SOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM DALAM DINAMIKA GLOBALISASI DI SUMATERA BARAT

(Oleh: Robi Alhamda, Mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan Islam, UIN SMDD Bukittinggi)

Arus Globalisasi dan Wajah Baru Pendidikan Islam

Globalisasi kini hadir bukan hanya sebagai kemajuan teknologi, tetapi juga sebagai kekuatan sosial yang mengubah cara kita berpikir, berinteraksi, dan belajar. Dunia menjadi terbuka tanpa batas. Semua orang bisa mengakses pengetahuan dengan cepat melalui internet dan media digital. Namun di balik kemudahan itu, ada dampak besar yang dirasakan oleh dunia pendidikan Islam — terutama di daerah yang memiliki akar budaya dan keagamaan kuat seperti Sumatera Barat.

Sebagai masyarakat yang berpegang pada falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, orang Minangkabau memiliki sistem nilai yang kokoh. Pendidikan bukan sekadar proses akademik, tetapi bagian dari pembentukan karakter sosial dan moral. Akan tetapi, arus globalisasi perlahan mulai mengguncang tatanan itu.

Budaya instan, individualisme, dan gaya hidup konsumtif yang masuk melalui media sosial kerap menggeser nilai-nilai tradisi yang menjunjung kesederhanaan dan kebersamaan. Surau yang dulu menjadi pusat pendidikan dan pembinaan akhlak, kini mulai kehilangan peran sentralnya di tengah pesatnya kehidupan modern.

Pendidikan Islam di Tengah Perubahan Sosial

Dalam pandangan saya sebagai mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam, fenomena ini tidak bisa hanya dilihat dari sisi moral atau agama semata, tetapi juga melalui kacamata sosiologi pendidikan. Pendidikan Islam adalah bagian dari sistem sosial; ia tumbuh dan bergerak mengikuti perubahan masyarakat. Ketika masyarakat berubah karena globalisasi, pendidikan pun harus menyesuaikan diri — tanpa kehilangan nilai dasarnya.

Banyak sekolah dan madrasah di Sumatera Barat kini mulai melakukan digitalisasi pembelajaran, memanfaatkan media online, dan membuka ruang kolaborasi lintas daerah. Ini langkah maju. Namun, saya melihat bahwa transformasi teknologi belum sepenuhnya diimbangi dengan transformasi nilai. Kita masih sibuk mengejar aspek teknis, sementara pembentukan karakter dan moral kadang terabaikan.

Dalam hal ini, saya berpendapat bahwa pendidikan Islam di Sumatera Barat seharusnya tidak hanya adaptif terhadap globalisasi, tetapi juga kritis terhadap dampaknya. Pendidikan harus menjadi filter moral, bukan sekadar jembatan teknologi. Guru bukan hanya fasilitator belajar, tetapi juga penjaga nilai (value keeper) di tengah arus global yang serba cepat dan tanpa batas.

Tantangan dan Tanggung Jawab Sosial Lembaga Pendidikan

Tantangan terbesar dunia pendidikan Islam saat ini bukanlah kurangnya fasilitas, tetapi hilangnya fungsi sosial pendidikan. Banyak lembaga pendidikan terlalu fokus pada pencapaian akademik dan administrasi, sementara fungsi sosial — seperti pembinaan karakter, etika sosial, dan solidaritas umat — kurang diperhatikan.

Padahal, menurut Emile Durkheim, pendidikan adalah cara masyarakat mempertahankan nilai dan keteraturan sosialnya. Ketika lembaga pendidikan kehilangan ruh sosial, maka masyarakat akan mengalami kekosongan nilai.
Saya percaya bahwa lembaga pendidikan Islam di Sumatera Barat punya tanggung jawab sosial yang lebih besar. Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali semangat surau modern: tempat ilmu dan akhlak tumbuh bersama. Pendidikan Islam harus mampu menanamkan kesadaran bahwa modernisasi bukan berarti meninggalkan nilai-nilai adat dan agama, tetapi justru memperkuatnya agar relevan dengan zaman.

Revitalisasi Nilai ABS-SBK dalam Pendidikan

Sebagai orang Minangkabau, saya melihat bahwa falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) bukan sekadar semboyan budaya, melainkan model pendidikan karakter yang sangat kontekstual. Prinsip ini menegaskan bahwa pendidikan harus berlandaskan pada nilai agama (syarak), namun tetap menghargai budaya lokal (adat).

Dalam konteks globalisasi, falsafah ini bisa menjadi benteng moral sekaligus sumber inspirasi dalam manajemen pendidikan Islam.

Misalnya, sekolah dan madrasah dapat mengintegrasikan pelajaran budaya lokal ke dalam pendidikan karakter; guru dapat mencontohkan nilai-nilai gotong royong, sopan santun, dan tanggung jawab sosial sebagai bagian dari kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Sementara pemerintah daerah dan kampus Islam dapat memperkuat pelatihan literasi digital yang beretika dan berbasis nilai-nilai Islam.

Saya meyakini bahwa modernisasi pendidikan tidak harus mengorbankan akar budaya. Justru, pendidikan yang berakar kuat pada budaya dan agama akan lebih siap menghadapi globalisasi. Pendidikan Islam di Sumatera Barat bisa menjadi model nasional tentang bagaimana nilai lokal berpadu dengan tantangan global.

Bagi saya, pendidikan Islam di Sumatera Barat memiliki dua misi besar: menjadi pusat penguatan nilai di tengah arus globalisasi dan menjadi agen perubahan sosial yang menjaga jati diri bangsa.

Jika lembaga pendidikan Islam mampu mengelola perubahan ini dengan visi sosial dan spiritual yang jelas, maka generasi muda Minangkabau tidak hanya akan cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat dalam iman, santun dalam perilaku, dan teguh dalam identitas.

Karena pada akhirnya, pendidikan Islam bukan sekadar tentang apa yang kita pelajari, tapi tentang siapa kita menjadi — manusia berilmu yang berakhlak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *