Matarakyat24.com –Keresahan publik Banten pasca Idul fitri 1446 H / 2025 kembali mengemuka, kali ini mengarah pada institusi strategis: Dinas Pariwisata Provinsi Banten. Dalam dua bulan terakhir, kepemimpinan Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Dinas, Linda Rohyati Fatimah, menunjukkan pola yang tidak hanya stagnan, namun juga sarat akan dugaan praktik manipulatif dan relasionalisme kekuasaan. Dalam konteks reformasi birokrasi yang menekankan meritokrasi, kondisi ini menjadi tamparan keras bagi harapan masyarakat terhadap arah pembangunan pariwisata yang transparan dan akuntabel.
Tb.Delly suhendar Ketua Umum Perkumpulan eks Napi mengatakan “Pasca libur panjang Idul fitri 2025, sejumlah destinasi unggulan seperti Pantai Anyer, Carita, hingga Tanjung Lesung mengalami lonjakan kunjungan. Namun alih-alih menjadi momen kebangkitan ekonomi daerah, yang terjadi justru keluhan publik membanjiri kanal aduan resmi. Data dari Posko Satpol PP mencatat 172 aduan masyarakat sepanjang H+2 hingga H+5 Lebaran, mulai dari pungli parkir, tiket wisata yang melambung 2–3 kali lipat, hingga fasilitas MCK rusak di lokasi wisata utama. Ini mencerminkan absennya pengawasan dan koordinasi dari Dinas Pariwisata di bawah kendali Linda.”
‘Ketidakmampuan Plt. Kadispar memitigasi risiko sosial dan pelayanan publik di masa puncak kunjungan wisata menunjukkan lemahnya kapasitas manajerial. Tidak terlihat adanya koordinasi terpadu dengan Balawista, Pokdarwis, ataupun aparat keamanan lokal. Padahal, sinergitas lintas sektoral menjadi elemen fundamental dalam tata kelola pariwisata berkelanjutan.” Lanjutnya.
Tb. Delly suhendar juga mengatakan”Lebih mengkhawatirkan lagi, mencuatnya dugaan praktik “jual nama” dalam proses promosi jabatan internal. Inisial “Nk”, seorang pejabat fungsional di lingkungan Dispar, diduga aktif mengatasnamakan “Bang Andra” alias Gubernur terpilih Andra Sony untuk menjanjikan posisi strategis, termasuk untuk dirinya sendiri dan “RH”. Tindakan ini mencederai etika birokrasi serta menihilkan kompetisi berbasis kapabilitas dan rekam jejak kinerja.”
Dia juga menerangkan bahwa “Delegasi berlebihan dari Linda kepada dua figur tersebut kian mempertegas bahwa kepemimpinannya tidak berbasis objektivitas, melainkan kompromi politis dan relasi personal. Hal ini sejalan dengan temuan internal yang mengungkap bahwa proses pemetaan SDM dalam lingkungan Dispar mengalami stagnasi, bahkan cenderung dilakukan secara tertutup.”
“Padahal, berdasarkan RPJMD Provinsi Banten 2023–2026, sektor pariwisata ditargetkan mampu meningkatkan kontribusi PAD sebesar 8,5% dari total pendapatan daerah. Namun, dalam triwulan pertama 2025, capaian riil hanya menyentuh 3,2%—jauh di bawah target. Ini mengindikasikan gagalnya strategi promosi wisata dan minimnya inovasi layanan digital yang seharusnya mendongkrak performa kunjungan dan pendapatan.” Ujar dia
Dia menambahkan”Yang lebih tragis, saat publik menanti evaluasi menyeluruh, justru berhembus isu bahwa Linda disiapkan untuk menjadi Kadispar definitif. Jika ini benar, maka akan sangat disayangkan—karena menunjuk pejabat berdasarkan kedekatan bukan prestasi adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi birokrasi.”
“Pemerintah Provinsi Banten harus menjawab, apakah promosi jabatan ini berdasar evaluasi kinerja atau sebatas skenario kekuasaan. Kekacauan ini tidak dapat dipisahkan dari absennya prinsip good governance yang seharusnya dijadikan pilar dalam setiap lini birokrasi daerah. Di tengah meningkatnya tuntutan publik atas transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi, praktik semacam ini justru berpotensi menciptakan distrust publik terhadap pemerintah daerah secara menyeluruh.” Ujar dia
Lebih jauh dia mengatakan “, indikasi pembiaran terhadap tindakan “jualan jabatan” oleh oknum dalam lingkup Dispar mempertegas lemahnya fungsi pengawasan internal. Gubernur terpilih harus mengambil sikap, bukan hanya untuk menyelamatkan marwah pemerintahan, tetapi juga untuk menghindari degradasi moral aparatur yang lebih luas di masa depan.”
Untuk itu dia Berharap, pencopotan Plt. Kadispar bukan hanya menjadi langkah administratif, tetapi bentuk keberpihakan terhadap akal sehat publik. Reformasi birokrasi tidak boleh dikalahkan oleh oligarki mini di level OPD. Jabatan publik harus dikembalikan kepada prinsip kompetensi dan rekam jejak, bukan lobi dan kedekatan.
‘Inilah rapot merah pariwisata Banten di tangan kepemimpinan yang keliru: gagal di fungsi pelayanan, gagal dalam tata kelola SDM, dan gagal membangun kepercayaan publik. Jika Gubernur Andra Sony ingin meninggalkan jejak sejarah sebagai pemimpin yang bersih dan berpihak, maka langkah pertamanya harus tegas—bersihkan Dinas Pariwisata dari kepemimpinan yang membebani, bukan menginspirasi. Karena dari rapot merah inilah, kita bisa mulai menulis ulang lembaran baru untuk pariwisata Banten yang lebih maju dan bermartabat.” Pungkasnya.(rls)