Mengurai Janji dan Ancaman Perjanjian Dagang AS-Indonesia: Perspektif Rakyat Aceh atas Kedaulatan Data dan Ekonomi Lokal

Oleh: Al-Fikr’ – Pemerhati Sosial Masyarakat 

Matarakyat24.com, Bireuen – Pada 22 Juli 2025 lalu, sebuah pengumuman dari Gedung Putih menggebrak jagat ekonomi global: Amerika Serikat dan Indonesia sepakat menjalin “Kerangka Kerja Perjanjian Perdagangan Timbal Balik.” Berita ini disambut dengan optimisme tinggi oleh sebagian kalangan, menjanjikan gelontoran miliaran dolar investasi dan pembukaan pasar yang luas. Namun, bagi kita di Serambi Mekkah, dan seluruh rakyat Indonesia, penting untuk mengurai lebih dalam: apakah janji manis ini benar-benar akan berpihak pada kesejahteraan kita, atau justru menyembunyikan ancaman yang tak kasat mata terhadap kedaulatan data dan keberlangsungan ekonomi lokal kita?

1. Masalah: Ketidakseimbangan Potensial dan Ancaman Kedaulatan Digital

Permasalahan mendasar yang patut menjadi sorotan utama adalah potensi ketidakseimbangan yang terkandung dalam perjanjian dagang ini. Jika tidak diantisipasi dengan cermat, kesepakatan ini berisiko mengikis kedaulatan digital bangsa dan memukul sektor ekonomi rakyat yang selama ini menjadi tulang punggung. Ada janji pertumbuhan ekonomi makro yang menggiurkan, namun di sisi lain, terdapat klausul-klausul yang bisa berdampak negatif pada privasi individu, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta strategi hilirisasi nasional. Kondisi ini menuntut kewaspadaan penuh agar manfaat ekonomi tidak hanya terpusat pada segelintir pihak, sementara beban risiko justru ditanggung oleh mayoritas masyarakat.

2. Uraian Masalah: Mengapa Kita Perlu Waspada dan Memahami Lebih Jauh?

Untuk memahami lebih jauh mengapa perjanjian ini memantik kekhawatiran, kita perlu mengurai beberapa poin krusial yang termaktub dalam kerangka kerja tersebut.

Pertama, terdapat disparitas signifikan dalam pengurangan tarif. Indonesia berkomitmen untuk menghilangkan hampir 99% hambatan tarif bagi produk industri, makanan, dan pertanian AS, memberikan akses pasar yang hampir penuh. Sebagai imbalannya, Amerika Serikat akan mengurangi tarif untuk barang-barang Indonesia menjadi 19%, dari proyeksi awal yang bisa mencapai 32% atau bahkan 40%. Meskipun angka 19% ini terlihat sebagai pengurangan yang signifikan, perbandingan dengan akses 99% yang kita berikan memunculkan pertanyaan kritis tentang keseimbangan. Analisis dari Global Trade Research Initiative (GTRI) India, yang mengamati perjanjian serupa, bahkan secara lugas melabeli kesepakatan semacam ini “berat sebelah,” mengindikasikan bahwa Indonesia mungkin memberikan konsesi yang lebih besar dibandingkan yang diterima.

Kedua, perjanjian ini berpotensi menjadi ancaman serius bagi UMKM dan industri lokal. Klausul mengenai penghapusan persyaratan konten lokal bagi perusahaan AS berarti perusahaan-perusahaan besar Amerika tidak lagi diwajibkan menggunakan komponen atau bahan baku dari produsen lokal Indonesia. Bagi ribuan UMKM di Aceh dan daerah lain, yang selama ini menjadi pemasok atau mitra penting dalam rantai pasok industri, ini adalah pukulan telak yang dapat menyebabkan mereka kehilangan pasar dan terancam gulung tikar. Lebih jauh lagi, potensi penghapusan pembatasan impor barang hasil rekondisi dari AS bisa membanjiri pasar domestik dengan mesin-mesin bekas atau komponen rekondisi yang jauh lebih murah. Kondisi ini akan secara langsung menghancurkan daya saing industri manufaktur dalam negeri yang tengah berjuang untuk tumbuh dan berdaya saing, menghambat upaya kita membangun kemandirian industri.

Ketiga, dan mungkin yang paling krusial, adalah isu kedaulatan data pribadi yang kini berada di ujung tanduk. Indonesia berkomitmen untuk memberikan kepastian bagi transfer data pribadi ke AS dengan mengakui bahwa AS memiliki “perlindungan data yang memadai.” Organisasi seperti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) secara tegas menyatakan bahwa perjanjian ini, yang kabarnya dinegosiasikan “secara tertutup” tanpa konsultasi publik yang memadai, berpotensi merusak rezim perlindungan data pribadi di Indonesia.

Khususnya pada isu kedaulatan data pribadi, komitmen Indonesia untuk mengakui AS sebagai negara dengan perlindungan data yang memadai, meski diiringi penegasan akan kepatuhan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), tetap memantik kekhawatiran. UU PDP sendiri merupakan payung hukum penting yang mengatur hak-hak subjek data, kewajiban pengendali data, serta mekanisme transfer data lintas batas yang harus memenuhi syarat tertentu. Namun, tanpa aturan turunan yang jelas dan Otoritas Perlindungan Data Pribadi (OPDP) yang independen dan kuat untuk mengawasi implementasinya, “pengakuan” ini dalam konteks perjanjian dagang bisa menjadi celah besar bagi eksploitasi dan penyalahgunaan data sensitif warga negara mulai dari riwayat kesehatan, transaksi keuangan, hingga preferensi pribadi yang bisa lebih mudah dipindahkan ke server di luar negeri. Ini bukan sekadar masalah teknis, ini adalah pertaruhan besar pada kedaulatan digital yang berdampak langsung pada setiap individu pemilik data di Indonesia.

Terakhir, terdapat konflik kebijakan mengenai hilirisasi mineral. Pernyataan Gedung Putih yang mengindikasikan Indonesia akan menghapus pembatasan ekspor mineral kritis ke AS telah dibantah keras oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia. ESDM menegaskan komitmen pada UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba yang melarang ekspor mineral mentah. Disparitas klaim ini menunjukkan adanya ketidakselarasan yang perlu diklarifikasi secara transparan, demi menjaga konsistensi kebijakan hilirisasi nasional yang vital bagi masa depan ekonomi dan industri kita.

3. Teori Pemecahan Masalah: Keseimbangan Kepentingan Nasional dan Integrasi Global

Dalam menghadapi kompleksitas permasalahan yang diuraikan di atas, kita perlu merujuk pada kerangka pemikiran yang mengedepankan keseimbangan kepentingan nasional dan integrasi global. Integrasi ke dalam pasar global memang penting untuk pertumbuhan ekonomi, namun tidak boleh mengorbankan fondasi ekonomi domestik dan hak-hak fundamental warga negara.

Prinsip Industri Bayi (Infant Industry Argument) harus menjadi panduan utama. Untuk UMKM dan industri lokal yang masih berkembang, diperlukan perlindungan dan dukungan agar mereka mampu bersaing di pasar yang lebih terbuka. Penghapusan persyaratan konten lokal dan masuknya barang rekondisi justru dapat menghambat pertumbuhan “industri bayi” ini sebelum mereka cukup kuat.

Selanjutnya, kedaulatan digital harus dipandang sebagai hak asasi manusia dan kedaulatan negara. Di era digital, data adalah aset strategis yang tak ternilai. Kebijakan transfer data harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan perlindungan maksimal, bukan semata-mata pada kepentingan bisnis lintas batas.

Terakhir, Indonesia sebagai negara berdaulat harus mampu bernegosiasi dari posisi yang kuat. Ini berarti memastikan bahwa setiap klausul perjanjian benar-benar timbal balik dan saling menguntungkan, bukan hanya menguntungkan satu pihak. Negosiasi berbasis kekuatan ini memerlukan tim yang solid, data yang akurat, dan pemahaman mendalam tentang konsekuensi jangka panjang.

4. Solusi

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, langkah-langkah konkret perlu segera dirumuskan dan diimplementasikan oleh pemerintah, dengan dukungan penuh dari rakyat.

Langkah pertama yang bisa dilakukan oleh Pemerintah adalah re-negosiasi klausul-klausul krusial yang berpotensi merugikan. Ini mencakup transfer data, persyaratan konten lokal, dan impor barang rekondisi. Pemerintah harus berani meninjau ulang dan, jika perlu, menegosiasikan kembali poin-poin ini untuk memasukkan klausul perlindungan yang kuat bagi UMKM dan industri lokal. Kedua, percepatan pembentukan Otoritas Perlindungan Data Pribadi (OPDP) yang independen dan berwenang penuh, serta penyelesaian regulasi turunan UU PDP adalah keharusan mutlak. Ini adalah kunci untuk memastikan perlindungan data pribadi warga negara tidak hanya di atas kertas, tetapi juga dalam praktik. Ketiga, perlu adanya program dukungan UMKM yang intensif agar mereka mampu meningkatkan daya saing, berinovasi, dan beradaptasi dengan pasar yang lebih terbuka, bukan justru tergilas. Terakhir, Pemerintah harus konsisten dengan kebijakan hilirisasi, menegaskan posisi Indonesia untuk tidak mengekspor mineral mentah dan terus mendorong investasi di sektor pengolahan mineral di dalam negeri.

Peran aktif Rakyat sangat diperlukan dalam mengawal kebijakan ini. Pertama, masyarakat harus meningkatkan literasi digital secara proaktif, memahami tentang privasi data dan risiko digital. Mengenali hak-hak Anda sebagai pemilik data adalah langkah awal perlindungan diri. Kedua, mendukung produk lokal adalah bentuk nyata perlawanan terhadap gempuran produk asing. Dengan memprioritaskan pembelian produk-produk dalam negeri, kita secara langsung memberdayakan UMKM dan industri lokal. Ketiga, masyarakat harus aktif bersuara, tidak ragu menyuarakan aspirasi dan kekhawatiran melalui saluran yang tersedia, baik melalui wakil rakyat, organisasi masyarakat sipil, maupun media. Terakhir, penting untuk memantau implementasi perjanjian ini secara terus-menerus dan melaporkan jika ada dampak negatif yang merugikan masyarakat.

5. Saran

Selain langkah-langkah konkret tersebut, ada pula saran-saran strategis yang bersifat jangka panjang untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah global.

Transparansi dan keterbukaan informasi harus menjadi prioritas utama Pemerintah. Libatkan publik dan pemangku kepentingan (akademisi, LSM, asosiasi industri) dalam setiap tahapan negosiasi dan implementasi perjanjian. Publik berhak tahu detail dan dampak dari kebijakan yang akan memengaruhi hidup mereka. Selanjutnya, studi dampak yang mendalam dan independen harus dilakukan, tidak hanya dari sisi ekonomi makro, tetapi juga dampak sosial, lingkungan, dan mikro terhadap sektor-sektor rentan. Pemerintah juga harus memperkuat kapasitas negosiator agar mereka memiliki pemahaman yang komprehensif tentang isu-isu sensitif dan mampu bernegosiasi secara optimal demi kepentingan nasional. Terakhir, investasi lebih besar pada infrastruktur dan talenta digital domestik diperlukan untuk membangun ekosistem digital yang kuat dan mandiri, mengurangi ketergantungan pada teknologi dan layanan asing.

Masyarakat, khususnya di Aceh, harus menjadi “mata dan telinga” dalam mengawasi implementasi perjanjian ini. Laporkan setiap potensi pelanggaran atau dampak negatif yang terlihat di lapangan. Edukasi berkelanjutan tentang isu-isu perdagangan internasional, ekonomi digital, dan hak-hak privasi juga sangat penting; pengetahuan adalah kekuatan. Penting juga untuk menjalin solidaritas dengan komunitas, asosiasi, dan organisasi masyarakat sipil untuk menyuarakan kepentingan bersama dan menuntut keadilan. Terakhir, bagi pelaku UMKM, teruslah beradaptasi dan berinovasi dengan perubahan pasar, memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan daya saing dan jangkauan pasar.

Perjanjian dagang ini adalah cerminan dari dinamika global yang tak terhindarkan. Namun, bagaimana kita menghadapinya, dan seberapa besar kita mampu melindungi kepentingan rakyat di tengah gelombang liberalisasi, akan menentukan masa depan bangsa. Semoga Aceh, sebagai Serambi Mekkah yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, dapat menjadi garda terdepan dalam memastikan setiap kebijakan berpihak pada kesejahteraan rakyatnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *