Intensionalitas Konstitusi Puan Maharani

Matarakyat24.com, Jakarta – Pada hakikatnya merupakan kesatuan dari keberadaan potensial. Pada suatu diri, kita dapat mengidentifikasikan beragam karakteristik yang termanifestasikan dari laku dan pikiran manusia yang senantiasa baik secara sadar.
Berdasarkan pelajaran dan pengalamannya sendiri, mencari dan mendapat jalan untuk mengerti dunia dalam soal yang masih gelap, menguasai dan mengatasi persoalannya untuk kelestarian hidup, karena tidaklah diketahui dan sekiranya dapat melihat bahwa manusia itu sejarah berjalan, berusaha dan bertindak untuk dapat mengatasi kekeruhan masyarakatnya.

Internasional Konstitusi

Konstitusi dalam sebuah masyarakat menjadi motor penggerak masyarakat dalam berfikir dan bertindak. Konstitusi membawa “arus kesadaran” sebuah masyarakat yang Menurut Campbell merupakan fenomena batiniah masyarakat digerakkan oleh rasionalisasi dan pengalaman terhadap apa yang dilihat, di dengar dan diikuti. Konstitusi diberikan dalam bentuk aturan tertulis dalam sebuh negara membawa masyarakat pada sifat intensional.
Jelas, bahwa penolakan dan penerimaan sebuah kontitusi baru terjadi berdasarkan arus kesadaran masyarakat terhadap keadaan yang kiranya menjadi relevan atau tidak terhadap konstitusi tersebut. Semua kesadaran adalah kesadaran akan sebuah obyek yang diterima, dan karena sebagain obyek tersebut merupakan suatu konstruksi batiniah yang mengarahkan perhatian masyarakat pada prasangka- prasangka yang dipasang melalui daya analisis terhadap kesadaran.
Undang-undang Cipta Kerja misalnya, yang tengah berada pada wacana penolakan dan berakhir pada wacana pencabutan oleh beberapa kalangan, memuat aktivitas-aktivitas intensionalitas konstitusi berfungsi mengkon konstitusikan obyek-obyek konstitusi yang kiranya keliru jika dipasangkan pada perkembangan negara yang belum siap bahkan tidak relevan dengan undang-undang Cipta Kerja. Hal ini melibatkan kedalaman kesadaran konseptual, moral, estetis dan religius masyarakat. Kesadaran adalah instrumen untuk memahami lebih jauh lebih jauh hubungan antara keadaan dan kehidupan sosialnya.

Ide Penolakan

Menurut Giddens, manusia selalu mempunyai ide tentang dunia sosialnya, tentang dirinya sendiri, tentang masa depannya, dan tentang kondisi kehidupannya. Seingat saya, penolakan terhadap Undang-undang cipta kerja merupakan penolakan yang berulang. Keterulangan tersebut merupakan tindakan sosial yang menunjukkan bahwa ada pola tetap yang berlaku, bukan saja sekali, melainkan berulang kali dalam lintas ruang dan waktu.

Resiko Jabatan

Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR RI menjadi undang-undang adalah keputusan refleksivitas jabatan seorang Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI yang terkenal karena sikap kontroversialnya saat rapat. Mulai Matikan Mic hingga pengesahan cipta kerja menjadi undang-undang menunjukkan suatu resiko jangka panjang. Menurut Giddens, “Gejala Penyingkiran subyek dalam struktural ini membawa varian implikasi seperti pengecaman dan ketidakpercayaan terhadap sebuah jabatan, dan rupanya dengan disahkannya RUU Cipta Kerja sebagai Undang-undang menjadi fakta ketidakpercayaan terhadap kapasitas sebuah jabatan terkhususnya Puan Maharani selaku Ketua DPR RI.

Puan Maharani bukan Perempuan

Objektivitas perlu dimasukan dalam kecaman dan penolakan terhadap Undang-undang cipta kerja. Kita melihat kebijakan itu bukan berdasarkan gender, melainkan jabatan yang dimiliki. Maka doktrin patriarki perlu dihilangkan. Dalam wilayah ini, ketukan palu Puan Maharani saat mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-undang bukan ketukan palu seorang perempuan, melainkan ketukan palu seorang ketua DPR RI. Jikalau kita melihat kebijakan tersebut secara subjektif, maka yang dilihat adalah perjuangan perempuan untuk sampai pada tahap itu. Bagi seorang Filsuf Prancis, Simone de Beauvior, ia mengatakan bahwa “perjuangan perempuan merupakan perjuangan terlama dan tersulit berbeda perjuangan laki-laki”. Karenanya kebijakan Puan Maharani selaku Ketua DPR RI menunjukkan kelas perjuangan perempuan yang akan tetap bergulir seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan. Kita tidak bisa menolak fakta sosial bahwa banyak laki-laki yang ketika menempati jabatan strategis di negeri ini, seringkali mengambil kebijakan yang kontroversial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *