi kebutuhan hidupnya dengan uang hasil penjualan cepennya ke majalah pria dan uang simpanannya. Bahkan, di satu waktu, ia harus memakai uang pinjaman dari siswa istrinya.

Di musim gugur tahun 1971, ia berhasil mendapat pekerjaan sebagai guru di Akademi Hampden dengan pendapat US$ 6,400 per tahun. Ia menulis cerpen di malam hari dan di akhir minggu. Ia terus menulis cerpen dan novel untuk menaikkan pendapatannya. Kebanyakan dari hasil karyanya ditolak.

Suatu hari, ia mulai menulis sebuah cerita tentang gadis remaja bernama Carietta White. Setelah menyelesaikan beberapa halaman dan mengingat banyaknya penolak yang telah ia alami, ia berpendapat bahwa cerita ini tidak bagus. Ia remas kertas itu dan dilemparnya ke tempat sampah. Istrinya mengambil kertas-kertas itu, membacanya dan mendorong dia untuk menyelesaikanya. Akhirnya, novel itu selesai di bulan Januari 1973.

Novel itu sangat menarik bagi para penerbit. Akhirnya, hak untuk menerbitkan novel yang berjudul Carrie itu diperoleh New American Library seharga US$ 400,000,00 pada tanggal 12 Mei 1973. Dengan pendapat sebesar itu, Stephen King memutuskan akan mengoftimalkan waktunya untuk menulis novel dan berhenti mengajar. Sekarang, Stephen King adalah pengarang buku paling sukses. Bukunya telah diterjemahkan ke dalam 33 bahasa, diterbitkan di 35 negara, dan telah dicetak lebih dari seratus juta buku.

Pada satu waktu, kelima bukunya pernah masuk dalam daftar “New York Times Best Sellers”. Menurut majalah Forbes, ia adalah pengarang terkaya di dunia. Di tahun 1996 saja, pendapatannya sebesar US$ 84 juta. Banyak hasil karyanya yang telah difilmkan ke layar lebar, antara lain: Carrie, The Dead Zone, The Sining, Christine, Salem‟s Lot, Firestarter, Cujo, Misery, The Shawshank Redemtion, dan The Green Mile.

Lihatlah, King telah menjadi „raja‟ uang dari novelnya. Anda bayangkan saja, bagaimana andaikata King tidak mau mendengar saran sang istri, lalu membuang novelnya. Wah…tentunya nggak jadi milyarder „kan.

Oleh karena itu, beranilah untuk menghadapi kegagalan, karena kegagalan memberikan banyak sekali pelajaran yang berharga. Orang-orang yang berjiwa besar biasanya dibesarkan oleh kegagalan, tapi sebaliknya, orang-orang berjiwa kerdil umumnya dilumpuhkan oleh kegagalan.

Thomas Alpa Edison dikisahkan, memerlukan 9997 kegagalan dalam percobaannya sebelum berhasil menemukan lampu yang menyala. Kalau Anda ingin membuat lampu yang bisa menyala apakah Anda harus melakukan percobaan sebanyak yang dilakukan Edison. Mengulangi kesalahan yang dilakukannya.

Menghabiskan uang, energi dan waktu sebanyak yang dilakukan Edison? Tentu saja tidak! Yang perlu Anda lakukan adalah belajar, berguru, bekerjasama dengan Edison dan bertanya bagaimana Edison melakukannya? Hasilnya tidak sampai satu hari Anda sudah berhasil membuat lampu yang bisa menyala. Begitu juga dengan kehidupan dan bisnis ini, meskipun tidak secepat membuat lampu.

Menurut Penulis, dalam rumus bisnis maupun kehidupan, kegagalan=kesuksesan. Antara kegagalan dan kesuksesan itu beda tipis, sama halnya antara benci dan cinta. Maka, kami berani mengatakan bahwa gagal sama dengan sukses. Atau, dengan ungkapan lain, kegagalan adalah kesuksesan itu sendiri. Bukankah kesuksesan itu merupakan akumulasi dari kegagalan- kegagalan? Bukankah kegagalan itu merupakan guru paling pintar untuk menerbangkan Anda ke langit kesuksesan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *