Kepala Daerah Dipilih DPRD Wacana yang Baik?

Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan/Dok.Pribadi
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan/Dok.Pribadi

Oleh: Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

Matarakyat24.com –Prabowo pernah mengatakan akan kembali kepada UUD 1945, salah satunya adalah mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD sebagai wakil rakyat. Dalam kondisi saat ini, apakah bisa diterima jika pilkada dilakukan lagi oleh DPRD ?

Pilkada oleh DPRD tentu tak bisa diterima saat ini. Pilkada oleh Rakyat saja permasalahan tentang demokratis dalam pelaksanaannya masih menjadi perdebatan. Pilkada sekadar terwujudnya demokrasi prosedural semata, apalagi jika dipilih oleh DPRD semakin menjauh dari upaya mewujudkan demokrasi substansial.

Pilkada oleh DPRD sudah pernah dicoba dihadirkan dalam undang-undang di era akhir periode SBY, tetapi ketika Jokowi awal menjabat tahun 2014 lalu akhirnya aturan itu di revisi, ini artinya masyarakat dan elite-elite politik masih berharap akan pilkada langsung yang diterapkan.

Pilkada lewat DPRD diyakini bisa lebih kisruh antar partai-partai politik, bahkan pilkada DPRD ditenggarai hanya untuk kepentingan politik penguasa saja dan menguntungkan partai penguasa saja yakni Gerindra. Jadi yang diwujudkan dalam demokrasi malah mengabaikan kepentingan rakyat diganti untuk kepentingan partai politik dan penguasa politik semata.

Contoh nyata Pilkada 2024 ini jelas sekali rakyat diabaikan malah terlihat konflik antar partai-partai politik dengan adanya upaya menyingkirkan partai PDIP yang dilakukan oleh Penguasa Politik. Akhirnya Putusan 60/2024 dari MK menghasilkan Pilkada demokratis di Indonesia yang memberikan keleluasaan kepada partai-partai politik lainnya, karena terjadi penurunan angka ambang batas di Pilkada.

Pilkada 2024 ini sudah demokratis ini terwujud karena putusan MK, jika Presiden Prabowo berupaya merevisi undang-undang untuk pengaturan Pilkada melalui DPRD, maka Prabowo harus bersiap menjadi presiden tidak demokratis, ia harus siap menerima feedback berupa hujatan dan kekecewaan dari masyarakat, bahkan gelombang demonstrasi pertama terhadap kepemimpinan akan terjadi.

Memungkinkan pula narasi mengembalikan Pilkada melalui DPRD, akan ada narasi kepada Istana bahwa ini karena kekalahan KIM Plus di Jakarta. Sehingga secara tersembunyi, Penguasa Politik menyadari dan merasakan upayanya mendesain koalisi dan kemenangan di seluruh pulau Jawa telah gagal, maka Penguasa Politik bukannya mengakui Pilkada 2024 adalah pemilu demokratis yang berhasil, tetapi malah diupayakan disingkirkan dengan diganti oleh wacana Pilkada melalui DPRD.

Soal anggaran Pemilu yang besar jadi dasar narasi Prabowo lalu dihadirkan Pilkada di pilih DPRD, permasalahannya anggaran mana yang bengkak penyelenggaraan Pilkadanya kah atau anggaran bargain politik dan logistik dalam proses berkoalisinya. Sebab, sejatinya anggaran besar adalah hal wajar dalam penyelenggaraan karena kita negara yang begitu luas secara geografis, apalagi karena ini bicara demokrasi perwakilan hal mana pemimpin dan kebijakannya yang dipilih oleh rakyat, pemilu adalah legitimasi atau pengakuan dasarnya dari rakyat.

Jika malah rakyat tidak dilibatkan dalam memilih pemimpin dan kebijakan yang ditawarkan, maka ini malah menunjukkan kita mengabaikan kehadiran masyarakat dengan ingin mewujudkan pemerintahan bersifat tertutup bahkan berwatak otoriter ke depannya.

Jangan sampai pula narasi menghilangkan pilkada, sebuah misi tersembunyi yang patut dicurigai dari penguasa politik agar sistem politik di negara ini bersifat sentralistik dengan perlahan-lahan menghilangkan nilai demokrasi lalu pengabaian desentralisasi dan otonomi daerah. Ujungnya dapat menghadirkan penguasa politkk otoriter.

Jika soal anggaran besar pemilu lebih baik untuk kepentingan rakyat, apakah nanti kepala daerah yang tidak dipilih oleh rakyat dan kebijakannya tidak dipahami oleh rakyat, diyakini akan bekerja untuk mensejahterakan masyarakat dengan penyerapan anggaran dari pemilu tersebut. Malah memungkinkan terjadinya pengabaian masyarakat.

Jika untuk efisiensi anggaran semestinya dihadirkan terobosan menambah pundi anggaran pendapatan negara melalui kebijakan publik, bukan malah menghilangkan demokrasi perwakilan. Jadi gagasan itu, dengan komparasi yang disampaikan sejatinya tidak sehat untuk demokrasi yang sedang bertumbuh dengan baik di negeri ini.(*)

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *