Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
وَلا حَ ِٓ ُِ ا وَلا تََزَُُْ ا وَأَجخًُْ ُ الأغْئَ ْنَ إنِْ نُ خًُْ ْ مُؤٌْ ِِيِنَ 139
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran [3]: 139)
Jangan itu akan bersikap lemah dan bersedih hati, karena bersedih memadamkan kobaran api semangat, meredakan tekad, dan membekukan jiwa. Dan kesedihan itu ibarat penyakit demam yang membuat tubuh menjadi lemas tak berdaya. Mengapa demikian?
Tak lain, karena kesedihan hanya memiliki daya yang menghentikan dan bukan menggerakkan. Dan itu sama sekali tidak bermanfaat bagi hati. Bahkan, kesedihan merupakan satu hal yang paling disenangi setan. Maka dari itu, setan selalu berupaya agar seorang hamba bersedih untuk menghentikan setiap langkah dan niat baiknya. Ini telah diperingatkan Allah dalam firman-Nya,
إجٍِّ َا النشٍّْ َٔى ٌِ ََ الشٍّيػَْانِ لَِِحْزُنَ الٍَِّّي ََ آٌ َ ُِ ا وَىَي سَْ ةظَِارِّْ ِ ًْ شَيئًْا إلِا بإِذِنِْ اللٍّهِ وَعََلَ اللهِ فَييَْخَ َٔكٍَِّّ الْ ٍُؤٌْ ِ ُِٔنَ 10
“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicaraan itu tiadalah memberi mudharat sedikitpun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah dan kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal.”(QS. Al-Mujadilah [58]: 10)
Syahdan, Rasulullah melarang tiga orang yang sedang berada dalam satu majelis demikian, “(Janganlah dua orang di antaranya) saling melakukan pembicaraan rahasia tanpa disertai yang ketiga, sebab yang demikian itu akan membuatnya (yang ketiga) berduka cita”. Dan bagi seorang Mukmin, kesedihan itu tidak pernah diajarkan dan dianjurkan. Soalnya, kesedihan merupakan penyakit berbahaya bagi jiwa. Karena itu pula, setiap Muslim diperintahkan untuk mengusirnya jauhjauh dan dilarang tunduk kepadanya. Islam juga mengajarkan kepada setiap Muslim agar senantiasa melawan dan menundukkannya dengan segala peralatan yang telah disyariatkan Allah. Bersedih itu tidak diajarkan dan tidak bermanfaat. Maka dari itu, Rasulullah . senantiasa memohon perlindungan dari
Allah agar dijauhkan dari kesedihan. Beliau selalu berdoa :
الَيٍّٓ ُ ًٍّ إنِِّّ أغَُ ذُْ ةمَِ ٌِ ََ الْ َٓ ًِّ وَالُْْزْنِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa sedih dan duka cita.”
Kesedihan adalah teman akrab kecemasan. Adapun perbedaan antara keduanya adalah, manakala suatu hal yang tidak disukai hati itu berkaitan dengan hal-hal yang belum terjadi, ia akan membuahkan kecemasan. Sedangkan bila berkaitan dengan masa lalu, maka ia akan membuahkan kesedihan. Dan persamaannya, keduanya sama-sama dapat melemahkan semangat dan kehendak hati untuk berbuat suatu kebaikan.
Kesedihan dapat membuat hidup menjadi keruh. Ia ibarat racun berbisa bagi jiwa yang dapat menyebabkan lemah semangat, krisis gairah dan galau dalam menghadapi hidup ini. Dan itu, akan berujung pada ketidakacuhan diri pada kebaikan, ketidakpedulian pada kebajikan, kehilangan semangat untuk meraih kebahagiaan, dan kemudian akan berakhir pada pesimisme dan kebinasaan diri tiada tara.
Meski demikian, pada tahap tertentu kesedihan memang tidak dapat dihindari dan seseorang terpaksa harus bersedih karena suatu kenyataan. Berkenaan dengan hal ini, disebutkan bahwa para ahli surga akan berkata,
الَْْهَْدُ لِلهِ ا ذلَِّى أذَْ َبَ عَ ذيا الْْزََنَ
“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami.”
Ini menandakan bahwa ketika di dunia mereka pernah bersedih sebagaimana mereka tentu saja pernah ditimpa musibah yang terjadi di luar ikhtiar mereka. Hanya saja, ketika kesedihan itu harus terjadi dan jiwa tidak lagi memiliki cara untuk menghindarinya, maka kesedihan itu justru akan mendatangkan pahala. Itu, karena kesedihan yang demikian merupakan bagian dari musibah atau cobaan. Maka dari itu, ketika seorang hamba ditimpa kesedihan hendaknya ia senantiasa melawannya dengan doa-doa dan sarana-sarana lain yang memungkin untuk mengusirnya.
وََلاَ عََلَ الٍَِّّي ََ إذَِا َا أَحَ كَْ لَِِحٍْ يَٓ ُ ًْ كُيجَْ لاَ أسَِدُ ٌَ ا أحِْْيُسُ ًْ غَيَيّْ ِ حَ َٔىٍّ ْا وَأخَْيُ ُِ ُٓ ًْ حفَِيضُِ ٌِ ََ الدٌٍّ ْعِ حَزَُاً ألَا يََِدُوا َا حُِفِْلُٔنَ 92
“Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memeroleh kendaraan untuk membawamu.” Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memeroleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS. At-Taubah [9]: 92)
Demikianlah, mereka tidaklah dipuji karena kesedihan mereka semata, tetapi lebih dikarenakan kesedihan mereka itu justru mengisyaratkan kuatnya keimanan mereka. Pasalnya, kesedihan mereka berpisah dengan Rasulullah adalah dikarenakan tidak mempunyai harta yang akan dibelanjakan dan kendaraan untuk membawa mereka pergi berperang. Ini merupakan peringatan bagi orang-orang munafik yang tidak
Merasa bersedih dan justru gembira manakala tidak mendapatkan kesempatan untuk turut berjihad bersama Rasulullah. Kesedihan yang terpuji–yakni kesedihan yang dipuji setelah terjadi–adalah kesedihan yang disebabkan oleh ketidakmampuan menjalankan suatu ketentuan atau dikarenakan tersungkur dalam jurang kemaksiatan. Dan kesedihan seorang hamba yang disebabkan oleh kesadaran bahwa kedekatan dan ketaatan dirinya kepada Allah sangat kurang, maka hal itu menandakan bahwa hatinya hidup dan terbuka untuk menerima hidayah dan cahaya-Nya.
Sementara itu, makna sabda Rasulullah dalam sebuah hadis shahih yang berbunyi, “Tidaklah seorang mukmin ditimpa kesedihan, kegundahan dan kerisauan, kecuali pasti Allah akan menghapus sebagian dosa-dosanya,” adalah menunjuk bahwa kesedihan, kegundahan dan kerisauan itu merupakan musibah dari Allah yang apabila menimpa seorang hamba, maka hamba tersebut akan diampuni sebagian dosa-dosanya. Dengan begitu, hadis ini berarti tidak menunjukkan bahwa kesedihan, kegundahan dan kerisauan merupakan sebuah keadaan yang harus diminya dan dirasakan.
Bahkan, seorang hamba justru tidak dibenarkan meminta atau mengharap kesedihan dan mengira bahwa hal itu merupakan sebuah ibadah yang diperintahkan, diridhai dan disyariatkan Allah untuk hamba-Nya. Sebab, jika memang semua itu dibenarkan dan diperintah Allah, pastilah Rasulullah akan menjadi orang pertama yang akan mengisi seluruh waktu hidupnya dengan kesedihan-kesedihan dan akan menghabiskannya dengan kegundahan-kegundahan. Dan hal seperti itu jelas sangat tidak mungkin. Karena sebagaimana kita ketahui, hati beliau selalu lapang dan wajahnya selalu dihiasi senyuman, hatinya selalu diliputi keridhaan, dan perjalanan hidupnya selalu dihiasi dengan kegembiraan.
Memang, dalam hadis Hindun bin Abi Halah tentang sifat Nabi disebutkan bahwa, “Sesungguhnya dia selalu bersedih”. Namun, hadis ini ternyata kurang dapat diper-caya; sebab dalam silsilah perawinya ada seorang perawi yang tidak dikenal. Selain itu muatan hadis inipun jelas sangat bertentangan dengan realitas kehidupan Rasulullah.
Bagaimana mungkin Rasulullah dikatakan selalu dirundung kesedihan? Bukankah Allah telah melindungi beliau dari kesedihan yang berkaitan dengan urusan keduniaan dan semua unsur-unsurnya, melarangnya agar tidak bersedih atas perilaku orang-orang kafir, dan mengampuni semua dosadosanya yang telah berlalu maupun belum terjadi? Nah, dari manakah sumber kesedihan itu? Bagaimana pula kesedihan itu dapat menembus pintu hati beliau ? Dan dari jalan manakah kesedihan itu dapat menyusup ke dalam lubuk hatinya? Padahal, bukankah beliau senantiasa hatinya diliputi zikir, jiwanya dialiri semangat istiqamah, pikirannya selalu dibanjiri hidayah rabbaniyah, dan hatinya senantiasa tenteram dengan janji Allah dan rela dengan semua ketentuan dan perbuatanNya? Bahkan, Rasulullah adalah orang yang terkenal ramah dan murah senyum sebagaimana dilukiskan oleh salah satu gelarnya sebagai “seorang yang murah senyum”.
Siapa saja yang membaca, menghayati dan mendalami sejarah perjalanan hidup beliau dengan saksama dan menyeluruh, maka ia akan mengetahui bahwa Rasulullah diturunkan ke dunia ini untuk menghancurkan kebatilan, mengusir kesuntukan, kegelisahan, kesedihan dan kecemasan, serta membebaskan jiwa dari tekanan keragu-raguan, kebingungan, kegundahan dan keguncangan. Bersamaaan dengan itu, beliau juga diutus untuk menyelamatkan jiwa manusia dari segala bentuk hawa nafsu yang membinasakan. Maka begitulah, betapa banyaknya karunia Allah yang telah dianugerahkan kepada manusia.
Ada sebuah hadis menyebutkan bahwa, “Sesungguhnya Allah sangat mencintai hati yang senantiasa bersedih.” Namun, hadis ini ternyata tidak memiliki sanad (jalur periwayatan) dan perawi yang jelas, alias kurang dapat dipercaya. Singkatnya, hadis ini jelas kurang dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya. Selain itu, hadis ini juga tidak dapat dikategorikan shahih karena sangat bertentangan dengan ajaran agama dan tuntunan syariat. Dan kalau memang khabar (hadis) itu akan dianggap shahih maka penjelasannya adalah demikian: kesedihan itu adalah salah satu musibah dari Allah yang ditimpakan kepada hamba-Nya untuk mengujinya. Artinya, jika hamba tersebut mampu menghadapinya dengan kesabaran, maka sesungguhnya Allah akan mencintai kesabaran orang tersebut dalam menghadapi cobaan itu.
Demikianlah, maka merupakan kesalahan besar bagi orang-orang yang memuja kesedihan, senantiasa berusaha menciptakan kesedihan, dan mencoba membenar-benarkan kesedihan mereka dengan dalih bahwa syariat telah menganjurkan dan memandangnya sebagai sesuatu yang baik. Sebab, pada kenyataannya dalil-dalil syariat melarang hal itu. Bahkan syariat justru memerintahkan setiap manusia agar tidak bersedih dan selalu ceria.
Hadis lain menyebutkan, “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan memancangkan sebuah gemuruh ratapan di dalam hatinya. Dan apabila Dia membenci seorang hamba, maka Dia akan menanamkan seruling nyanyian di dalam dadanya.” Memang, hadis ini bersumber dan berasal dari Israiliyat (mitos bangsa Israel). Ada pula yang mengatakan bahwa hadis ini termaktub dalam Taurat. Meski demikian, perkataan ini memiliki pesan makna yang benar. Sebagaimana sering kita lihat, orang Mukmin akan senantiasa bersedih atas dosa-dosa yang pernah dilakukannya, sementara orang yang durhaka akan senantiasa lalai, tidak pernah serius, dan berdendang kegirangan justru karena dosa-dosanya. Dan kalau pun ada kesedihan yang menimpa orang-orang saleh maka itu tak lebih dari sebuah penyesalan terhadap kebaikan-kebaikan yang terlewatkan, ketidakmampuan mereka mencapai derajat yang tinggi dan kesadaran bahwa mereka telah banyak melakukan kesalahan. Demikianlah, alasan yang mendasari kesedihan orang-orang yang durhaka. Mereka bersedih karena tidak mendapatkan keduniaan, keindahan, dan kenikmatan duniawi, untuk keduniaan dan di jalan menuju keduniaan.
Dalam sebuah firman-Nya, Allah menceritakan keadaan seorang nabi dari Bani Israel demikian,
“Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anakanaknya). (QS. Yusuf [12]: 84)
Ayat ini mengabarkan kesedihan Nabi Ya’qub saat harus kehilangan anak yang menjadi kekasihnya. Ini merupakan kabar bahwa cobaan tersebut sama beratnya dengan musibah atau ujian yang dirasakan oleh seseorang dapat dipisahkan dengan buah hatinya. Betapapun, ayat di atas hanya sekadar memberi kabar dan lukisan tentang beratnya cobaan seorang nabi. Dan itu bukan berarti bahwa kesedihan seperti itu diperintahkan atau dianjurkan. Bahkan justru sebaliknya; kita diperintahkan untuk beristi’adzah (memohon perlindungan) kepada Allah dari segala kesedihan. Sebab, bagaimanapun kesedihan adalah laksana awan tebal, malam pekat yang panjang dan aral panjang yang melintang di tengah jalan ke arah kemuliaan.
Selain Abu Utsman Al-Jabari, semua ahli sufi sepakat bahwa bersedih karena perkara duniawi itu tidak terpuji. Menurut Abu Utsman, kesedihan itu–apapun bentuknya– adalah sebuah keutamaan dan tambahan kebajikan bagi seorang Mukmin, yakni dengan syarat bila kesedihan itu bukan dikarenakan suatu kemaksiatan. Ia juga menga-takan, “Bahwa kalau kesedihan itu tidak diwajibkan secara khusus, maka ia diwajibkan sebagai sarana mensucikan diri.”
Syahdan, ada pula yang mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa kesedihan merupakan ujian atau cobaan dari Allah sebagaimana halnya penyakit, kegundahan dan kegalauan. Namun jika dikatakan bahwa kesedihan adalah tingkatan yang harus dilalui seorang sufi adalah tidak benar.”
Atas dasar itu, sebaiknya Anda berusaha untuk senantiasa gembira dan berlapang dada. Jangan lupa memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar selalu diberi kehidupan yang baik dan diridhai, kejernihan hati dan kelapangan pikiran. Itulah kenikmatan-kenikmatan di dunia. Betapapun, sebagian ulama mengatakan bahwa di dunia ini terdapat surga, dan barangsiapa tidak pernah memasuki surga dunia itu, ia tidak akan masuk surga akhirat. Surga itu adalah nikmatnya berzikir dan beribadah kepada Allah, dan hidup senantiasa dalam tenteramnya ketaatan.
Allah adalah satu-satunya Zat yang pantas kita mohon agar melapangkan hati kita dengan cahaya iman, menunjukan hati kepada jalan-Nya yang lurus, dan menyelamatkan kita kehidupan yang susah dan menyesakkan.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#21_Pesan_Alqur’an
#Jangan_Bersikap_Lemah_dan_Bersedih_Hati