
Buku merupakan salah satu instrumen utama dalam pengembangan intelektual individu. Ungkapan yang menyatakan bahwa “buku adalah jendela dunia” bukanlah sekadar pernyataan retoris, melainkan sebuah kebenaran yang mencerminkan peran fundamental literasi dalam proses pembentukan pola pikir manusia. Bagi mahasiswa, keberadaan buku memiliki posisi yang sangat sentral. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah sejauh mana mahasiswa dewasa ini menjadikan buku sebagai bagian integral dalam aktivitas akademik dan kehidupannya.
Mahasiswa dikenal sebagai agent of change sekaligus social control. Kedua peran tersebut menuntut kapasitas intelektual yang matang, kemampuan analitis yang kritis, serta kepekaan sosial yang tinggi. Akan tetapi, pencapaian ideal ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya kebiasaan membaca buku secara konsisten dan mendalam. Membaca merupakan proses yang memungkinkan mahasiswa memperoleh pengetahuan, memperluas wawasan, serta memperdalam pemahaman terhadap isu-isu yang berkembang, baik pada tataran lokal maupun global.
Fenomena yang muncul di era digital menunjukkan bahwa minat membaca buku di kalangan mahasiswa mengalami penurunan. Banyak mahasiswa lebih memilih mengonsumsi informasi singkat melalui media sosial dibandingkan dengan menelaah literatur akademik, jurnal ilmiah, atau karya-karya klasik. Hal ini berimplikasi pada dangkalnya kapasitas analisis serta melemahnya kemampuan argumentatif yang berbasis data. Padahal, buku menyediakan fondasi yang kokoh bagi mahasiswa untuk membangun kerangka berpikir kritis dan sistematis.
Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa membaca bukan hanya aktivitas teknis, melainkan juga aktivitas reflektif dan kritis. Dengan membaca, seseorang mampu memahami realitas sosial dan kemudian melakukan transformasi. Dalam konteks mahasiswa, kebiasaan membaca buku memungkinkan lahirnya kesadaran kritis (critical consciousness) yang diperlukan untuk menjalankan fungsi sebagai pengawal perubahan sosial.
Selain itu, Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, menegaskan pentingnya pendidikan yang membebaskan. Menurutnya, proses belajar tidak boleh terlepas dari penguasaan pengetahuan yang bersumber dari buku dan literatur. Buku menjadi sarana bagi mahasiswa untuk memperkaya intelektualitas sekaligus membangun karakter.
Kebiasaan membaca buku tidak seharusnya dipandang sebagai aktivitas yang semata-mata bertujuan memenuhi tugas kuliah atau penyusunan skripsi. Lebih dari itu, membaca buku adalah kebutuhan akademik dan intelektual yang menentukan kualitas seorang mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa. Sejalan dengan pendapat John Dewey, seorang filsuf pendidikan, yang menyatakan bahwa pendidikan sejati adalah proses rekonstruksi pengalaman secara terus-menerus. Proses rekonstruksi ini tidak akan terjadi tanpa basis literasi yang kuat melalui buku.
Sejarah mencatat bahwa berbagai gerakan besar mahasiswa di tingkat nasional maupun internasional tidak lahir dari ruang kosong. Ide, gagasan, dan strategi perjuangan banyak dipengaruhi oleh intensitas membaca buku yang tinggi. Melalui literatur, mahasiswa mampu merumuskan pemikiran kritis yang kemudian diwujudkan dalam bentuk gerakan sosial maupun kontribusi nyata terhadap perubahan. Dengan demikian, buku dapat dikatakan sebagai energi intelektual yang membedakan mahasiswa dari kelompok masyarakat lainnya.
Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa tradisi membaca buku kian tergerus oleh budaya instan. Mahasiswa lebih sering mengandalkan ringkasan, cuplikan, atau bahkan praktik plagiarisme daripada menguasai teks secara utuh. Jika kecenderungan ini terus berlangsung, peran mahasiswa sebagai motor perubahan akan kehilangan relevansinya.
Oleh karena itu, membaca buku bagi mahasiswa bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban akademik dan moral. Dengan membaca, mahasiswa akan lebih mampu berpikir kritis, menyampaikan aspirasi secara argumentatif, serta menawarkan solusi berbasis kajian ilmiah. Mahasiswa yang tekun membaca tidak mudah dipengaruhi oleh informasi menyesatkan, tidak mudah diprovokasi, dan memiliki kemampuan untuk menilai suatu persoalan secara objektif.
Dapat disimpulkan bahwa penguatan budaya membaca buku merupakan salah satu kunci strategis dalam mencetak mahasiswa yang berdaya saing, berkarakter, dan berkontribusi positif bagi pembangunan bangsa. Tanpa tradisi membaca, mahasiswa hanya akan menjadi generasi reaktif tanpa arah. Sebaliknya, dengan menjadikan buku sebagai bagian dari gaya hidup akademiknya, mahasiswa akan tumbuh sebagai insan intelektual yang mampu mengawal kemajuan bangsa menuju masa depan yang lebih baik.










