PDIP Berhasil Mengambil Momentum di Pilkada

Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan/Dok.Pribadi
Efriza, Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan/Dok.Pribadi
banner 120x600

Oleh: Efriza|Dosen Ilmu Politik di Beberapa Kampus dan Owner Penerbitan

Matarakyat24.com –PARTAI Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berhasil mengambil momentum. Tak tangung-tanggung sikap tegas PDIP menghadirkan simpatik besar masyarakat kepada partai politik ini.

Simpatik pertama, PDIP menjadi satu-satunya partai politik di Senayan yang konsisten mendukung pelaksanaan hasil Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yakni Putusan Nomor 60 dan Putusan Nomor 70.

Simpatik besar kedua adalah, PDIP menjadi satu-satunya partai politik yang membela calon-calon gubernur pilihan masyarakat berdasarkan elektabilitas besar sosok-sosok tersebut, sebut saja Airin Rachmi Diany sebagai calon gubernur di Banten dan Anies Baswedan di Jakarta. Tanpa PDIP, jelas bahwa kans Airin dan Anies untuk maju sebagai calon gubernur sirna.

Berkah Putusan MK Nomor 70 telah diambil momentumnya oleh PDIP untuk menyelamatkan Anies dan Airin untuk diajukan sebagai calon gubernur oleh PDIP dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Jakarta dan Banten. Tulisan ini ingin membahas dinamika politik tersebut.

Anies Beruntung Maju dengan PDIP
PDIP memang berhasil memanfaatkan peluang dari Putusan MK Nomor 70. Hanya saja, PDIP tampak belum bersemangat untuk menunjukkan kualitas diri sebagai Banteng yang kuat dan tangguh.

PDIP baru mengambil peluang di Pilkada Banten dengan mengajukan Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi. Jika dicermati, peluang ini diambil karena Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi sudah lama dideklarasikan, kemudian adanya isu membatalkan Airin, ini yang menghadirkan kekhawatiran PDIP sebagai penonton di Banten semata.

Maka deklarasi Airin-Ade perlu segera dilakukan, meski Airin tidak didukung oleh Golkar, akibat Putusan MK Nomor 70 yang menurunkan ambang batas pencalonan berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sehingga PDIP bisa mengajukan pasangan calon sendiri.

Momentum yang diambil oleh PDIP, sayangnya tidak dibungkus dengan upaya “menjaketkan” Airin sebagai kader PDIP. Airin tetap kader Golkar, maka jika Airin terpilih Golkar akan tetap sebagai penguasanya, itu tak bisa dibantahkan dan diabaikan.

Airin yang berhasil menunggangi Banteng dengan politik pragmatisnya, sedangkan PDIP hanya berusaha mengambil momentum semata. Pasca terpilih Airin, memungkinkan Koalisi Indonesia Maju (KIM) tetap yang akan berperan penting di pemerintahan, ini fakta yang juga menyertainya.

Airin tetap berssama Golkar, dan KIM masih menjadi kekuatan penopang pemerintahan, PDIP berperan tetap menjadi partai politik posisi kedua di pemerintahan.

Hal yang sama juga terjadi di Jakarta, tampak sekali PDIP tidak bisa “menjaketkan” Anies Baswedan sebagai kader Banteng. Malah PDIP tampak tidak bisa menghadirkan kenyataan bahwa Anies yang butuh PDIP, bukan sebaliknya PDIP butuh Anies.

Sebab faktanya, elektabilitas Anies yang tinggi dan Anies diharapkan maju oleh masyarakat, ini yang tidak bisa disingkirkan oleh PDIP. Padahal, tanpa PDIP, maka Anies tidak bisa mengajukan diri sebagai calon gubernur, meski didukung penuh oleh rakyat.

Begitu juga dengan Airin, karena sudah dibatalkan oleh Golkar pencalonan dirinya dengan berpasangan bersama Ade Sumardi dari PDIP. Tetapi nyatanya, PDIP hanya mengambil momentum saja, melihat peluang Anies dan Airin berelektabilitas besar, tetapi Airin dan Anies masih bisa nyaman dengan pilihan dirinya sendiri yakni Anies sebagai orang non partai politik dan Airin sebagai kader golkar.

Ini yang menunjukkan PDIP kurang kuat posisi tawarnya, PDIP kurang berani dalam unjuk gigi, PDIP kurang dapat menunjukkan keberanian menampakkan kualitas sebagai organisasi politik.

Bahkan semestinya, Airin dan Anies yang merupakan para calon berelektabilitas tinggi yang membutuhkan dan memilih PDIP, bukan sebaliknya, PDIP yang tampak sekali membutuhkan mereka untuk meraih kemenangan di Pilkada.

Semestinya, malah PDIP di berbagai daerah sebut saja seperti, di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra Utara, dan Jawa Barat. PDIP berani mengajukan calon-calon lainnya sendiri tanpa berkoalisi. Kecuali Jawa Tengah dan Sumatra Utara, PDIP memang bisa mengusung calon sendiri tanpa Putusan MK.

Artinya, berkah Putusan MK Nomor 70, PDIP semestinya berani menjadi partai politik tunggal penantang KIM Plus. Sehingga, PDIP bisa memperoleh simpatik besar oleh masyarakat. Begitu juga di tingkat provinsi, kabupaten/kota lainnya misalnya.

PDIP harus berani mengambil momentum dengan menunjukkan PDIP bisa berjaya, digdaya tanpa perlu memikirkan barisan koalisi, maupun memikirkan hanya mengincar posisi calon wakil semata.

PDIP semestinya berani menjadikan keputusan MK sebagai berkah dengan mengajukan pasangan sendiri. Tanpa harus berpikir bahwa akan digagalkan oleh KIM.

Maupun mencari pasangan dari partai-partai politik lainnya dengan harapan tidak digaet oleh KIM menjadi KIM Plus. Maupun sekadar membidik posisi nomor dua sebagai wakil semata di Pilkada ini.

PDIP sudah benar menjadi oposisi. PDIP sudah benar menjadi satu-satunya partai yang berdiri tegak mengawal konstitusi dan berusaha menyelenggarakan Pilkada dengan benar-benar terciptanya kompetisi. Demokkrasi semestinya yang digaungkan oleh PDIP, setelah Putusan MK, maka ini adalah momentumnya PDIP mengambil simpatik masyarakat.

PDIP berani memberikan dukungan kepada calon-calon yang terancam diganjal, maupun calon yang elektabilitasnya tinggi tetapi direcoki oleh partai-partai politiknya sendiri karena narasi soliditas KIM.

Ini juga merupakan momentum PDIP menunnjukkan meski PDIP sendiri tanpa berkoalisi tetapi menjadi lawan sepadan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra Utara, Jawa Barat, Jakarta, dan Banten; bagi KIM Plus dengan hadirinya kompetisi dari pasangan calon yang dihadirkan oleh PDIP.

Dinasti Politik Atut, Airin Diselamatkan PDIP
PDIP kemarin telah mendeklarasikan mendukung Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi tanpa didukung Golkar. Sejak hadirnya Putusan MK Nomor 70 maka rencana membatalkan putusan Golkar mengusung Airin, faktanya tak berimplikasi.

Walaupun Airin tak didukung Bahlil sebagai Ketua Umum Golkar yang baru dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Banten juga telah menyatakan tak lagi mendukung Airin sebagai calon gubernur (cagub). Tetapi Airin secara personal sebagai kader Golkar dapat maju sendiri dengan diajukan oleh PDIP sebagai calon gubernur berpasangan dengan kader PDIP Ade Sumardi.

PDIP berhasil mengambil kesempatan besar, calon-calon yang elektabilitasnya besar tetapi diganggu proses pencalonannya setelah bersama dengan Anies Baswedan, kemudian PDIP bersama dengan Airin. Terlepas Airin adalah Dinasti Politik Banten dari Keluarga Ratu Atut, tetapi rencana Golkar membatalkan Airin dengan mengalihkan dukungan kepada Andra-Dimyati menjadi sebuah fakta dari kesalahan fatal dilakukan oleh Golkar.

Terbuangnya Airin sebagai Keluarga Dinasti Banten, ini yang dimanfaatkan oleh PDIP untuk mendapatkan potensi kemenangan. Sebab Airin berelektabilitas tinggi, juga dari penguasa politik dinasti Banten. Airin dan Dinasti Politiknya masih disukai dan akan dipilih oleh mayoritas besar masyarakat Banten berdasarkan elektabilitasnya yang tinggi, ini adalah keuntungan besar yang didapatkan oleh PDIP. PDIP dapat menjadi partai politik yang akan dicintai oleh masyarakat Banten.

Fakta membuktikan memang Golkar hanya berusaha menyenangkan KIM Plus dengan berusaha solid melalui pembatalan pencalonan Airin sebagai calon gubernur. Nyatanya, Andra Soni-Dimyati Natakusumah tidak memperoleh dukungan elektabilitas dari rakyat yang besar. Andra malah politisi yang tak memperoleh tempat di hati masyarakat Banten karena elektabilitasnya tak berdaya, bahkan kalah sama Dimyati yang meski kecil elektabilitasnya ketimbang Airin, tetapi Dimyati elektabilitasnya lebih baik ketimbang calon gubernurnya Andra Soni.

Golkar akhirnya memainkan peran “berwajah ganda.” Satu sisi tak mendukung Airin tetapi sisi lain Airin tetap kader Golkar. Memungkinkan jika Airin memerintah seluruh partai politik KIM kembali mendukung Airin dan keluarganya sebagai penguasa politik Banten.

Tentu saja prediksi ini, menyiratkan bahwa PDIP perlu hati-hati, sebab Airin setelah terpilih dapat berpaling kepada Golkar karena keluarga Atut di partai Golkar begitu juga Airin masih kader Golkar. PDIP hanya dijadikan politik pragmatis dinasti politik Banten untuk tetap berjaya dengan menunggangi Banteng.

Meski fakta dalam Pilgub saat ini, tetap tercatat bahwa jika tanpa PDIP, maka keluarga Dinasti Politik Atut pertama kali dalam sejarahnya tak berdaya. Airin ditolak di Jakarta, dan di Banten tak mendapatkan kendaraan politik setelah dibatalkan oleh Golkar.

Kemudian, Airin ditampung dan diajukan oleh PDIP sehingga bisa mencalonkan diri sebagai calon gubernur kembali. Bahkan, Airin dikerjai partai-partai politik, utamanya partainya sendiri Golkar, dan perjuangan Airin memenangkan Prabowo-Gibran sebagai Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Banten tak diberikan apresiasi dengan didukung oleh Gerindra dan Prabowo, padahal Prabowo yang berjanji akan mendukung Airin sebagai Gubernur saat berkampanye.

PDIP telah menyelamatkan karir politik Airin, sekaligus karir perjalanan politik dinasti Banten diselamatkan PDIP, PDIP bisa unjuk gigi seperti ini karena akibat berkah putusan MK. Catatan dari fakta ini, Airin butuh PDIP, PDIP memanfaatkan elektabilitas Airin dengan mendukung Airin sekaligus menggandeng dengan wakil gubernurnya dari PDIP. PDIP berhasil memanfaatkan peluang emas dari putusan MK Nomor 70, itu faktanya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *