Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Saudaraku , marilah kita merenungi diri kita… Perenungan yang membuahkan kekuatan ruhani. Renungkanlah dan tanyakanlah pada diri dengan jujur ‟Sudahkah saya ikhlas‟? Mengapa wahai saudaraku…? Karena tanpa kita sadari kita sering tidak ikhlas ketika berkata ‟Ikhlas‟. Dan, sesungguhnya untuk ikhlas itu tidaklah mudah.
Saudaraku, perhatikanlah dengan seksama, datang seseorang membawa uang Rp. 1000.000 (satu juta rupiah), lalu ia berkata kepada pengurus masjid, ”Pak, saya sedekahkan uang ini untuk pem-bangunan masjid ini.
Terimalah Pak, saya ikhlas.” Lalu, ketika pengurus masjid mengumumkan para penyumbang pembangunan masjid, namanya tidak disebut, hatinya kecewa dan bahkan menggerutu. Inikah yang dinamakan ikhlas?
Saudaraku, ketahuilah, sesungguhnya ketika kita berbuat baik, namun tidak dilandasi keikhlasan semuanya akan sirna bagaikan debu di atas batu hitam yang diterbangkan angin. Jadi, Amal baik saja tidak cukup, ia butuh kepada ikhlas. Ikhlas adalah ke-kuatan atau ruh dari amal. Tidak ikhlas tidak ada kekuatan.
Saudaraku, marilah kita renungkan kisah berikut. Tunduk-kan pandangan ke lantai. Pejamkan mata dan bayangkan, andaikata hal ini terjadi pada diri kita….
Dahulu, hiduplah seorang ahli ibadah. Ia telah puluhan tahun beribadah kepada Allah SWT. Suatu hari datanglah sejumlah orang kepadanya untuk memberitahukan bahwa ada satu kaum yang me-ngeramatkan sebuah pohon bahkan sampai di-sembahnya. Mendengar hal itu si ahli ibadah merasa sangat berkewajiban menumpas kemungkaran yang mereka lakukan. Segera ia mengambil sebuah kapak lalu pergi ke tempat pohon tersebut untuk menebangnya.
Di tengah perjalanan si ‟Abid ‟Sang ahli ibadah‟ dihadang oleh Iblis yang menjelma menjadi seorang kakek. Sang kakek itu pun bertanya, ”Hendak kemana, wahai orang yang dimuliakan Allah?” si ‟Abid menjawab dengan jujur, ”Aku hendak menebang pohon yang disembah banyak orang.” Sang kakek pun bertanya lagi, ”Apa urusan-mu dengan pohon itu? Sesungguhnya Anda telah meninggalkan kesibukan untuk beribadah kepada Allah, dan bukankah menebang pohon itu bukan urusan Anda?” merasa dihalangi, sang ahli ibadah pun menjawab, ”Tidak! Ini juga termasuk tugas dan ibadahku.” ”Kalau demikian aku tidak akan mem-biarkan Anda menebang pohon keramat itu.” Lanjut kakek.
Kemudian terjadilah perkelahian dan sang kakek itu pun dapat dilumpuhkan. Tubuh sang kakek yang terkapar di atas tanah itu dibelenggu. Sang kakek pun menghiba, ”Tolong lepaskan aku. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan kepada kepada Anda.” Maka dilepaskanlah ikatan itu, dan sang kakek pun berkata, ”Mengapa Anda lakukan hal ini? Sesungguhnya Allah telah membebaskan dari tugas ini dan tidak mewajibkan Anda untuk melakukannya, toh Anda tidak menyembah pohon tersebut. Lalu apa urusan Anda dengan orang lain. Bukankah Allah punya banyak Nabi di berbagai tempat. Jika Dia menghendaki niscaya akan diangkatnya dari mereka untuk menebang pohon tersebut.”
Sang ahli ibadah pun tetap tegar seraya menjawab, ”Bagaimanapun aku tetap berkewajiban untuk menebangnya.” Sekali lagi terjadilah perkelahian itu, dan kemenangan tetap berada di pihak ahli ibadah. Sang kakek menyadari bahwa kemenangan itu terjadi semata-mata karena si ‟Abid memiliki senjata yang paling ampuh yaitu keikhlasan. Selama keikhlasan masih ada pada dirinya, maka tiada sesuatu kekuatan pun di bumi ini yang sanggup mengalahkannya.
Sang kakek pun mulai berpikir untuk membelokkan keikhlasan tersebut seraya berkata, ”Sebenarnya aku kasihan melihat Anda diremehkan masyarakat karena miskin dan tidak berharta. Bukankah dengan harta itu Anda akan mendapat kedudukan di hadapan rekan-rekan Anda? Dengan harta pula Anda dapat menyantuni tetangga yang miskin dan menolong siapapun yang butuh bantuan. Bukankah itu amalan yang terpuji?” Si ‟Abid pun mulai goyah, ”Benar juga yang Anda katakan.” Sambungnya.
Pulanglah si ‟Abid setelah bernegosiasi dengan membawa janji sang kakek, bahwa tiap hari dia akan menyediakan uang sebanyak dua dirham sebagai imbalan karena mengurungkan niatnya untuk menebang pohon tersebut.
Akhirnya si ‟Abid itu pun telah ditaklukkan iblis yang menjelma menjadi kakek tadi sehingga ia menukarkan keikhlasan dengan dua dirham tiap hari. Namun, iblis ya tetap iblis, kalaulah hari-hari yang lalu ia masih rutin memberikan uang kini tidak lagi. Si ‟Abid pun marah karena telah diperdaya oleh iblis. Diangkatlah kembali kapak yang telah lama disandarkan itu. Ia bergegas pergi untuk menebang pohon yang dikeramatkan.
Di tengah jalan, kembali ia di hadang sang kakek jelmaan iblis itu. Dialog pun terjadi seperti pada awal si ‟Abid itu hendak menebang pohon sampai terjadi perkelahian. Si ‟Abid itu pun kalah dan kalah lagi. Ia heran, lalu bertanya, ”Mengapa aku jadi tak berdaya, bukankah tempo hari aku dapat mengalahkanmu dengan mudah?” Kakek menjawab, ”Ketahuilah, tempo hari Anda marah dan berniat menebang pohon itu semata-mata hanya karena Allah dan mengharap pahala akhirat, maka dengan mudah Anda mengalahkan diriku karena mendapat pertolongan dari Allah dan kini, ketahuilah Anda marah karena memperturutkan hawa nafsu dan karena harta, makan dengan mudah aku dapat mengalahkanmu.”
Saudaraku, camkanlah baik-baik kisah ini. Karena hilang keikhlasan, hilanglah kekuatan. Karena itu, renungkan…tundukkan kepala…pejamkan mata, lalu kenanglah seluruh amal-amal kita, apakah kita melakukannya karena ingin dipuji ataukah semata-mata ingin menggapai ridha Ilahi?
Ingatlah, alangkah malangnya kita andaikata di akhirat nanti, Allah tidak mencatat seluruh kebaikan kita karena kita riya (pamer) kepada manusia ketika hidup di dunia, ”Hai fulan, mintalah pahala kepada orang yang kau pamer padanya.
Aku berlepas darimu.” Usir Allah kepada kita.
Saudaraku, demi Allah, kalaulah Allah SWT mengusir kita di hadapan-Nya mau kemana lagi kita lari, padahal semua makhluk bertumpu dan berharap kepada-Nya.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Heart_Laundry
#Jadikan_Ikhlas_Sebagai_Kekuatan