Cerpen “Tuhan Aku Pulang”- Mutiara Kasih

Karya Tulis : Mutiara Kasih

Tuhan, Aku Pulang
Namanya Amara. Sejak kecil, ia telah memahami bahwa Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Ia pun tahu bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya dalam keadaan apa pun—pemahaman ini sering ia bagikan kepada teman-temannya. Namun, ketika hidup membawanya ke jalan yang berliku, iman di hati Amara seakan terguncang, membuatnya terasa begitu sulit untuk kembali kepada Tuhannya.

Amara tumbuh menjadi sosok yang baik, setidaknya di mata orang lain. Akan tetapi, di balik semua itu, ada dosa yang selalu ia lakukan berulang kali, sebuah rahasia yang tak berani ia ceritakan kepada siapa pun. Dosa itulah yang menjauhkannya dari Tuhan; dosa yang terus ia ulangi, meski penyesalan tak pernah absen menghantuinya.

“Ya Allah, aku tahu ini salah…. Aku malu pada-Mu, ya Allah,” bisiknya suatu malam. “Meskipun aku tahu ini salah, tetapi aku tetap melakukannya.”
Ia melanjutkan dengan suara lirih. “Aku tahu Engkau melihatku saat aku bermaksiat, dan aku tahu Engkau mendengarku saat aku berjanji takkan mengulanginya lagi. Tapi, janji itu pulalah yang berkali-kali aku ingkari sendiri. Aku malu meminta ampunan-Mu. Aku takut Engkau tidak mau menerimaku lagi.” Tanpa disadari, air mata hangat membasahi pipinya.

Beberapa hari kemudian, Amara tak kunjung berubah. Ia justru mengulangi kesalahan yang sama, hal yang ia sesali pada malam itu. Amara ingin sekali berubah, tetapi entah mengapa, ia selalu merasa terjebak dalam lingkaran kemaksiatan yang ia ciptakan sendiri.

Malam itu, Amara pulang dengan rasa lelah yang mendalam dan penyesalan yang kian merajam. Namun, kali ini terasa berbeda. Ia pulang dengan ingatan akan sepotong ceramah singkat dari masjid yang tak sengaja ia dengar.
“Allah lebih menyukai pelaku maksiat yang bertobat, dibanding orang saleh yang tidak pernah merasa salah.”
Kata-kata itu terus bergema di pikirannya.
“Ya Allah, apa Engkau masih menyukaiku… setelah banyaknya maksiat yang aku lakukan di hadapan-Mu?” lirihnya.

Di malam yang sunyi itu, Amara membuka mushaf yang sudah lama tak ia sentuh. Tangannya gemetar, seolah merasa tak layak memegang lembaran suci tersebut. Namun, dengan air mata yang terus menetes, ia membuka halaman demi halaman. Matanya tertuju pada satu ayat yang terasa memanggilnya.

“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.”
(QS. Az-Zumar: 53)

Ayat itu seakan memanggilnya, seakan Allah sendiri yang menyebut namanya. “Ya Allah, Engkau masih memanggil aku dengan sangat lembut,” lirihnya, diiringi isak tangis yang semakin tak tertahankan.
Bagaimana mungkin?
Bagaimana mungkin Allah yang ia kecewakan berkali-kali, dengan janji yang terus ia ingkari, masih memanggilnya dengan selembut itu?
Di malam yang sama, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Amara bersujud. Sebuah sujud panjang, diiringi tangis penyesalan yang selama ini ia tahan.

“Ya Allah, aku kembali. Aku ingat betapa Maha Pengampunnya Engkau. Aku ingat Engkaulah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku ingat Engkau sangat mencintai hamba-Mu. Maafkan aku, ya Allah. Aku melupakan betapa besarnya pintu ampunan-Mu, betapa luasnya kasih sayang-Mu. Aku melupakan segalanya,” ucapnya tulus. “Aku berjanji tidak akan jatuh lagi. Dan kali ini, aku berjanji ya Allah, aku akan terus kembali, bahkan jika maksiat yang aku lakukan masih terus berulang.”
Amara merasakan ketenangan yang selama ini hilang. Bukan rasa bebas dari kesalahan, tetapi ia sadar bahwa sebesar apa pun kesalahan yang ia lakukan, tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan kebesaran Allah. Ia sadar bahwa Allah tidak pernah menuntutnya untuk menjadi sempurna. Allah hanya ingin ia pulang. Allah ingin ia tahu bahwa Dia tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya dalam keadaan apa pun.

Sejak saat itu, Amara mulai memperbaiki dirinya. Ia memang tak sempurna dan mungkin masih sesekali tergelincir, tetapi ia berusaha keras untuk menghindari kemaksiatan. Ia tahu, tidak peduli seberapa sering seorang hamba terjatuh, pintu tobat selalu terbuka luas.
Di sanalah kekuatan Amara perlahan tumbuh: dari keyakinan bahwa Rabbnya akan selalu lebih besar dibandingkan dosa-dosanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *