Oleh: RIZKI MEDISANDI HARAHAP
Matarakyat24.com – Fungsionaris PB HMI-MPO, Komisi Hilirisasi ESDM (Mantan Korwil Sumut–Aceh Badko HMI-MPO Sumbagtera) Langkah Gubernur Aceh, Tgk. Muzakir Manaf (Muallem), yang menindaklanjuti hasil Panitia Khusus (Pansus) Minerba DPR Aceh pada rapat paripurna 25 September 2025 patut diapresiasi. Keputusan untuk menghentikan aktivitas tambang emas ilegal dan menertibkan seluruh kegiatan pertambangan tanpa izin merupakan wujud keberpihakan pemerintah daerah kepada rakyat serta lingkungan hidup Aceh.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa praktik tambang ilegal selama ini tidak hanya mengakibatkan kerusakan ekologis yang serius—mulai dari pencemaran sungai, kerusakan hutan, hingga ancaman longsor—tetapi juga tidak memberi kontribusi signifikan bagi pendapatan daerah. Dengan kata lain, Aceh hanya menerima dampak buruk tanpa memperoleh manfaat ekonomi yang sepadan.
Keberanian Gubernur Muallem dalam mengeluarkan instruksi penghentian tambang ilegal sekaligus mengusir alat berat dari kawasan pertambangan dalam jangka dua pekan ke depan merupakan kebijakan strategis yang pantas mendapat dukungan. Langkah ini jelas memperlihatkan komitmen bahwa tata kelola sumber daya alam di Aceh tidak boleh lagi dikuasai oleh praktik ilegal yang merugikan rakyat banyak.
Namun demikian, kebijakan tegas semata tentu tidak cukup. Pemerintah Aceh juga tengah menyiapkan regulasi agar aktivitas tambang dapat dilakukan secara legal melalui skema koperasi berbasis pertambangan rakyat. Inisiatif ini merupakan solusi tepat agar masyarakat tidak kehilangan mata pencaharian, sekaligus memastikan bahwa pengelolaan tambang berlangsung dalam koridor hukum dan memberi pemasukan resmi bagi daerah.
Sebagai Fungsionaris PB HMI-MPO di Komisi Hilirisasi ESDM, sekaligus mantan Koordinator Wilayah HMI-MPO Sumut–Aceh Badko Sumbagtera, saya melihat kebijakan ini selaras dengan visi hilirisasi sektor energi dan sumber daya mineral. Hilirisasi bukan hanya dimaknai sebagai proses meningkatkan nilai tambah dari hasil tambang, tetapi juga sebagai upaya membangun tata kelola yang berkeadilan, transparan, dan menyejahterakan masyarakat di tingkat akar rumput.
Aceh memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, namun tanpa tata kelola yang baik, potensi itu justru akan menjadi kutukan. Oleh karena itu, keputusan Gubernur Aceh harus dijadikan momentum untuk membangun tata kelola pertambangan yang sehat, dengan mengedepankan asas keberlanjutan lingkungan, kepastian hukum, dan keadilan sosial bagi masyarakat.
Ke depan, tantangan terbesar adalah memastikan konsistensi implementasi di lapangan. Aparat penegak hukum dan pemerintah daerah tidak boleh memberi ruang bagi para cukong yang kerap memanfaatkan celah hukum untuk menghidupkan kembali tambang ilegal. Sebaliknya, masyarakat harus didampingi dalam transisi menuju sistem pertambangan legal agar mereka tidak lagi terjebak dalam stigma sebagai pelaku ilegal, melainkan dilibatkan sebagai subjek pembangunan.
Pada akhirnya, sikap tegas Gubernur Muallem perlu dipahami bukan hanya sebagai larangan, tetapi juga sebagai upaya menyelamatkan masa depan Aceh. Dengan tata kelola pertambangan yang berkeadilan, Aceh dapat keluar dari lingkaran kerusakan lingkungan dan mulai membangun basis ekonomi daerah yang kokoh serta berpihak pada kesejahteraan rakyat.