BIARKAN DERITA MENGEKALKAN CINTA

banner 120x600

Khazanah

Oleh : Syaiful Awar

 

Dalam lembaran ini, saya ingin merefleksikan kembali kisah Prof. Dr. Mamduh Hasan Al Ganzouri, ketua Ikatan Dokter Cairo. Kisah yang disampaikannya sendiri. Kisah tentang kekuatan cinta yang membuatnya tidak mengenal strata. Ya, cinta itu tidak kenal strata sosial, pangkat, kedudukan, pendidikan. Walau berbeda, akan menjadi sama. Walau penuh derita, cintalah pemenangnya. Berikut penuturannya!

Tiga puluh tahun yang lalu.

Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira tinggi, keturunan “Pasha” yang sangat terhormat di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga aristokrat terkemuka di Ma’adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan Sorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik negeri ini. Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam suasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan hidup sepenuhnya di atur dengan undang-undang dan norma aristokrat. Keluarga kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat atau kalangan high class sepadan.

Entah kenapa, saya tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya merasa terkungkung dan terbelenggu oleh strata sosial yang didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan sebenar hidup yang saya cari. Saya lebih merasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman dari kalangan bawah yang menghadapi kehidupan dengan penuh tantangan dan perjuangan. Hal ini ternyata membuat gusar keluarga saya, mereka menganggap saya ceroboh dan tidak bisa menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang-orang yang selalu basah keringat dalam mencari pengganjal perut dianggap memalukan keluarga. Namun saya tidak ambil peduli.

Karena ayah memperoleh warisan yang sangat besar dari kakek, dan ibu mampu mengembangkannya berlipat ganda maka kami hidup mewah dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami bisa berlibur ke luar negeri, ke Paris, ke Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika berlibur di dalam negeri, ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah hotel San Stefano atau hotel mewah di dalam Montaza yang berdekatan dengan istana Raja Faruq.

Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah. Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantinya dengan mobil biasa saja, agar lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para dosen. Tapi beliau menolak mentah-mentah.

“Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja.” Tegas ayah. Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati, saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.

Di kuliah saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuh pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan dan kemuliaan akhlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menakjubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi sama seperti saya.

Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa telah menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakultas. Maka datanglah saatnya untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus. Saya buka keinginan untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada keluarga. Ayah, ibu dan saudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelemutan dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus.

Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan langsung membanting gelas yang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum: pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya! Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahan dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak terkira.

Apakah Anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu adalah tukang cukur…tukang cukur, ya sekali lagi…tukang cukur! Saya katakan dengan bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati. Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak dilakukan oleh para bangsawan “Pasha”. Lewat tangannya ia lahirkan tiga dokter, seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun sama sekali ia tidak mengecap bangku pendidikan.

Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak pada ayah. Saya berdiri sendiri, tak ada yang membela. Pada saat yang sama adik lelaki saya membawa pacarnya yang telah hamil dua bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah dan ibu langsung merestui dan menyiapkan biaya pernikahannya sebesar lima ratus ribu pound. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakukan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak direstui sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina, bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili pacarnya yang entah keberapa di luar akad nikah malah direstui dan diberi fasilitas maha besar? Dengan enteng ayah menjawab, “Karena kamu memilih pasangan hidup dari strata yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga sedangkan pacar adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat keluarga besar Al Ganzouri.

Duh, hati saya semakin perih. Kalau dia bukan ayah saya tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat akan datang, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi namun yang jelas berzina justru difasilitasi. Dengan dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa siapa saja, bahwa cara dan pasangan cinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini kebenarannya. Itu saja. Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliau pun menolak mentah-mentah untuk mengawinkan putrinya dengan saya. Bahkan juga bersumpah tidak akan merestui hal itu selamanya, demi kehormatan keluarganya. Dia tidak rela keluarganya menjadi bahan ejekan dan hinaan kalangan “Pasha”. Namun putrinya bersikeras ingin menikah dengan saya dan tidak akan menikah kecuali dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad menikah dengan saya.

Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak pernikahan ini terjadi karena alasan status sosial, sedangkan keluarga dia menolak karena alasan membela kehormatan. Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, bertatap dan bertanya kenapa orang- orang tidak memiliki kesejukan cinta?

Setelah berpikir panjang akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantor ma’dzun syar’i (petugas pencatat nikah) disertai tiga orang sahabat karibku. Kami berikan identitas kami dan kami minta ma’dzun untuk melaksanakan akad nikah kami secara syar’i mengikuti madzhab Imam Hanafi. Ketika ma’dzun menuntun saya, “Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima nikah kamu sesuai dengan sunnatullah wa rasulilihi dan dengan mahar yang kita sepakati serta dengan memakai madzhab Imam Abu Hanifah ra.” Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata ketiga sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah itu. Kami keluar dari kantor itu dengan resmi sebagai suami-istri yang sah di mata Allah dan manusia. Kami punya legalitas sebagai suami istri yang diakui negara dan diakui syariat. Kami telah bertekad siap menghadapi kemungkinan hidup ini murni dengan kekuatan kami, tanpa sandaran dan dukungan kecauli pertolongan Allah SWT. Saya bisikkan dalam telinga istri saya agar menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan itu belum berakhir.

Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Begitu mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayahku dari rumah. Mobil dan segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali tas kumal berisi bebarapa potong pakaian dan uang sebanyak tujuh pound saja, hanya empat pound! Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayar ongkos akad nikah di kantor ma’dzun. Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih tragis ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang sebanyak dua pound, tak lebih. Total kami hanya pegang uang enam pound atau dua dolar. Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan enam pound. Kami berdua bertemu di jalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami menggigil. Rasa cemas, takut, sedih dan sengsara campur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang, rasa berdaya dan hidup dengan menjalani sukma kami.

Habibti, maafkan Kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini. Maafkan Kanda!”

“Tidak. Kanda tidak salah. Langkah yang Kanda tempuh benar. Kita telah berpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisa menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil. Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah. Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini. Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingimu Kanda, selama Kanda setia membawa dinda di jalan yang lurus. Kita akan buktikan pada mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan keyakinan cinta kita dan. Suatu ketika kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita dan kita berikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru. Air mata mereka akan mengalir deras.” Jawab istri saya dengan terisak dalam pelukan. Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa dalam diri saya. Lahirlah rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi dokter. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan dan uang sebanyak 40 pound.

Malam semakin larut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di emperan toko berdua seperti gembel yang tidak punya apa-apa. Dalam kebekuan otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar itu pun datang jua. Dengan sisa uang enam pound itu kami bisa meminjam telpon di sebuah toko dua puluh empat jam. Saya berhasil menghubungi seorang teman yang bisa memberi pinjaman senanyak 50 pound. Ia bahkan mengantarkan kami dengan mobilnya mencarikan losmen ala kadarnya yang murah.

Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segeralah kami disadarkan kembali bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengarunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah Swt. Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami berhasil menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra Khaimah.

Bagi kaum aristokrat rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan mereka mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami. Namun bagi kami ini adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu, jika seorang gelandang tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagai mendapatkan hadiah agug dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedang membutuhkan uang, sehingga ia menerima akad sewa tanpa uang jaminan dan uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk tiga bulan. Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah ke sana. Lalu kami membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari sebuah kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kecil, dua kursi dan satu kompor gas sederhana sekali, kipas, dan dua cangkir dari tanah, itu saja tak lebih.

Dalam hidup yang bersahaja dan belum bisa dikatakan layak itu, kami tetap merasa bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia merindukan surga di akhirat. Karena di surga Allah menjanjikan cinta. Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnul Qayyim, bahwa nikmatnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami istri di dunia adalah untuk memberikan gambaran setetes rasa nikmat yang disediakan Allah di surga. Jika percintaan suami istri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat dari itu semua. Nikmat cinta di surga tak bisa dibayangkan. Yang paling nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni surga, saat Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga berhak menikmati indahnya wajah Allah SWT. Untuk mencapai nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allahlah yang berhak memperoleh segala cinta di surga.

Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan- jalan lurus mendekatkan diri kepada-Nya. Isteri saya jadi rajin membaca Al-Qur’an, lalu memakai jilbab, dan tiada putus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi putri raja yang cantik menggairahkan. Di akhir malam ia menjelma menjadi Rabiah Adawiyah yang larut dalam samudera munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang dia adalah dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad untuk menempuh hidup berdua tanpa bantuan siapa pun, kecuali Allah SWT. Dia juga seorang wanita yang pandai mengatur uang. Uang sebanyak 55 pound yang tersisa setelah membayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama satu bulan. Tetangga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kami pun mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-sampai ada yang bilang tanpa disengaja, “Ah, kami kira para dokter itu pasti kaya semua, ternyata ada juga yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya.”

Akrabnya persaudaraan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil layaknya saudara sendiri. Ada yang menawari istri agar menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka. Karena memang kami dokter yang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dapur. Ada yang membantu membersihkan dapur. Saya sangat terkesan dengan pertolongan-pertolongan itu. Kehangatan tetangga itu seolah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami.

Yang lebih menyakitkan mereka tidak membiarkan kami hidup tenang. Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor dan didobrak oleh empat bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segala perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya mereka patah- patah, juga kursi. Kasur tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan ancaman, “Kalian tak akan hidup tenang karena berani menantang Tuan Pasha!” Yang mereka maksudkan dengan “tuan pasha” adalah ayah saya yang saat itu pangkatnya naik menjadi jenderal.

Keempat bajingan itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bareng berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami tata kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang berserakan, kami masukkan ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang sobek-sobek tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja dan kursi yang pecah itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur kecapaian dengan tangan erat bergenggam, seolah eratnya genggaman inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi hidup ini. Benar, firasat saya mengatakan ayah tak akan membiarkan kami hidup tenang. Saya mendapat berita dari seorang teman bahwa ayah telah merancang skenario keji untuk memenjarakan istri saya berdua dengan tuduhan wanita tuna susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini. Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang ada di telapak kami mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.

Dan masya Allah! Ayah memang merancang skenario itu dan tidak mengurungkan niat jahatnya itu kecuali setelah teman karibku mempedaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya agar menceraikan istri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan skenario itu, sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad. Tugas temanku adalah mengunjungi ayahku setiap pekan agar beliau bersabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk menceraikan istriku. Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.

Beberapa bulan setelah itu datanglah masa wajib militer. Selama satu tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang sangat saya takutkan, tidak ada pemasukan sama sekali saya terima kecuali 6 pound setiap bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai. Nyaris selama satu tahun tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatan istri tercinta. Tetapi Allah tidak melupakan kami. Dialah yang menjaga keselamatan hamba-hamba-Nya yang beriman. Istri saya hidup selamat bahkan dia mendapat kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah kami. Jadi selama satu tahun ini, hidup berkecukupan dengan rahmat Allah.

Selesai wajib militer saya langsung menumpahkan segenap rindu pada kekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair Palestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia dan lepas dari belenggu derita.

Sambil menatap kaki ke langit Kubilang padanya

Di sana, di atas lautan pasir kita akan berbaring Dan tidur nyenyak sampai Subuh tiba

Bukan karena ketiadaan kata-kata Tetapi karena kupu-kupu kelelahan Akan tidur di atas bibir kita

Besok, oh cintaku, besok Kita akan bangun pagi sekali

dengan para pelaut dan perahu mereka Dan kita akan terbang bersama angin seperti burung-burung

***

Yah, saya pun memimpikan yang demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapa dan derita. Saya utarakan mimpi itu pada istri tercinta. Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersikeras untuk masuk program magister bersama. Gila! Ide gila! Pikirku saat itu. Bagaimana tidak. Ini adalah saat yang paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai seorang dokter di negara teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tak berperasaan. Tetapi istri saya malah berpikir untuk meraih magister. Saya bujuk dia untuk mengurungkan niatnya. Tapi dia tetap bersikukuh untuk meraih magister, dan menjawab dengan logika yang tak kuasa saya tolak:

“Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan dan mendapat tawaran dari fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya, kita harus bersabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita kenapa tidak sekalian kita reguk sumsum penderitaan ini, kita sempurnakan prestasi kita, dan kita wujudkan mimpi indah kita.”

Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad membaja istriku hatiku pun luruh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya. Jadilah kami berdua masuk program magister. Dan mulailah kami memasuki kehidupan baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhan kuliah luar biasa banyaknya, dan untuk praktek, buku dan lain-lain. Nyaris kami hidup laksana kaum sufi.

Makan hanya dengan roti isy dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam-malam kami lalui dengan perut lapar, teman setia kami adalah air kran. Ya, air kran. Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama pada suatu malam sampai didera rasa lapar tak terperikan, kami obati dengan air. Yang terjadi kami malah muntah-muntah. Terpaksa uang untuk beli buku kami ambil untuk pengganjal perut. Siang hari, jangan tanya, terpaksa kami puasa. Dari keterpaksaan itu terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.

Meski sedemikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikit pun. Tidak pernah saya melihat istri saya mengeluh, menangis, sedih, atau pun marah karena suatu sebab. Kalaupun dia menangis itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi dia lebih merasa kasihan kepada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah dengan selera high class tiba-tiba harus hidup sengsara layaknya gelandangan. Dan sebaliknya saya pun merasa kasihan melihat keadaan dia, dia yang asalnya hidup nyaman dan makmur dengan keluarganya harus hidup menderita di rumah kontrakan yang kumuh dan makan ala kadarnya. Timbal balik perasaan ini ternyata menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasa sayang, penghormatan dan cinta yang mendalam padanya.

Setiap kali saya mengangkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya adalah wajah istri yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Saya kagum pada

bidadari saya itu. Merasa diperhatikan, dia akan mengangkat pandangannya dari buku, dan menatap saya penuh cinta dengan senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan ini terlupakan semua. Rasanya kamilah orang paling berbahagia di dunia. “Allah menyertai orang-orang yang sabar, Sayang!” bisiknya mesra sambil tersenyum. Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.

Allah Maha Penyayang. Usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelar magister dengan waktu yang tercepat di Mesir. Hanya dua tahun saja. Namun kami belum keluar dari derita. Setelah meraih magister pun kami masih mengecap hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tak ada istilah makan enak dalam hidup kami. Sampai akhirnya, rahmat Allah datang jua. Setelah usaha keras, kami berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk pertama kalinya setelah lima tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah. Kami rasakan kembali tidur di atas kasur empuk. Kami kenal kembali makanan lezat setelah kami tinggal sekian tahun. Dua tahun setelah itu kami pun membeli villa berlantai dua di Helopolis, Cairo. Sebenarnya saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang “edan”. Ia kembali mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program doktor spesialis di London, juga dengan logika yang susah saya tolak:

“Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita dan telah kita lalui dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil doktor di London. Setelah bertahun-

tahun kita hidup di lorong kumuh, tak ada salahnya kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyiapkan dana tambahan.”

Kucium kening istriku, bismillah kita ke London. Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol gelar doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya spesialis jantung. Setelah memperoleh gelar doktor spesialis kami meneken kontrak kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkata sebagai dokter ahli dan ditektur rumah sakitnya dan istri saya sebagai wakilnya. Kami juga mengajar di Universitas. Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai dia dengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan-kebajikan.

Lima tahun setelah itu kami kembali ke Cairo setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana seorang raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari sembilan tahun hidup menderita, melarat dan sengsara. Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami pada Allah SWT. dan bertambah rasa cinta kami.

Andaikata Anda ingin mengetahui siapa istri saya yang telah mengajarkan bahwa penderitaan bisa mengekalkan cinta, dialah Prof. Dr. Shiddiqa binti Abdul Aziz.

Kebanyakan kita memandang siksa sebagai derita. Namun, perempuan yang satu ini justru menyikapi siksa dengan penuh ketegaran dan senyuman. Siapakah dia?

Dia hanya seorang perempuan biasa, namun imannya luar biasa. Dia hanya seorang tukang sisir. Ya, hanya seorang tukang sisir seorang penguasa zalim bernama Fir’aun. Perempuan ini tidak lain adalah Masyitah.

Masyitah adalah seorang perempuan taat. Namun, tidak banyak orang tahu tentang ketaatannya beribadah kepada Allah SWT. Hanya seorang saja yang tahu, Asiyah. Ya, Asiyah, istri sang penguasa. Berbalik 180 derajat, suami seorang yang otoriter dan sombong, sedangkan Asiyah seorang yang tawadhu dan taat kepada Allah SWT. Namun, sepandai-pandai orang menyembunyikan sesuatu, suatu saat akan diketahui juga. Dan inilah yang terjadi pada Masyitah, si tukang sisir itu.

Suatu hari, seperti biasa Masyitah melakukan tugasnya menyisiri rambut putri-putri Fir’aun. Tidak seperti biasanya, hari itu, Masyitah agak sedikit gugup – seolah dia menerima firasat buruk. Tanpa sengaja, tiba-tiba sisir yang dipegang terjatuh dan meluncur dari mulutnya, “Maha Suci Allah!”

Bagai disambar petir telinga putri Fir’aun mendengar ucapan juru sisirnya yang bertentangan dengan keyakinannya.

“Apa yang kau sebut itu, Bibi? Kau berani menyebut Tuhan selain Fir’aun? Kau segera akan menemui kematianmu!” hardik putri Fir’aun itu.

Putri Fir’aun beranjak dari duduknya dan mengadukan hal itu kepada ayahnya. Masyitah terpekur memikirkan nasib yang akan menimpanya. Dan, betul saja, tiba-tiba seorang pengawal istana memerintahkannya untuk menghadap Fir’aun. Masyitah pasrah dan dikuatkan hatinya untuk menghadapi siksa yang akan ia terima dari sang penguasa.

“Apa yang kau sebut tadi, Masyitah?” Hardik Fir’aun. Sejenak,     perempuan     salehah     itu     terbungkam.

Kemudian, seorang pengawal maju dan menghempaskan

pecutnya ke tubuh Masyitah.

“Jawab! Apa yang kau sebut tadi?!” Bentak Fir’aun lagi.

“Hamba menyebut Mahasuci Allah,” Jawab Masyitah yang tiba-tiba dianugerahi keberanian. Dia tidak lagi tunduk walaupun cemeti berkali-kali mendera tubuhnya.

“Berani benar kau menentangku, hah! Akulah tuhanmu. Tuhan rakyat Mesir. Akulah yang menentukan hidup dan matimu. Akulah tuhan tertinggi di seluruh jagad ini. Kau masih berani menyebut Tuhanmu itu?”

“Mahasuci Allah, tiada sesembahan lain kecuali Dia. Allah-lah yang menciptakan langit, bumi, dan segala isinya. Allah yang menentukan rezki bagi hamba-hamba-Nya. Tiada sesuatu yang sempurna, kecuali Allah,” kata Masyitah kemudian dengan tegas.

Berbarengan dengan ucapan itu, dua orang pengawal menyeretnya ke tempat penyiksaan. Sebuah kuali besi raksasa sedang terjerang di atas api yang menjilat-jilat. Dalam kuali itu terisi minyak yang mendidih. Algojo yang

membawanya menunjuk ke arah beberapa orang yang tengah diborgol dengan belenggu besi.

“Kau kenal siapa orang-orang itu?”

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *