Sekolah Rakyat Jadi Ruang Inovasi Sosial untuk Mengatasi Kesenjangan Pendidikan dan Digital di Daerah 3T

Matarakyat24.com, Jakarta, 14 November 2025 — Forum Diskusi Publik bertema “Sekolah Rakyat Sebagai Ruang Belajar Sosial dan Perubahan” menegaskan kembali pentingnya pendidikan berbasis komunitas sebagai solusi ketimpangan akses pendidikan dan literasi digital yang masih terjadi di berbagai daerah Indonesia. Para narasumber yang hadir sepakat bahwa Sekolah Rakyat tidak lagi sekadar alternatif, tetapi telah menjadi ruang inovasi sosial yang efektif menjangkau kelompok yang tertinggal oleh sistem pendidikan formal dan pesatnya transformasi digital.

 

Anggota Komisi I DPR RI, Sabam Rajagukguk, memaparkan bahwa tantangan pendidikan di Indonesia masih sangat besar. Data BPS 2024 mencatat lebih dari 12.000 desa belum memiliki fasilitas pendidikan lengkap dan lebih dari 5 juta anak berada dalam kategori rentan putus sekolah. Dalam konteks tersebut, Sekolah Rakyat menjadi jembatan pendidikan yang memungkinkan anak-anak di daerah terpencil tetap mendapatkan pembelajaran berkualitas, sekaligus memperkuat karakter, kebiasaan hidup sehat, dan keterampilan sosial.

 

Sabam juga menyoroti kesenjangan digital yang semakin terasa, terutama di wilayah 3T. “Sebanyak 33% masyarakat di daerah 3T belum terhubung internet secara stabil. Ketika pendidikan formal semakin digital, kesenjangan ini bisa menciptakan ‘lost generation digital’,” ujarnya. Ia melihat Sekolah Rakyat sebagai ruang pembelajaran yang mampu mengombinasikan metode tatap muka dengan literasi digital dasar, sehingga anak-anak tidak tertinggal oleh arus teknologi.

 

Rektor Universitas Sains Indonesia, Dr. Endah Murtiana Sari, menambahkan bahwa Sekolah Rakyat juga berfungsi sebagai ruang sosial yang memperkuat solidaritas dan nilai-nilai gotong royong. Banyak relawan—mahasiswa, pemuda desa, hingga tokoh adat—yang terlibat dalam kegiatan ini, menciptakan hubungan lebih personal dan hangat dibandingkan pembelajaran formal. Ia menyebut bahwa Sekolah Rakyat bahkan menjadi ruang psikososial bagi anak-anak yang mengalami perundungan atau tekanan sosial. “Hubungan yang cair dan berbasis komunitas membuat anak merasa diterima dan didukung,” kata Endah.

 

Selain pendidikan dasar, Sekolah Rakyat juga mengajarkan keterampilan praktis seperti pengelolaan gizi, kebersihan lingkungan, pertanian sederhana, hingga pemanfaatan teknologi untuk kebutuhan sehari-hari. Hal ini penting mengingat angka stunting Indonesia masih berada di 21,5% pada 2024, sehingga edukasi gizi melalui ruang komunitas sangat relevan untuk perubahan perilaku keluarga.

 

Dari sisi literasi digital, Endah menekankan bahwa masyarakat masih perlu memahami penggunaan layanan publik berbasis teknologi, mulai dari akses kesehatan hingga bantuan sosial. Lebih dari 40% penerima bansos di daerah terpencil belum mahir menggunakan smartphone, dan Sekolah Rakyat membantu menjembatani keterbatasan tersebut.

 

Sejalan dengan itu, perwakilan Gugus Tugas Sekolah Rakyat, Aswandi, menggambarkan bagaimana Sekolah Rakyat tumbuh sebagai pusat pemberdayaan masyarakat di banyak daerah. Menurutnya, Sekolah Rakyat menjadi ruang belajar bagi semua kalangan—anak-anak, orang tua, hingga pemuda—dengan suasana yang lebih fleksibel dan kontekstual terhadap budaya lokal. Ia juga menekankan pentingnya literasi digital kontekstual, termasuk kemampuan mengenali hoaks dan ancaman penipuan online yang jumlahnya mencapai lebih dari 5.600 kasus pada 2023–2024.

 

Namun, Aswandi tidak menutup mata terhadap tantangan yang masih dihadapi. Keterbatasan infrastruktur, pendanaan, dan tenaga relawan menjadi hambatan utama. Banyak Sekolah Rakyat yang masih menggunakan balai desa, rumah warga, atau ruang darurat dengan fasilitas yang minim. Meski demikian, ia menilai bahwa kreativitas pengajar serta semangat gotong royong masyarakat membuat Sekolah Rakyat terus bertahan dan berkembang.

 

Forum sepakat bahwa keberadaan Sekolah Rakyat perlu diperkuat melalui kolaborasi antara pemerintah, kampus, dunia usaha, dan masyarakat sipil. Dengan dukungan ekosistem yang lebih mapan, Sekolah Rakyat dapat menjadi fondasi perubahan sosial yang lahir dari akar rumput—menghubungkan pengetahuan, budaya lokal, dan teknologi untuk membangun generasi yang lebih kritis, adaptif, dan berdaya saing.

 

“Sekolah Rakyat bukan ruang darurat, tetapi ruang inovasi sosial. Ia tumbuh dari kebutuhan masyarakat, dan dari sana lahir harapan baru bagi masa depan pendidikan Indonesia,” tutup Aswandi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *