Budayawan Minangkabau, Mak Katik, Soroti joget THR merupakan kemunduran Budaya Minangkabau,

Mata Rakyat24 |Sumbar. Baru ini Indonesia di sajikan dengan tontonan joget Pemberian THR,   Budayawan Minangkabau, Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto, Angkat Bicara,  ini merupakan kemunduran terhadap nilai nilai  kebudayaan Sumatera Barat, khususnya di daerah Minangkabau.

“Kata THR tidak ada di zaman Saya muda, kata ini muncul  pada tahun 1970 dan itu pun belum Membuming “Ucap Mak Katik,  Minggu 6/4/25

Mak katik, menyoroti  cara Pembagian THR dengan berjoget hal ini kurang elok, pemberian dengan bernari nari sama dengan meronggeng dalam bahasa kebudayaan atau disebut dengan sawer,.

Ia menjelaskan Dalam tatanan  memberi, ditinjau dari  kajian kebudayaan,  tangan kanan yang memberi tangan kiri tidak boleh tau. Kalau sekarang diberitahukan melalui media sosial.

“Mak Katik, merupakan Dosen University of Hawaii, Manoa, Amerika Serikat, dan Akademi Seni Warisan Budaya Kebangsaan Malaysia, mengatakan, sudah tak ada lagi Rasa malu di tengah – tengah masyarakat saat ini.

“Budaya malu, betul – betul sudah hilang, yang diberikan THR itu keponakan niniak mamak juga kan. Pertanyaannya malu tidak keponakan kita dikasih orang? Atau harta pusako kita sudah habis sehingga meminta – minta secara berbaris – baris,” jelasnya dengan nada prihatin.

Ia juga menyinggung fenomena orang Minangkabau yang sudah lanjut usia yang memenuhi panti jompo.

Ndak bedo kaji tu, apa lagi sekarang panti jompo sudah dipenuhi orang – orang bersuku. Kenapa orang bersuku memenuhi panti jompo di daerah kita? atau separah itu kita beradat! Orang tua yang membesarkan kita sudah tua dihantarkan ke panti jompo atau tidak pandai mendidik anak dari kecil,” ujarnya dengan nada kesal.

Mengenai upaya pemajuan kebudayaan, Mak Katik mengaku pesimis terhadap pemerintah daerah di Sumatra Barat.

“Sejak tahun 1980 saya sudah punya harapan terhadap pemerintah daerah, tidak ada yang jalan serta tidak ada bukti yang mengarah ke arah perbaikan. Harapan kepada pemerintah Provinsi dulu yang kita sampaikan mengenai adat dan budaya ini berbalik seperti sedia kala. Dulu 6 kali sudah di sarankan oleh Prof Zuki Sahmad tidak ada satu pun dilakukan oleh Pemprov,” bebernya.

Ia menilai perbedaan perayaan Idul Fitri dahulu dan sekarang tidak terlalu tampak, namun saat ini banyak individu yang bersikap egois.

“Mencari titik temu paham – paham model ini sangat sulit. Untuk memperbaiki adat dan kebudayaan kearah yang lebih baik sangat sulit. Apa yang bisa kita diharapkan dari seluruh kepala – kepala daerah yang ada di Sumatra Barat. Kita lihat dari tahun 1990 sampai sekarang. Sebagai Budayawan melihat keadaan fisik aplikasi atau segala macam dan nilai plus apa yang kita harapkan tidak juga berubah sampai saat ini,” jelasnya.

Mak Katik mengungkapkan pernah menyarankan kepada Pemda Sumbar pada tahun 1982 untuk menjadikan gerakan silat sebagai senam massal dengan meramunya dalam langkah silat Minang.

“Ramu silat minang ini, kita mempunyai penata tari dan pemusik jadi kita kumpulkan dan buat rancangannya untuk senam massal tersebut,” tegasnya, namun usul tersebut tidak terealisasi.

Untuk itu, ia berharap pemerintah daerah di seluruh Sumatra Barat untuk memiliki aplikasi yang jelas terhadap kemajuan kebudayaan. Jangan pemerintah daerah memikirkan perjalanan dinas saja.

“Contoh membuat sebuah cerita Siti Baheram, Lambun Pamenan dan Bujang Paman dijadikan karikatur dengan memanfaatkan dunia digital untuk pelajaran anak. Lalu dibuatkan juga buku dengan bacaan Minangkabau supaya orang tau paham adat itu, tidak mulut yang berbicara lagi. Ini bentuk pendidikan karakter kepada anak SD. Untuk menyampaikan adat itu dengan bahasanya bukan dengan bahasa yang lain kita sampaikan jangan dicari dengan bahasa Indonesia “tutupnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *