Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, Hajaj bin Yusuf diamanahkan untuk menjadi Wakil Gubernur Bagdad, Irak. Namun pada waktu itu orang yang membela kebenaran dianggap ingkar. Mencegah kezaliman berarti pemberontak dan mengungkapkan perasaan disebut pengkhianat. Said bin Jubair, adalah salah seorang ulama pada masa itu yang mendapatkan cap semua itu. Mengapa demikian? Marilah kita ikuti kisah hari-hari terakhir beliau ketika menemui Tuhannya.
Setelah beberapa hari dalam pencarian, akhirnya Said bin Jubair dapat ditemukan dan dibawa ke Bagdad untuk dihadapkan kepada wali yang zalim. Setiba di istana terjadilah dialog antara Said bin Jubair dan Hajjaj bin Yusuf.
“Siapa nama Anda?” tanya Hajjaj.
“Said bin Jubair.” Jawab Said.
“Tidak, nama Anda yang layak adalah Syaqiq bin Kusair.2 Hardik sang wakil gubernur.
Mendengar demikian, dengan tegas Said berkata, “Yang memberi nama adalah orang tuaku, bukan Anda. Anda tidak berhak mengubahnya.”
Belum lagi Said selesai bicara, tiba-tiba Hajjaj menyelanya, “Celakalah kau dan ibu bapakmu yang memberi nama seperti itu.”
Said membantah, “Anda tidak dapat mencela seperti itu. Hanya Allah Yang Maha Kuasa.”
Hajjaj marah lalu berkata, “Diam! Jangan banyak bicara. Saya akan kirim kamu ke neraka.”
Said menyahut, “Jika saya tahu bahwa Anda berkuasa menentukan tempatku di akhirat, tentu sejak dari dulu saya menyembah Anda.”
“Bagaimana pendapatmu tentang Ali bin Abi Thalib?” tanya
Hajjaj.
“Kalau saya pernah masuk surga atau neraka, tentu saya katakan kepada Anda siapa saja yang saya lihat di dalamnya.” Jawab Said tegas.
“Bagaimana pendapatmu tentang khalifah-khalifah lainnya?”
“Bukan tugasku menyelidiki amalan-amalan mereka.”
“Siapa di antara mereka yang kamu sukai?”
“Yang paling tunduk kepada Allah?” Hanya Allah lah yang Maha
Mengetahui.”
“Mengapa kamu tidak pernah tertwawa?”
“Hati kita tidak sama.”
Syaqiq bin Kusair berarti: si celaka anak si pecah
Hajjaj menyuruh salah seorang prajuritnya untuk mengeluarkan permata yang mahal-mahal, seperti nilam dan mutiara untuk diletakkan di hadapan Said. Melihat sikap buruk demikian Said berkata, “Tidak ada gunanya Anda membanggakan harta karena harta itu tidak akan menyelamatkan dirimu Anda dari dahsyatnya hari kiamat.”
Hajjaj makin penasaran. Lalu diperintahkannya lagi beberapa bawahannya untuk membawa alat-alat musik dan memainkannya di hadapan Said. Namun, ia tetap tidak bergeming. Melihat hal itu Hajjaj menjadi emosi. Dengan penuh kemarahan ia berkata, “Katakan, dengan cara apa saya harus membunuh kamu?”
Dengan nada tenang Said menjawab, “Terserah Anda. Dengan cara apa saja, yang jelas Anda akan me-nerima balasan yang lebih pedih di akhirat nanti.”
Setelah berpikir sejenak, lalu Hajjaj mulai membujuk seraya berkata,
“Apakah kamu sudi meminta grasi? Saya bersedia memberimu ampunan.”
“Saya hanya mau meminta ampunan kepada Allah, tidak kepada Anda.”
Kesal karena tidak berhasil membujuk Said, akhirnya Hajjaj memanggil para pengawalnya seraya berkata, “Bawa dan bunuh dia!”
Para pengawal dnegan sigap memenuhi titah Hajjaj. Namun, sewaktu mendekati pintu, Said tersenyum. Seorang pengawal memberitahukan hal tersebut kepada Hajjaj. Ia pun dipanggil kembali dan ditanya,
“Mengapa kamu tersenyum?”
“Saya tersenyum karena melihat Anda berani melawan Allah.”
Para sibuk menyiapkan natha‟, hamparan kulit kerbau yang biasa digunakan untuk menampung darah dan bangkai orang yang dihukum pancung di hadapan khalayak ramai. Ketika itu Hajjaj berseru, “Cepat bunuh dia.”
Said dipegang kuat-kuat, namun ia tidak melawan, malahan dengan tenang ia hadapkan wajahnya ke langit, sedangkan bibirnya tidak henti-hentinya menyebut Asma Allah. Melihat demikian, Hajjaj semakin geram, lalu berkata,
“Tundukkan dan tekan kepalanya.”
Said tidak peduli dengan ocehan Hajjaj. Dengan penuh kesungguhan ia berucap,
“Aku hadapkan wajahku kepada yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh keikhlasan dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.”
Setelah itu Said memalingkan wajahnya ke arah kiblat, tapi Hajjaj menyuruh para pengawal untuk memutar wajahnya sehingga membelakangi kiblat. Kendati demikian, ia masih membaca ayat :
“…ke mana saja kamu menghadap di situlah wajah Allah…” (QS.Al-Baqarah: 115).
Hati Hajjaj semakin sakit karena siksaan batin yang dideritanya.
Lalu ia memerintahkan,
“Tekankan mukanya ke tanah.”
Mendengar demikian Said kembali membaca ayat,
“Darinya (tanah) Kami menciptakan kalian, dan padanya Kami mengembalikan kalian, dan daripada-nya (pula) Kami mengeluarkan (membangkitkan) kamu sekalian.” (QS.Thaha: 55)
Hajjaj bertambah kalap, lalu berseru, “Cepat potong lehernya!”
Seketika lehernya ditekan kuat-kuat. Pada detik-detik terakhir akan menghadap Allah, ia berdoa,
“Ya Allah, saya menjadi manusia terakhir yang dianiaya Hajjaj. Setelah hari ini janganlah Engkau beri kesempatan baginya untuk berbuat aniaya seperti ini kepada hamba-hamba-Mu yang lain.
Asyahdu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah.”
Pedang pun dengan cepat memotong lehernya. Berpisahlah kepala orang saleh sesudah 49 tahun lamanya membawa jiwa yang besar. Semua yang hadir sempat tercengang karena menyaksikan kepala Said terpisah dari badannya, namun masih sempat menyebut Asma Allah dengan senyuman yang mengejek dunia.
Beberapa hari kemudian, doa seorang Said dikabulkan Allah, Hajjaj semakin disiksa batinnya hingga mengalami penyakit jiwa. Tidak beberapa lama kemudian ia mati.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Energi_Cinta
#Sang_Ulama_Pecinta_Kebenaran