Jakarta, 22 Oktober 2025 — Dalam upaya memperkuat perlindungan dan literasi digital anak di era informasi, digelar Forum Diskusi Publik bertema “Membangun Ruang Digital Anak Aman dan Sehat: Literasi Media dan Komunikasi Publik untuk Generasi Indonesia Emas” pada Rabu (22/10).
Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber utama: Elnino M. Husein Mohi, S.T., M.Si. (Anggota Komisi I DPR RI), Donny BU (Advisor ICT Watch/Ketua Umum Siberkreasi), dan N. Syamsu Panna, S.Kom. (Pegiat Literasi Digital).
Dalam pemaparannya, Elnino M. Husein Mohi menegaskan bahwa membangun ruang digital yang aman bagi anak bukan hanya soal teknologi, melainkan bagian dari strategi kebangsaan menuju Generasi Indonesia Emas 2045.
“Generasi yang hari ini menghabiskan waktu di depan layar akan menjadi pemimpin dan inovator masa depan. Maka, kita harus memastikan ruang digital tempat mereka tumbuh adalah ruang yang aman, sehat, dan mendidik,” ujar Elnino.
Ia mengungkapkan bahwa lebih dari 30 juta anak di Indonesia merupakan pengguna aktif internet. Namun, tingkat literasi digital mereka masih tergolong rendah. Berdasarkan Indeks Literasi Digital Nasional 2023, skor rata-rata nasional baru mencapai 3,65 dari skala 5, dengan aspek etika digital dan keamanan digital menjadi yang paling lemah.
Elnino menekankan pentingnya literasi media dan komunikasi publik yang membekali anak untuk berpikir kritis terhadap konten yang mereka konsumsi. “Kita harus menggeser paradigma dari ‘melindungi anak dari internet’ menjadi ‘membekali anak untuk hidup di internet’,” tambahnya.
Ia juga menyoroti peran orang tua dan guru yang kerap gagap digital. Survei Kominfo 2022 menunjukkan 47% orang tua belum memahami fitur kontrol parental di perangkat anaknya. “Karena itu, literasi digital tidak hanya untuk anak, tetapi juga untuk ekosistem di sekitarnya,” tegasnya.
Sementara itu, Donny BU, selaku Ketua Umum Siberkreasi dan Advisor ICT Watch, menjelaskan bahwa literasi digital menjadi fondasi utama dalam membangun ruang digital yang aman bagi anak.
“Ruang digital bukanlah ruang yang terjadi secara alami. Ia harus dibangun dengan kesadaran, kebijakan, dan partisipasi semua pihak,” ujarnya.
Menurut Donny, 79% populasi Indonesia telah terhubung ke internet, dengan sekitar 30% pengguna aktif berusia di bawah 18 tahun. Namun, tingginya akses ini belum diimbangi dengan perlindungan dan literasi digital yang memadai.
Survei UNICEF menunjukkan lebih dari 60% anak pengguna internet di Indonesia pernah mengalami kekerasan verbal atau perundungan daring, sementara sebagian besar tidak tahu bagaimana melapor atau melindungi diri.
“Literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan gawai, tapi kemampuan berpikir kritis, mengenali informasi palsu, melindungi data pribadi, dan beretika di ruang maya,” jelas Donny.
Ia juga menekankan bahwa sekolah dan keluarga harus menjadi dua pilar utama pendampingan digital. Kurikulum Merdeka memberi ruang bagi pembelajaran berbasis literasi digital, tetapi menurutnya, banyak sekolah yang belum siap secara sumber daya dan kapasitas guru.
Selain itu, ia menyoroti tanggung jawab media dan platform digital dalam membentuk ekosistem yang aman. “Kita tidak bisa menyerahkan moral anak-anak kita pada algoritma yang hanya mengejar klik dan tayangan,” tegasnya.
Menurut Donny, membangun ruang digital anak yang sehat juga berarti menumbuhkan budaya komunikasi publik yang santun, menghargai perbedaan, dan menjunjung empati. “Generasi digital yang unggul adalah generasi yang tidak hanya cerdas teknologi, tetapi juga berkarakter dan beretika,” pungkasnya.
Sebagai pegiat literasi digital, N. Syamsu Panna, S.Kom. menyoroti fenomena digital parenting gap antara anak dan orang tua.
“Banyak orang tua yang belum memahami cara mengawasi aktivitas digital anak, sementara anak-anak mereka sudah mahir membuat dan menyebarkan konten,” ujarnya.
Berdasarkan data We Are Social 2024, 80% anak usia 10–17 tahun di Indonesia sudah terkoneksi ke internet, namun masih banyak yang belum memahami prinsip keamanan dan etika digital.
Ia menjelaskan bahwa gerakan literasi digital nasional yang digagas Siberkreasi bersama Kominfo berfokus pada empat pilar utama: etika digital, budaya digital, kecakapan digital, dan keamanan digital. Melalui program seperti Digital Parenting dan Sahabat Siberkreasi Anak, ribuan guru dan orang tua telah dilatih untuk mendampingi anak secara positif di ruang digital.
“Tujuan kita bukan melarang anak bermain internet, tapi memastikan mereka tangguh dan bijak di dunia maya,” jelas Syamsu.
Ia juga menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor — pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, dan industri — dalam mewujudkan ruang digital yang aman. Platform digital perlu menerapkan prinsip safety by design dan melindungi anak dari eksploitasi ekonomi maupun tekanan psikologis.












