Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Di sebuah padang pasir yang gersang tampak sebuah kemah. Orang menyangka kalau itu adalah orang yang sedang camping, namun ternyata mereka adalah sekelompok pembegal. Kelompok pembegal ini diketuai oleh Fudhail bin „Iyad. Siang dan malam mereka merampok, membunuh dan membawa hasil rampasan mereka kepada Fudhail karena ia adalah ketua mereka. Fudhail mengambil sesuatu yang ia sukai kemudian membagi-bagikan kelebihan hasil rampasan tersebut kepada semua sahabatnya. Ia selalu tanggap tentang sesuatu dan tak pernah alpa dari pertemuan-pertemuan mereka. Setiap anggota baru yang sekali saja tidak menghadiri pertemuan, Fudhail akan mengeluarkannya dari kelompok mereka.
Suatu hari, sebuah kafilah yang besar melewati daerah mereka. Fudhail dan sahabat-sahabatnya telah menanti-nantikan kedatangan kafilah tersebut. Di dalam rombongan itu ada seorang lelaki yang pernah mendengar desas-desus mengenai para perampok itu. Ia melihat kawanan perampok itu dari kejauhan, ia pun berpikir bagaimanakah ia harus menyembunyikan sekantong emas miliknya. Ia membatin, ”Kantong emas ini akan kusembunyikan. Dengan demikian jika para perampok membegal rombongan ini, aku masih mempunyai modal untuk diandalkan.”
Ia menyimpang dari jalan raya. Ia melihat sebuah kemah dan di dekat kemah itu ada seorang wajah dan pakaiannya tampak sebagai seorang pertapa. Maka kantong emas itu pun ia titipkan kepada orang itu yang sebenarnya adalah Fudhail bin Iyad sendiri.
“Taruhlah kantongmu itu di pojok kemahku”, kata Fudhail padanya.
Lelaki itu pun melakukan seperti apa yang dikatakan Fudhail. Kemudian ia kembali ke rombongannya, tetapi ternyata mereka telah dibegal oleh kawanan Fudhail. Semua barang bawaan mereka telah dirampas sedang kaki dan tangan mereka diikat. Lelaki itu melepaskan ikatn sahabat-sahabat seperjelannya. Setelah mengumpulkan harta benda mereka yang masih tersisa, menyingkirlah mereka dari tempat kejadian itu. Lelaki tadi kembali ke kemah Fudhail untuk mengambil kantong emasnya. Ia melihat Fudhail sedang berkerumun dengan kawanan perampok dan membagi-membagikan hasil rampasan mereka.
“Celaka, ternyata aku telah menitipkan kantong emasku kepada seorang maling”, keluh lelaki itu.
Namun, Fudhail yang dari kejauhan melihatnya, berteriak memanggil si lelaki itu. Lelaki itu ketakutan.
“Tidaaak. Kau sama saja dengan mereka. Aku tak menyangka kau adalah pembegal.”
“Hai, jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu. Kemarilah dan ambillah barangmu!”
Lelaki itu pun segera berlari ke kemah Fudhail, mengambil kantong emas dan segera meninggalkan tempat itu.
Melihat kejadian itu, teman-teman Fudhail keheran-heranan.
“Mengapa tidak kau ambil kantong emas itu? bukankah itu barang berharga yang dengannya kita bisa berpoya-poya?”
“Kawan, ia telah mempercayaiku seperti aku mempercayai Allah akan menerima taubatku kelak. Aku hargai kepercayaannya itu agar Allah menghargai kepercayaanku pula.”
Sungguh, sebuah jawaban yang amat mengagetkan dan menakjubkan dari seorang kepala pembegal.
Suatu hari yang cerah, ketika kawan-kawan Fudhail sedang makan tiba-tiba mereka melihat rombongan para kafilah yang lain berjalan menuju kemah yang mereka diami. Mereka segera siapsiap untuk membegal. Tak ayal lagi, ketika para kafilah itu lewat di depan kemah mereka, mereka segera mencegat para kafilah dan merampas harta benda yang mereka bawa. Para kafilah itu segera menyerahkan harta bendanya karena ketakutan dan lari tunggang langgang. Namun, salah seorang dari para kafilah tersebut tampak seorang yang tegar dan tenang, lalu bertanya,
“Hai, siapa di antara kalian yang menjadi ketua pembegal?”
“Tidak ada tuan. Ketua kami sedang shalat di bawah pohon yang terletak di pinggir sungai.”
“Hah, sedang shalat?”
“Iya, ketua kami sedang shalat.”
“Tetapi sekarang ini belum waktunya untuk shalat”, kata lelaki itu heran.
“Ia sedang shalat sunnat.” Jawab salah seorang pembegal
“Kenapa ia tidak makan bersama-sama kalian?”
“Ia sedang berpuasa”
“Tetapi sekarang ini kan bukan bulan Ramadhan?”
“Ia sedang puasa sunnat.”
Lelaki itu pun meninggalkan kawanan pembegal dan menuju tempat di mana Fudhail sedang shalat. Alanglah herannya ia ketika menghampiri Fudhail yang sedang shalat dengan sangat khusyu‟. Ia pun menunggu Fudhail selesai shalat. Setelah selesai shalat, ia pun berkata kepada Fudhail,
“Ada sebuah kaidah ushul fiqh, bahwa hal-hal yang bertentangan tidak dapat dipersatukan. Maka bagaimanakah mungkin orang berpuasa, merampok, shalat dan membunuh orang pada waktu yang bersamaan?”
“Apakah engkau memahami Al-Quran?” Tanya Fudhail.
“Ya, jawab lelaki itu.”
“Tidakkah Allah Yang Maha Kuasa berfirman, “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima Taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Lelaki itu terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa.
Suatu hari, Fudhail meninggalkan kemah untuk mencari angin segar. Di tengah perjalanan tiba-tiba ia melihat seorang wanita cantik yang menggetarkan hatinya. Ia pun berkenalan dengan wanita itu, dan wanita itu pun menyambut cintanya. Ia pun kembali ke kemahnya. Hari-hari dan malam-malamnya ia habiskan dengan melukis kecantikan si wanita itu. Setiap kali ia mendapat harta rampasan, ia pun menghadiahkannya kepada wanita itu.
Suatu malam, hasratnya kepada si wanita itu tak terbendung. Ia memanjat rumah kekasihnya itu. Tiba-tiba lewatlah sebuah kafilah dan di antara mereka ada yang sedang menyenandungkan ayatayat Al-Quran,
Alam ya‟ni lilladzina amanu
An takhsya‟a qulubuhum lidzikrillah
(belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah?)
Tubuh Fudhail berguncang hebat, hatinya bergetar dahsyat. Ayat itu benar-benar bagaikan anak panah menembus jantungnya, seolah sebuah tantangan yang berseru kepadanya, ”Wahai Fudhail, berapa lama lagikah engkau membegal para kaflah? Telah tiba saatnya kami akan membegalmu!”
Fudhail terjatuh dan berseru, “Memang telah tiba saatnya, bahkan hampir terlambat.”
Fudhail merasa bingung dan malu. Ia berlari ke arah sebuah puing. Ternyata di situ sedang ber-kemah sebuah kafilah. Salah seorang di antara para kafilah berkata,
“Marilah kita melanjutkan perjalanan!”
“Tidak mungkin. Fudhail sedang menanti dan akan menghadang kita.” bantah salah seorang di antara mereka.
Mendengar pembicaraan itu Fudhail berseru, “Berita gembira! Fudhail telah bertaubat.”
Setelah berseru demikian Fudhail pun pergi. Sepanjang hari ia berjalan sambil menangis. Akhirnya ia tumbuh menjadi seorang yang taat.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#One_Hour_Awardness
#Sepanjang_Hari_Ia_Menangis