TAUBATNYA SANG RENTENIR

Khazanah

Oleh : Syaiful Anwar

Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh 

 

Semula Habib adalah seorang yang kaya raya dan suka membungakan uang. Ia tinggal di kota Bashrah, dan setiap hari berkeliling kota untuk menagih piutang-piutangnya. Jika tidak memperoleh angsuran dari langganannya maka ia akan menuntut uang ganti rugi dengan dalih atas sepatunya yang menjadi aus di perjalanan. Dengan cara seperti inilah Habib menutupi biaya hidupnya sehari-hari. 

 

Pada suatu hari, Habib pergi ke rumah seorang yang berhutang kepadanya. Namun yang hendak ditemuinya sedang tidak ada di rumah. Maka Habib meminta ganti rugi kepada isteri orang tersebut. 

 

“Maaf tuan, suamiku tidak ada di rumah. Aku tidak mempunyai sesuatupun untuk diberikan kepadamu, tetapi kami ada menyembelih seekor kambing dan lehernya masih tersisa, jika engkau suka aku akan memberikannya kepadamu.” 

 

“Ya sudah. Tidak apa-apa. Masaklah sekarang…!” jawab si lintah darat. Ia berpikir bahwa setidaknya ia dapat mengambil leher kambing dan membawanya pulang. 

 

“Maaf tuan, saya tidak mempunyai minyak untuk menggorengnya.” 

“Baiklah, aku akan mengambil minyak, tapi untuk semua itu kau harus membayar ganti rugi pula.” Lalu ia pun pergi mengambil minyak. 

 

Tanpa membuang waktu si wanita itu pun segera memasaknya di dalam belanga. Setelah masak dan hendak dituangkan ke dalam mangkuk, tiba-tiba seorang mengemis datang mengetuk pintu. 

“Berilah saya tuan, saya lapar.” Pinta si pengemis. 

“Eh, enak saja kau minta. Usaha dong!” 

“Tolonglah tuan, hanya sedikit saja untuk menghilangkan rasa laparku saja.” 

“Tidak. Aku tidak akan pernah memberikannya pada orang 

pemalas sepertimu. Pergiiiii!!”  

“Tolonglah tuan, hanya sedikit saja untuk menghilangkan rasa laparku saja.” 

 

“Kau ini memang tuli. Sudah kukatakan padamu. Aku tidak akan pernah memberikan padamu, walau sedikit saja.” Kata Malik. Dan tanpa rasa belas kasihan sedikit pun ia menampar si pengemis itu. 

 

Si pengemis itu tetap tidak beranjak. Ia memohon kepada si wanita itu. Ia tidak memperdulikan rasa sakit yang dideritanya. 

“Tolonglah Bu, beri saya sedikit saja.” 

“Baiklah Pak.” 

 

“Hai, jangan kau kasihani si pengemis pemalas ini! Bukankah sudah kularang? Dasar pengemis tuli tak tahu diri!” Cegah Habib pada si wanita 

“Maaf tuan, saya kasihan melihat pengemis ini, ia tampaknya benar-benar kelaparan. Biar saya yang mengganti atas semua kerugian ini.” tegas si wanita itu mantap. 

 

Si wanita itu pun membuka tutup belanga. Namun, apa yang terjadi? Ternyata semua isinya telah berubah menjadi darah hitam. Melihat kejadian yang aneh ini, wajah si wanita berubah menjadi pucat pasi seperti mayat. Tanpa sadar, ia segera menarik tangan Habib dan memperlihatkan isi belanga itu kepadanya. 

 

“Lihatlah, apa yang telah menimpa diri kita karena ribamu yang terkutuk dan hardikanmu kepada si pengemis!” si wanita menangis tersedu sedan, ”Apakah yang akan terjadi atas diri kita di dunia ini. Apalagi di akhirat kelak.” 

Melihat kejadian ini cahaya hidayah menyelusup ke dalam hati Habib. Ia menjerit dalam hatinya. Ia menyesal. Penyesalan yang tidak akan pernah mereda seumur hidupnya. 

 

“Wahai wanita, maafkan atas perbuatanku selama ini. Sungguh, aku menyesal atas perbuatan bodohku.”  

“Mudah-mudahan penyesalanmu berbuah kebaikan.” sahut si wanita tadi yang tangisnya belum reda. 

 

Keesokan harinya Habib berangkat untuk menemui orang yang berhutang padanya. Kebetulan hari itu adalah hari Jum‟at. Anakanak sedang ramai bermain di jalanan. Ketika anak-anak itu melihat Habib mereka berteriak-teriak seraya berkata, ”Lihat, Habib lintah darat sedang menuju ke sini. Ayo kita lari, kalau tidak niscaya debudebu tubuhnya akan menempel di tubuh kita dan kita akan terkutuk pula seperti dia.” 

 

Hati Habib perih begitu mendengar ocehan anak-anak. Ia pun pergi menuju gedung pertemuan untuk sedikit menghilangkan kepedihan di hatinya. Tapi, ketika ia tiba di gedung itu kata-kata umpatan dan celaan yang sama menimpa dirinya. Ia sangat tertekan. Ia pingsan. 

 

Habib siuman. Ia menangis sejadi-jadinya. Dulu orang takut dan menyeganinya. Kini ia bagaikan bangkai busuk yang dilemparkan oleh manusia, yang tidak seorang pun mau mendekatinya. Ia pun sadar bahwa harga kekayaan yang selama ini ia banggakan tidak ada gunanya. Ia menyesal, benar-benar menyesal. Ia berteriak, “Ya Allah, akankah Engkau ampuni dosa hamba-Mu yang menumpuk ini?” Tiba-tiba terdengar jawaban, “Habib, sungguh Allah itu Maha Pengampun. Dia pasti mengampuni dosamu jika engkau serius ingin bertaubat pada-Nya?” Habib mencari arah suara itu. Suara itu ternyata keluar dari mulut Imam Hasan Al Bashri. 

 

Hasan Al Bashri terus menghibur dan meyakinkan Habib. Ia memapah Habib meninggalkan gedung pertemuan. Ketika itu seorang yang berhutang padanya melihatnya dan mencoba untuk menghindarinya, 

“Jangan lari” kata Habib “Di waktu yang sudah-sudah engkaulah yang menghindariku, tetapi mulai saat ini juga aku yang harus menghindar dirimu.” 

Habib meneruskan perjalanannya, anak-anak tadi masih bermain-main di jalan. Melihat Habib mereka segera berteriak,  

 

“Lihat tuh Habib yang telah bertaubat sedang menuju ke mari. Ayo kita lari! Jika tidak, niscaya debu-debu di tubuh kita yang akan menempel di tubuhnya sedang kita adalah orang-orang yang telah berdosa kepada Allah.” 

“Ya Allah ya Tuhanku!” jerit hati Habib. “Baru saja aku membuat perdamaian dengan-Mu, Engkau telah menabuh genderang di dalam hati manusia untuk diriku dan telah mengumandangkan namaku di dalam keharuman.” 

 

Kemudian Habib membuat pengumuman yang berbunyi, ”Kepada siapa saja yang 

menginginkan harta benda milik Habib, datanglah dan ambillah!” 

 

Setelah melihat pengumuman yang ditempel Habib, orangorang pun datang berbondong-bondong ke rumah Habib. Habib memberikan harta kekayaannya kepada mereka dan akhirnya ia tak mempunyai sesuatu pun juga. Namun, masih ada seseorang yang datang untuk meminta, kepada orang ini Habib memberikan cadar isterinya sendiri. Kemudian datang pula dan kepadanya Habib memberikan pakaian yang sedang dikenakannya,  sehingga tubuhnya terbuka. Ia lalu pergi beruzlah ke sebuah tempat pengasingan di pinggir sungai Eufrat, dan di sana ia membaktikan diri untuk beribadah kepada Allah. Siang malam ia belajar di bawah bimbingan Hasan. 

 

Waktu pun berputar sesuai dengan kendali-Nya, Habib sudah benar-benar dalam keadaan papa, tetapi isterinya masih tetap menuntut biaya rumah tangga kepadanya. Maka pergilah Habib meninggal-kan rumahnya menuju tempat pengasingan untuk melakukan kebaktiannya kepada Allah dan apabila malam tiba barulah ia pulang. 

“Di mana sebenarnya kau bekerja sehingga tak ada sesuatu pun yang kau bawa pulang?” desak isterinya. 

“Wahai isteriku, aku bekerja pada seseorang yang sangat pemurah”, jawab Habib mantap. ”Sedemikian Pemurahnya Ia sehingga aku malu meminta sesuatu kepada-Nya, apabila saatnya nanti pasti ia akan memberi.” 

 

Demikianlah setiap hari Habib pergi ke tempat pengasingannya untuk beribadah kepada Allah. Pada waktu shalat Zuhur di hari yang ke sepuluh, sebuah pikiran mengusik batinnya, ”Apakah yang akan kubawa pulang nanti? Apakah yang harus kukatakan kepada isteriku?” 

 

Lama ia termenung dalam perenungannya itu. Tanpa sepengetahuannya Allah Yang Maha Besar telah mengutus pesuruh-pesuruh-Nya ke rumah Habib. Yang seorang membawakan sepemikulan keledai, yang lain membawa kambing yang telah dikuliti, dan yang terakhir membawa minyak, madu, rempah-rempah dan bumbu-bumbu. Semua itu mereka pikul dengan disertai seorang pemuda gagah yang membawa sebuah kantong berisi 300 dirham perak. Sesampai di rumah Habib, si pemuda mengetuk pintu dan mengucapkan salam. 

 

“Apakah maksud kalian datang kemari?” tanya isteri Habib setelah menjawab salam dan membuka pintu. 

“Majikan kami telah menyuruh kami untuk mengantarkan barang-barang ini” jawab pemuda gagah ”tolong sampaikan kepada Habib, ‟Bila engkau melipatgandakan jerih payahmu, maka Kami akan melipatgandakan upahmu”. Setelah berkata demikian mereka pun berlalu. 

 

Setelah matahari terbenam Habib berjalan pulang. Ia merasa malu dan sedih. Ketika hampir sampai ke rumah, terciumlah olehnya bau roti dan masakan. Dengan berlari isterinya datang me-nyambut, menghapus keringat di wajahnya dan bersikap lembut kepadanya, sesuatu yang belum pernah dilakukannya di waktu yang sudahsudah. 

 

“Wahai suamiku, majikanmu adalah seorang yang sangat baik dan pengasih. Lihatlah segala sesuatu yang telah dikirimkannya kemari melalui seorang pemuda gagah dan tampan. Pemuda itu berpesan, ‟Bila Habib pulang katakan padanya, „Bila engkau melipatgandakan jerih payahmu, maka Kami akan melipatgandakan upahmu‟.” 

Habib terheran-heran. 

“Sungguh menakjubkan. Baru sepuluh hari aku bekerja, sudah sedemikian banyak imbalan yang dilimpahkan-Nya kepadaku.” 

Sejak saat itu Habib memalingkan wajahnya dari segala urusan dunia dan membaktikan dirinya kepada Allah semata. 

 

 

#Syaiful_Anwar

#Fakultas_Ekonomi

#Universitas_Andalas

#Kampus2_Payakumbuh

#One_Hour_Awardness

#Taubatnya_Sang_Rentenir

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *