Reshuffle Kabinet, Menunggu Nyali Presiden Prabowo

Efriza, Dosen IImu Politik di Berbagai Kampus dan Owner Penerbitan/Dok. Pribadi
Efriza, Dosen IImu Politik di Berbagai Kampus dan Owner Penerbitan/Dok. Pribadi

Oleh: Efriza|Dosen IImu Politik di Berbagai Kampus dan Owner Penerbitan

Matarakyat24.com –RESHUFFLE Kabinet meskipun hak prerogatif Presiden tetapi bukan hal mudah. Walaupun situasi politik di masyarakat riuh-rendah oleh pernyataan, perilaku, dan kebijakan dari menteri-menteri kabinet merah-putih yang bikin masyarakat mengelus dada sekaligus mengerutkan dahi.

Namun rasanya pilihan reshuffle kabinet bukan sekadar catatan menteri terkait memperoleh rapor merah oleh publik, tetapi melakukan reshuffle kabinet juga berkenaan dengan keberanian atau nyali dari seorang Presiden.

Hashim Djojohadikusumo sebagai adik sekaligus orang yang dipercaya oleh Presiden Prabowo sempat menyatakan pasca pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo akan melakukan evaluasi terhadap kinerja menteri-menterinya di kabinet selama enam bulan.

Prabowo juga disampaikannya sebagai sosok orang yang tegas, tetapi sayangnya pernyataan dari Hashim terhadap Presiden Prabowo tak disampaikannya apakah evaluasi ini akan berujung kepada reshuffle kabinet sebagai dasar solusi untuk menggerakkan kembali kinerja kabinet yang tersendat karena permasalahan dari kinerja menteri tersebut.

Harus diakui menjelang 100 hari kerja Kabinet Merah Putih banyak permasalahan yang terjadi dari beberapa menterinya, akibat komentar politiknya, kebijakannya, maupun tampak di permukaan visi-misi Presiden Prabowo yang tak bisa dilakukan dengan tegak lurus oleh menteri terkait.

Tulisan ini ingin mengulas situasi politik yang dapat mendorong terjadinya reshuffle kabinet hanya menunggu nyali Prabowo saja.

Kabinet IMerah Putih/Gfx Ist
Kabinet IMerah Putih/Gfx Ist

Kabinet Obesitas dan Tak Sehat
Presiden Prabowo tak bisa mengabaikan keterpilihan dirinya sebagai presiden setelah ketiga kalinya mengikuti Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) tak bisa dilepaskan dari bantuan banyak orang, relawan, maupun partai politik yang telah berjasa kepada dirinya, bahkan juga berkat bantuan dari “cawe-cawe” Presiden sebelumnya yakni Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo juga merangkul partai politik yang lolos di parlemen, kecuali PDIP. Namun saat ini, memungkinkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bergabung bersama di pemerintahan.

Wajar, jika Kabinet Merah Putih ketika dibentuk oleh Prabowo bersifat obesitas, bahkan dapat dianggap kabinet yang tak sehat. Sebab, pilihan yang tak bisa diabaikan adalah membagi kursi-kursi kabinet kepada orang-orang yang telah berjasa kepada dirinya, dan juga merangkul sekaligus memberikan kursi kepada partai-partai politik yang awalnya rival dan mendukung pemerintahannya kecuali kepada Nasdem semata.

Konsekuensi, meski dilakukan berbagai acara seremonial yang menjelaskan visi-misi, menjelaskan apa yang harus dikerjakan sebagai menteri terpilih, bahkan memberikan pemahaman akan integritas sekalipun, tak akan bisa diabaikan kenyataannya Menteri menterinya tak bisa menterjemahkan keinginan dan visi-misi pemerintahan yang diiinginkan oleh Prabowo sebagai presiden.

Konsekuensi yang juga harus diterima oleh Publik adalah memungkinkan kenyataannya Presiden Prabowo tak akan berani bersikap tegas dalam jangka pendek untuk melakukan reshuffle kabinet. Sebab, Prabowo tak bisa mengabaikan fakta terkait kabinet merah putih adalah kabinet “balas budi.” Orang-orang yang dipercaya sebagai menteri, wakil menteri, staf khusus presiden, maupun yang berada di kantor staf presiden, dalam persentase jumlah besar adalah mereka yang punya pengaruh dan berjasa besar terhadap keterpilihan Prabowo sebagai presiden.

Bahkan, konsekuensi politik merangkul lawan politik juga harus diterima oleh Presiden Prabowo. Sebab terungkap dengan jelas dalam hasil Survei Kepuasan Masyarakat terhadap kinerja Pemerintahan Prabowo menuju 100 hari, meski kepuasan masyarakat tinggi sebesar 80,9 persen, tetapi partai-partai politik yang awalnya berseberangan dengan Prabowo di Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) dengan gamblang terungkap kader-kadernya menyatakan ketidakpuasan terhadap kinerja Prabowo, secara berurutan sebagai berikut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebesar 50 persen, lalu posisi kedua PDIP yang saat ini diluar pemerintahan, kemudian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nasdem, dan Partai Demokrat.

Komentar dan Perilaku Menyimpang
Komentar, kebijakan, dan perilaku menyimpang telah diperlihatkan oleh para menteri-menteri Prabowo dihadapan publik. Perilaku kontroversi seperti, Kasus Yandri Susanto sebagai Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal yang dengan nyeleneh menyelenggarakan peringatan Haul ibunya dengan menggunakan kop surat kementerian untuk undangan kepala desa yang kemudian menyatakan tindakannya sebagai masalah administrasi semata dan lalu meminta maaf karena ketidaktahuannya.

Kemudian, komentar politik, dan perilaku yang kontroversi mencuat di publik, seperti mulai dari soal Peristiwa 1998 yang dinarasikan bukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, pertmintaan anggaran kementerian yang luar biasa tidak masuk akal sebesar Rp20 Triliun, pelantikan Militer Aktif di Sekretaris Kabinet yang melanggar Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang disebut menjadi “noda awal reformasi TNI,” bahkan kontroversi komentar tak terpuji dari Gus Miftah sebagai posisi Utusan Khusus Presiden hingga membuat dirinya mengundurkan diri dari jabatannya.

Terbaru adalah kasus kontroversi, pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang menyarankan masyarakat beralih ke asuransi swasta karena Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tak bisa meng-cover semua penyakit.

Alasan yang digunakan Menteri Kesehatan kecilnya iuran BPJS Kesehatan. Pernyataan ini menyiratkan banyak hal dipikiran publik: pertama, memungkinkan keinginan pemerintah menaikan iuran BPJS; kedua, BPJS Kesehatan sebaiknya tak lagi jadi prioritas sehingga prioritas asuransi kesehatan masyarakat sebaiknya kembali ke pihak swasta; ketiga, jika BPJS Kesehatan mulai digeser untuk tak dijadikan prioritas memungkinkan program BPJS tidak lagi dilanjutkan oleh pemerintah ke depannya, artinya soal kesehatan bukan lagi prioritas dari pemerintah; dan keempat, komentar politik nyeleneh Menteri Kesehatan memungkinkan pergeseran visi-misi Presiden Prabowo yang sebelumnya disampaikannya akan melanjutkan program-program kerja dari Presiden sebelumnya Jokowi.

Kemudian, Kasus Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Menteri Dikti dan Saintek), yang didemo oleh Pegawainya karena dianggap bertindak arogan, kasar, dan tidak sesuai prosedur hukum dalam memimpin kementerian. Kasus ini mencuat beberapa hari ini, diyakini akan segera merembes ke Istana, agar Presiden Prabowo mengambil sikap terhadap menterinya yang dalam bahasa sarkas telah bertindak sewenang-wenang dan tidak becus dalam memimpin kementeriannya.

Menagih Janji dan Nyali Presiden
Masyarakat saat ini tentu saja menunggu ketegasan dari sikap Prabowo sebagai Presiden, untuk membenahi kondisi politik dari kabinetnya yang seolah menunjukkan “ugal-ugalan” dalam berkomentar, dalam memproses kebijakan, maupun dalam berperilaku.

Sikap tegas Prabowo juga terkait dengan janji-janji politiknya yang mengedepankan kesejahteraan masyarakat tetapi nyatanya masyarakat saat ini mengalami kondisi ekonomi yang membengkakkan pengeluaran biaya hidup karena kenaikan harga sembako yang menggila. Antara Pendapatan dan Pengeluaran masyarakat tidak seimbang sehingga kondisi ekonomi ini tentu saja perlu merembes ke Istana untuk mengatasi kondisi ekonomi negara yang sedang tidak baik-baik saja.

Prabowo tidak bisa menganggap kepuasan masyarakat sebesar 80,9 persen, membuat kabinet merah-putih tidak perlu adanya evaluasi. Apalagi jika Prabowo menunggu momentum enam bulan nanti saja evaluasi akan dilakukan, sebab jika Prabowo sebagai Presiden memilih bersikap pasif maupun mendiamkan, ini akan hadir di benak publik bahwa Prabowo adalah Presiden yang tidak berani bersikap tegas, Prabowo tidak punya nyali.

Bahkan, memungkinkan Prabowo akan dianggap ia tak berani bersikap tegas, tak punya nyali, karena politik “hutang budi” sehingga hak prerogatif Presiden sudah tergadaikan. Ini memang konsekuensi politik yang harus dihadapi Prabowo ketika pemerintahan dijalankan dengan pola bagi-bagi kursi gratis dengan dasar politik balas budi.(Red-1)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *