Jakarta — Forum Diskusi Publik bertajuk “Ruang Digital Anak Aman dan Sehat” yang digelar Jumat (19/9) menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain Farah Puteri Nahlia (Anggota Komisi I DPR RI), Dr. Rulli Nasrullah, M.Si. (praktisi kehumasan dan pakar budaya digital), serta Yanto, Ph.D. (pegiat literasi digital).
Dalam paparannya, Farah Puteri Nahlia menegaskan bahwa Indonesia saat ini berada di peringkat keempat dunia dengan jumlah pengguna internet terbanyak, lebih dari 221 juta jiwa per 2023. Mayoritas pengguna adalah generasi muda, termasuk milenial. Namun, pemanfaatan ruang digital belum optimal. “Survei APJII 2023 mencatat 77 persen pengguna internet lebih banyak mengakses hiburan dan media sosial. Penggunaan untuk pendidikan dan pengembangan diri masih minim,” ujarnya.
Farah menekankan pentingnya literasi digital untuk mengubah milenial dari sekadar konsumen menjadi produsen konten berkualitas. Ia juga menyoroti bahaya hoaks yang kian marak, dengan lebih dari 11 ribu kasus terdeteksi pada 2023, serta isu kesenjangan digital di wilayah 3T yang masih membatasi akses sebagian masyarakat.
Sementara itu, Dr. Rulli Nasrullah memandang ruang digital sebagai ekosistem baru yang membentuk perilaku, budaya, bahkan reputasi publik. “Di era digital, reputasi terbentuk secara real-time. Jejak digital adalah portofolio publik yang harus dikelola dengan cermat,” jelasnya. Ia menyoroti tren konsumsi video yang mendominasi internet global serta pentingnya storytelling dalam membangun citra dan kepercayaan.
Rulli juga mengingatkan soal ancaman keamanan data pribadi dan kebocoran informasi, sekaligus menekankan bahwa milenial perlu menghadirkan kearifan lokal dan narasi kebangsaan di ruang digital agar tidak tercerabut dari akar budaya. “Digital bukan sekadar tren, melainkan alat untuk memperkuat identitas bangsa,” tambahnya.
Adapun Yanto, Ph.D. menyoroti realitas penggunaan internet di Indonesia yang sudah tembus 220 juta pengguna pada 2025, dengan rata-rata 5,7 jam per hari dihabiskan di ponsel. Sayangnya, sebagian besar waktu tersedot pada hiburan, bukan produktivitas. Ia juga mengingatkan dampak negatif seperti kejahatan siber, kesehatan fisik akibat screen time berlebih, hingga fenomena sosial seperti phubbing dan flexing.
“Generasi milenial harus siap menghadapi disrupsi digital. Banyak pekerjaan lama akan hilang, tetapi lapangan kerja baru lahir di sektor teknologi, kreatif, dan ekonomi digital. Ini menuntut kombinasi hard skill dan soft skill, termasuk etika digital,” tegas Yanto.
Ketiga narasumber sepakat bahwa pemanfaatan digital tidak bisa dilepaskan dari nilai, etika, dan budaya. Milenial memiliki potensi besar menjadi motor penggerak budaya digital sehat, tetapi perlu dukungan ekosistem dari pemerintah, dunia usaha, akademisi, hingga komunitas.
“Dunia digital menawarkan peluang sekaligus ancaman. Dengan literasi, etika, dan kolaborasi, milenial bisa membawa Indonesia tidak hanya sebagai konsumen, tetapi juga produsen yang berdaya saing di kancah global,” demikian kesimpulan diskusi.