Pikiran saya tentang Islam
Oleh : Sabrin Hidayatullah
Sebagian besar karya penting tentang hubungan antara Islam dan politik atau Islam dan negara memakai pendekatan tipologis untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan sikap kaum Muslim Indonesia
dalam menghadapi isu-isu religius politik. Pendekatan tipologis paling baru dilakukan oleh Robert W. Hefner, antropolog politik asal Amerika, dalam _Civil Islam_ Berfokus pada
bagaimana Islam berinteraksi dengan negara dan bagaimana perilaku Muslim dalam menghadapi isu-isu modern seperti demokrasi dan masyarakat sipil, Hefner mengklasifikasi Muslim Indonesia masa kini ke dalam dua blok politik utama. Yang pertama menganut apa yang dia sebut “Islam sipil” dan yang lain “Islam rezim”. Pengikut Islam sipil adalah Muslim yang mendukung nilai-nilai demokrasi, kebebasan, pluralisme, dan hak-hak sipil, sedangkan pengikut Islam rezim adalah kelompok Muslim yang “diciptakan” oleh rezim itu sendiri (Ini telah berlangsung lama dimasa Soeharto bahkan masa sekarang).
Demo-Crezy
Tahun 2024 Islam akan mengalami serangkaian peristiwa dan usaha yang difasilitasi oleh kekuasaan untuk dipecah menjadi dua bagian bahkan lebih dengan rentetan akumulasi yang diatur dalam doktrin-doktrin politik. Lumrah, namun tidak sepatutnya terulang kembali. Atas nama partisipatoris, doktrin politik diberlakukan dengan dalih keberpihakan rakyat “berdaulat”, tetapi sesungguhnya dipecah menjadi dua bagian kontradiktif. Dalam bukunya yang banyak dipuji _The Life and Times of Liberal Democracy,_ Macpherson membedakan empat model demokrasi liberal: Protektif, Developmental, Ekuilibrium, dan Partisipatoris. Demokrasi _protektif_ dicirikan dengan keinginan untuk membuat demokrasi sebagai alat untuk menyingkirkan penindasan negara. Demokrasi _developmental_ dicirikan dengan kehendak untuk membuat demokrasi “suatu alat pembangunan diri”. Demokrasi _ekuilibrium_ dicirikan dengan kehendak untuk memberikan ruang lebih luas kepada elit untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi. Terakhir, demokrasi _partisipatoris_ dicirikan dengan kehendak untuk memberikan lebih banyak kesempatan kepada rakyat, ketimbang hanya kepada elit.
Dari keempat model tersebut, kiranya elit politik dalam memuluskan jalan menuju kekuasaan memakai salah satu dari keempat bentuk demokrasi tadi yang pada sasarannya akan memecah belah. Islam sebagai suatu Agama yang komplit seharusnya tidak mudah terpengaruh atau bahkan saling pengaruh guna menyongsong kesatuan Islam yang senantiasa dirindukan. Bahkan hal gila dilakukan oleh elit politik untuk mendapatkan dukungan, ada yang belum dideklarasikan tetapi relawannya sudah bergerak untuk mencari pengikut.
Isthiaq Ahmed
Sementara dalam tradisi politik Barat model sudah diterapkan untuk menganalisis berbagai konsep politik, dalam tradisi politik Islam model jarang dipakai. Di antara sedikit pakar yang menggunakan pendekatan ini adalah Ishtiaq Ahmed, sarjana dari Pakistan. Dalam analisisnya tentang politik Pakistan, dia menjabarkan empat model pemerintahan yang dicita-citakan kaum Muslim Pakistan:
Pertama, apa yang dia sebut “negara sakral tanpa kehendak manusia”. Model ini didasarkan pada asumsi bahwa “Allah tidak
menyerahkan kehidupan di dunia ke dalam tangan manusia, tapi telah menetapkan jalan yang sudah ditentukan, dengan perintah terperinci tentang bagaimana menempuh jalan itu.” Eksponen-eksponen model ini percaya bahwa segala sesuatu telah diatur oleh Islam, dan “tidak ada wilayah kehidupan manusia yang dibiarkan kosong tanpa perintah Allah”. Ahmed menganggap orang seperti Abul A’la Mawdudi (1903-1979) adalah pendukung gigih model ini.
Kedua, “negara sakral dengan kehendak manusia”. Eksponen model ini, seperti Muhammad Asad (sebelumnya Leopold Weiss), Ghulam Ahmad Perwez (1903-1985), Khalifa Abdul Hakim (wafat 1959), dan Javid Iqbal (putra filsuf-penyair Muhammad Iqbal), berasumsi bahwa pemerintahan politik Islam tidak sepenuhnya teokratis dan tidak sepenuhnya sekular, tapi keseimbangan di antara keduanya. Namun model ini punya banyak varian, mulai dari yang otokratik, seperti Perwez, sampai yang liberal, seperti Iqbal.
Ketiga, “negara sekular dengan kehendak ilahi”. Model ini sebenarnya adalah model menyimpang, karena negara sekular sudah selalu dianggap bertentangan dengan _raison d’être_ pendirian Pakistan. Namun, Ahmed berargumen bahwa model negara sekular memang hidup dalam komunitas Muslim Pakistan. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa “Islam tidak mengharuskan konsep negara tertentu apapun”. Eksponen model ini seperti S.M. Zafar dan Muhammad Usman percaya bahwa demokrasi, dan bukan sistem politik Islam klasik, yang bisa menyediakan kehidupan politik yang lebih baik bagi kaum Muslim.
Keempat, “negara sekular tanpa kehendak ilahi”. Yang membedakan model ini dari model sebelumnya adalah bahwa ia didasarkan pada asumsi bahwa Pakistan bisa menjadi negara sekular murni. Agama, yakni, Islam, dengan demikian, harus dilepaskan dari wacana politik atau pemerintahan mana pun. Model ini punya sedikit pendukung. Di antaranya adalah Muhammad Munir (wafat 1981), mantan Ketua Mahkamah Agung Pakistan.