Matarakyat24.com, Jakarta – Transformasi digital kini tidak lagi hanya menjadi isu kota besar. Namun di balik derasnya arus digitalisasi, masih ada 17,5% penduduk Indonesia yang belum memiliki akses internet memadai, terutama di wilayah 3T. Fakta itu mengemuka dalam Forum Diskusi Publik bertema “Kolaborasi Pemerintahan, Kampus dan Komunitas Literasi Digital dalam Implementasi Program Sekolah Rakyat” yang digelar Kamis, 06 November 2025.
Anggota Komisi I DPR RI, Elnino M. Husein Mohi, menegaskan bahwa kesenjangan akses internet selalu berbanding lurus dengan kesenjangan kualitas pendidikan. Program pemerintah seperti Bakti Kominfo hingga GNLD Siberkreasi telah bergerak, namun implementasinya masih menemui kendala sumber daya manusia di lapangan. Menurutnya, Sekolah Rakyat dapat menjadi “jembatan penghubung” antara fasilitas negara yang sudah ada dengan kebutuhan konkret masyarakat basis desa.
Rektor Universitas Sains Indonesia, Dr. Ir. Endah Murtiana Sari, melihat bahwa kampus memegang peranan strategis. Mahasiswa — melalui KKN tematik, riset, hingga pengabdian masyarakat — dapat langsung menjadi fasilitator literasi digital kepada kelompok akar rumput. Ia mencontohkan adanya beberapa kampus di Jawa Tengah dan Sulawesi yang telah membantu membangun digital learning hub sederhana berbasis energi panel surya untuk warga desa. Kampus, katanya, bukan hanya sumber ilmu — tetapi katalis inovasi untuk pendidikan rakyat.
Sementara itu, pegiat literasi digital Tomi Ishak menegaskan kekuatan komunitas lokal berada pada kedekatan sosial dan cultural understanding. Banyak komunitas di NTT, Kalimantan hingga Papua bahkan sudah mengembangkan microlearning melalui WhatsApp dan video pendek untuk warga. Namun Tomi mengingatkan bahwa angka literasi digital nasional masih pada skor 3,65 dari skala 5 — dengan keamanan digital dan budaya digital menjadi aspek terlemah. “Banyak yang bisa internet, tetapi belum bisa aman, belum bisa kritis,” ujarnya.
Forum diskusi ini sepakat bahwa kolaborasi tiga sektor — pemerintah, kampus, dan komunitas — tidak boleh berhenti pada seremoni. Diperlukan roadmap yang jelas, transparansi data publik, serta monitoring partisipatif agar program Sekolah Rakyat dapat menjadi gerakan permanen yang memampukan warga menggunakan teknologi secara produktif dan beretika.
Sekolah Rakyat dipandang bukan hanya ruang alternatif belajar, tetapi ruang pemberdayaan digital yang dapat membuka akses ekonomi, membentuk budaya literasi baru, dan memutus rantai kemiskinan berbasis informasi.
Dengan fondasi kolaborasi yang kuat, para narasumber percaya bahwa Sekolah Rakyat dapat menjadi model pendidikan masa depan Indonesia — yang lahir dari kearifan lokal, ditopang teknologi digital, dan digerakkan gotong royong.












