BAKORNAS LKMI PB HMI Kecam Dugaan Kriminalisasi dr. Ratna, Sebut Cederai Rasa Aman Tenaga Medis

Ket: Direktur LKMI PB HMI

Matarakyat24.com – Jakarta, 02 Desember 2025 – Badan Koordinasi Nasional Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI) PB HMI menyoroti adanya sejumlah kejanggalan prosedural, ketidakjelasan regulasi, serta dugaan maladministrasi yang membayangi proses hukum terhadap dr. Ratna Setia Asih, Sp.A, dokter spesialis anak yang diduga melakukan kelalaian medis dalam penanganan pasien anak di RSUD Depati Hamzah, Pangkalpinang.

Kronologi dan Proses Penanganan Medis

Kasus ini bermula pada 26 November 2024 ketika seorang anak berusia 10 tahun mengalami demam dan sempat dirawat di klinik swasta. Karena tidak ada perbaikan, keluarga membawa pasien ke RSUD Depati Hamzah pada 1 Desember 2024 tanpa membawa rujukan ataupun rekam medis dari fasilitas sebelumnya.

Di IGD, pasien pertama kali diperiksa oleh dokter umum dr. M. Basri, yang kemudian melakukan konsultasi ke dr. Ratna Setia Asih, Sp.A. Sekitar pukul 17.59 WIB, dr. Ratna mengarahkan agar pasien dikonsultasikan ke dokter spesialis jantung. Konsultasi dengan dr. Kuncoro Bayu, Sp.JP menghasilkan diagnosis Total AV Block, diikuti tindakan medis lanjutan dan pemindahan pasien ke PICU. Kondisi pasien memburuk dan dinyatakan meninggal dunia pada hari yang sama.

Keluarga kemudian membuat laporan dugaan malpraktik ke Polda Kepulauan Bangka Belitung dengan nomor LP/B/217/XI/2024/SPKT/POLDA Babel. Proses penyidikan menetapkan dr. Ratna sebagai tersangka pada 18 Juni 2025 melalui surat S.Tap/35/V/RES.5/2025/Ditreskrimsus. Berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21) pada 20 November 2025.

MDP-KKI dan Permasalahan Regulasi

Majelis Disiplin Profesi Konsil Kesehatan Indonesia (MDP-KKI) sebelumnya menyatakan adanya dugaan pelanggaran disiplin dalam tindakan dr. Ratna. Namun kuasa hukum menilai proses tersebut cacat prosedur, tidak melibatkan panel ahli independen, dan minim transparansi, serta hanya fokus pada satu dokter padahal penanganan melibatkan tim medis.

Dr. Ratna juga sempat mengajukan uji materi Pasal 307 UU Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi terkait ketiadaan mekanisme banding terhadap putusan MDP. Namun MK menolak permohonan tersebut pada 30 Oktober 2025.

LKMI PB HMI menilai kondisi ini menunjukkan lemahnya relasi regulasi antara UU Praktik Kedokteran, UU Kesehatan, dan ketentuan kelalaian dalam KUHP, sehingga memicu potensi kriminalisasi tenaga medis.

Pernyataan dan Tuntutan Resmi LKMI PB HMI

Direktur Nasional sekaligus Direktur Eksekutif BAKORNAS LKMI PB HMI, dr. Muhammad Fadel Yudawa, menyampaikan bahwa kasus ini telah menimbulkan kekhawatiran luas di kalangan tenaga kesehatan terkait potensi kriminalisasi dan ketidakpastian hukum dalam praktik kedokteran.

Adapun tuntutan resmi LKMI adalah sebagai berikut:

1. Mendesak aparat penegak hukum menghentikan kriminalisasi terhadap dr. Ratna apabila tidak terbukti adanya gross negligence.

2. Menuntut transparansi penuh atas hasil penilaian MDP-KKI, termasuk pasal disiplin yang dianggap dilanggar, standar profesi yang dirujuk, serta analisis kausalitas yang digunakan.

3. Meminta audit medis independen oleh panel ahli pediatri dan forensik sebagai dasar objektif untuk menilai kasus ini.

4. Memastikan dr. Ratna mendapatkan pendampingan hukum yang layak serta perlindungan dari organisasi profesi dan institusi pemerintah.

5. Menuntut reformasi sistemik terkait perlindungan hukum tenaga medis, khususnya dalam mekanisme penyelesaian sengketa medis agar tidak kembali terjadi kriminalisasi berbasis hasil klinis semata.

Dr. Fadel Yudawa menegaskan bahwa dunia kesehatan tidak boleh dijadikan arena politisasi dan kriminalisasi yang membahayakan profesi medis.

“Jika pola kriminalisasi tenaga medis terus terjadi, maka bukan hanya dokter yang terancam, tetapi keselamatan pasien di seluruh Indonesia. Keputusan klinis yang cepat dan kritis adalah bagian dari tugas dokter. Namun ketika keputusan itu dibayangi ancaman pidana, maka sistem kesehatan kita akan lumpuh,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan agar aparat penegak hukum tetap berpegang pada asas objektivitas dan tidak tunduk pada tekanan opini publik ataupun kepentingan politik.

“Kami meminta semua pihak menahan diri dan memastikan proses hukum berjalan berbasis fakta medis, bukan persepsi dan tekanan. Dunia kesehatan tidak boleh menjadi korban dari politisasi dan kebisingan publik,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *