Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Hari ini begitu cerah. Matahari menyemburatkan cahayanya. Hari ini ia pergi ke Bizantium untuk menawarkan dagangannya kepada perdana menteri. Perjalanan yang cukup jauh tak membuatnya lelah. Bayangan uang dalam pelupuk matanya membuatnya menjadi kuat. Ia membayangkan, ketika perdana menteri membeli dagangannya, ia akan mendapatkan uang yang berlimpah.
Tak terasa ia pun tiba di Bizantium. Ia bahagia sekali, kedatangannya disambut baik perdana menteri. Dan yang paling membuatnya bahagia, dagangan yang ia tawarkan ternyata dibeli oleh perdana menteri. Benar…benar sekali apa yang ia bayangkan.
”Tuan, rasanya urusan bisnisku telah selesai. Mohon izinkan saya untuk pergi dan kembali ke Bashrah!.”
“Eit, tunggu dulu Hasan! Kenapa kamu terburu-buru? Aku ingin mengajakmu. Itu pun kalau tidak keberatan.”
“Mengajakku?”
“Ya.”
“Ke mana tuan?”
“Pergi menemaniku ke suatu tempat.”
“Baik, Tuan. Saya siap menemani tuan dengan senang hati.”
Si mentri pun memerintahkan bawahannya agar menyediakan kuda untuk Hasan. Kuda pun sudah siap sedia. Si mentri naik ke punggung kudanya, ia pun melakukan hal yang serupa. Mereka pun berangkat menuju padang pasir.
Sesampainya di tempat tujuan, Hasan melihat sebuah tenda yang terbuat dari brokat Bizantium, diikat dengan tali sutera dan dipancang dengan tiang emas di atas tanah. Hasan berdiri di kejauhan. Tiba-tiba, Hasan melihat sepasukan tentara yang gagah perkasa lengkap dengan perlengkapan perang muncul. Mereka mengelilingi tenda itu, menggumamkan beberapa patah kata kemudian pergi. Belum lepas penglihatannya, tiba-tiba muncul para filosof dan cerdik pandai yang jumlahnya hampir mencapai empat ratus orang. Mereka pun mengelilingi tenda itu, menggumamkan beberapa patah kata kemudian berlalu dari tempat itu. Tidak berapa lama datang lagi tiga ratus orang tua yang arif bijaksana berjanggut putih, mereka pun melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh sepasukan tentara dan para filosof serta cerdik pandai. Belum hilang keheranan Hasan, tiba-tiba datang dua ratus perawan cantik masing-masing mengusung nampan penuh dengan emas perak dan batu permata. Mereka pun ternyata melakukan hal yang sama. Ia amat heran. Ia pun bertanya kepada si perdana mentri,
“Wahai tuan, tolong jelaskan kepadaku apa arti dari kejadian yang telah aku saksikan barusan!?
“Ketahuilah wahai Hasan. Dahulu kaisar mempunyai seorang putera yang tampan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dan tak terkalahkan dalam arena kegagahperkasaan. Kaisar sangat sayang kepada puteranya itu. Namun, ketika sayang kaisar kepada puteranya sedang memuncak tiba-tiba puteranya ini jatuh sakit. Kaisar lalu membawa puteranya berobat kepada para tabib dan ahli medis, namun tak seorang pun yang mampu mengobatinya. Hingga kematian pun berpihak kepadanya. Ia pun dikuburkan di bawah naungan tenda tersebut. Setiap tahun orang-orang datang berziarah ke kuburannya.” “Oh, begitu ceritanya wahai tuan!”
Sepasukan tentara yang mula-mula mengelilingi tenda tersebut berkata, “Wahai putera mahkota, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini terjadi di medan pertempuran, kami semua akan mengorbankan jiwa raga kami untuk menyelamatkanmu. Tetapi malapetaka yang menimpamu ini datang dari Dia yang tak sanggup kami perangi dan tak dapat kami tantang”. Setelah berucap seperti itu mereka pun berlalu dari tempat itu.
Kemudian tibalah giliran para filosof dan cerdik pandai. Mereka berkata, “Malapetaka yang menimpa dirimu ini datang dari Dia yang tidak dapat kami lawan dengan ilmu pengetahuan, filsafat dan dengan tipu muslihat. Karena semua filosof di muka bumi ini tidak berdaya menghadapi-Nya dan semua cerdik pandai hanya orangorang dungu di hadapan-Nya. Jika tidak demikian halnya kami telah berusaha dengan mengajukan dalih-dalih yang tak dapat dibantah oleh siapapun di alam semesta ini”. Setelah berucap demikian para filosof dan cerdik pandai itu pun berlalu dari tempat tersebut.
Selanjutnya orang-orang tua yang mulia tampil seraya berkata, “Wahai putera mahkota, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini dapat dicegah oleh campurtangan orang-orang tua, niscaya kami telah mencegahnya dengan doa-doa kami yang rendah hati ini, dan pastilah kami tidak akan meninggalkanmu seorang diri di tempat ini. Tetapi malapetaka yang ditimpakan kepadamu datang dari Dia yang sedikit pun tak dapat dicegah oleh campurtangan manusia-manusia yang lemah.” Setelah kata-kata ini mereka ucapkan mereka pun berlalu.
Kemudian dara-dara cantik dengan nampan-nampan berisi emas dan intan mutiara datang menghampiri, mengelilingi tenda itu dan berkata, “Wahai putera Kaisar, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini bisa ditebus dengan kekayaan dan kecantikan, niscaya kami merelakan diri dan harta kekayaan kami yang banyak ini untuk menebusmu dan tidak kami tinggalkan engkau di tempat ini. Namun malapetaka ini ditimpakan oleh Dia yang tak dapat dipengaruhi oleh harta kekayaan dan kecantikan”. Setelah itu mereka pun meninggalkan tempat itu.
Terakhir sekali Kaisar beserta perdana mentri-nya tampil, masuk ke dalam tenda dan berkata, “Wahai biji mata dan pelita hati ayahanda! Wahai buah hati ayahanda! Apakah yang dilakukan oleh ayahanda ini? Ayahanda telah mendatangkan sepasukan tentara yang perkasa, para filosof dan cerdik pandai, para pawang dan penasehat, dara-dara yang cantik jelita, harta benda dan segala macam barang-barang berharga. Dan ayahanda sendiri pun telah datang. Jika semua ini ada faedahnya, maka ayahanda pasti melakukan sesuatu yang dapat ayahanda lakukan. Tetapi malapetaka ini telah ditimpakan kepadamu oleh Dia yang tidak dapat dilawan oleh ayahanda beserta segala aparat, pasukan, pengawal, harta benda dan barang-barang berharga ini. Semoga engkau mendapat kesejahteraan.” Kata-kata ini diucapkan sang Kaisar kemudian ia berlalu dari tempat itu.
Mendengar pengisahan dan penjelasan perdana mentri, hati Hasan bergetar. Ia menyadari betapa tidak seorangpun yang bisa menahan kekuatan Allah, Dzat Yang Mahakuat. Ia pun segera pamit kepada perdana mentri dan bersiap-siap untuk kembali ke negerinya, Bashrah. Sesampainya di kota Bashrah, ia menyibukkan dirinya dengan beribadah untuk menggapai cinta sejati, cinta Azza wa Jalla. Ia bersumpah tidak akan tertawa lagi di atas dunia ini sebelum mengetahui dengan pasti bagaimana nasib yang akan dihadapinya nanti.
Demikianlah, Hasan Al Bashri, seorang pedagang permata yang selama ini membanggakan kekayaan dunia. Kini ia berubah seratus delapan puluh derajat menjadi seorang yang taat dan namanya tercatat dalam sejarah orang-orang saleh.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#One_Hour_Awardness
#Ia_Bersumpah_Tidak_Akan_Tertawa_Lagi