Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Saudaraku, kita perlu menumpahkan lebih banyak perhatian terhadap jiwa, batin dan hati. Keliru besar orang yang menganggap bahwa kemaksiatan lahir atau dosa fisik lebih berbahaya dari kemaksiatan batin atau dosa hati. Salah besar orang yang mengatakan bahwa keterpelesetan kaki, lebih berbahaya dari keterpelesetan hati.
Saudaraku, ada banyak orang yang diuji melalui kemaksiatan lahir, tapi kemudian hatinya tersadar telah melakukan kemaksiatan tersebut. Ada banyak orang yang khilaf melakukan dosa fisik, tapi setelah itu hatinya terhenyak lantaran telah melakukan dosa fisik itu. Melalui kesadaran batin dan hati tersebut, ia berusaha melepaskan diri dari dosa dan kemaksiatan lahir. Lalu keadaannya menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Tapi bagaimana bila kita adalah orang yang secara lahir tampak sebagai orang yang saleh. Bila kita secara fisik terlihat dan dikenal orang lain sebagai sosok orang yang taat dan tunduk kepada Allah SWT. Sementara dalam hati dan batin kita, tersimpan tumpukan dosa dan kemaksiatan batin yang bisa membinasakan semua kebaikan lahir kita?
Ini bukan menyepelekan kemaksiatan fisik dan dosa lahir. Tapi seseorang memang harus mempunyai perhatian besar membersihkan hati dan batinnya, lebih dari yang lainnya. Seseorang harus mampu memegang kendali hati dan batin dirinya, sebelum ia menjadi penanggung jawab persoalan banyak orang.
Inilah pesan yang terkandung dalam wasiat terkenal Umar bin Khattab radhiyallahu „anhu, “tafaqqahu qabla an tasudu” perdalamlah fiqih-mu sebelum kalian memimpin. Kata fiqih dalam perkataan Umar bin Khattab bukanlah kata fiqih yang diartikan paham ilmu dan hukum agama seperti yang dipahami dalam istilah kita di zaman belakangan. Para salafushshalih generasi pertama tidak memahami fiqih dari sisi ilmu pengetahuan yang memuat pada teori dan konsep hukum fiqih yang muncul belakangan. Orang yang faqih atau ahli dalam ilmu fiqih, dalam pandangan salafushshalih dahulu, utamanya adalah orang yang mampu memahami dan mempraktekkan keikhlasan, tawakkal, tawadhu‟, dan berbagai unsur kendali hati lainnya. Bukan hanya orang yang memahami seluk beluk hukum suatu masalah.
Saudaraku, Ibnu Mas‟ud r.a. pernah menyinggung soal pentingnya aspek penguasaan batin ketimbang aspek penguasaan lahir. Suatu ketika di hadapan sejumlah sahabatnya, ia mengatakan, “Kalian pada zaman ini memiliki sedikit khatib (orang yang terampil berbicara di hadapan orang banyak) tapi mempunyai banyak ulama. Kelak akan datang suatu zaman, banyak khatib tapi mereka memiliki sedikit ulama.”
Karena mengerti mendalam tentang masalah penguasaan batin seperti inilah, Zaid bin Arqam pun diriwayatkan pernah menolak untuk diangkat menjadi komandan perang pada saat perang Mu‟tah. Zaid bin Arqam menolak melanjutkan estafeta kepemimpinan perang setelah tiga orang sahabat yang diamanahkan menjadi pemimpin perang gugur sebagai syahid. Ketika itu, Zaid justru meminta kaum Muslimin waktu itu untuk memilih orang lain untuk menjadi komandan perang. Penolakan Zaid sudah tentu bukan penolakan seorang pejuang yang pengecut dan luruh nyalinya setelah melihat dahsyatnya peperangan ketika itu. Karena catatan sejarah perang Mu‟tah menegaskan tak ada lagi sejumput rasa takut yang bisa tersisa bagi pejuang Islam yang terlibat dalam peperangan Mu‟tah, di mana satu orang pejuang Muslim harus berhadapan dengan 70 orang musuh. Zaid hanya mengetahui agungnya kepemimpinan itu dibanding keadaan dirinya. Itulah yang menjadikannya merendah, lalu meminta agar ada orang lain yang menerima tugas itu.
Saudaraku, lihatlah juga, bagaimana sikap Khalid bin Walid r.a. yang dengan tenang meninggalkan posisinya sebagai komandan perang karena perintah khalifah Umar bin Khattab r.a. padahal Khalid telah membukukan kemenanan pasukannya di berbagai kesempatan. Tapi Khalid adalah orang yang faqih dalam urusan hati. Ia sangat mengerti posisi dirinya, dan bagaimana mengemban amanah yang diberikan kepadanya.
Mengertilah kita dengan ungkapan singkat yang disampaikan Ibnu Atha, “Pendamlah wujudmu di bumi ketidakterkenalan.” Maksudnya, pohon yang tumbuh itu bermula dari benih yang awalnya ditanam dan dipendam di bawah tanah. Maka, selama kita belum bisa mengubur dan memendam wujud keinginan kita, selama kita belum mampu mengikhlaskan secara total seluruh amal kepada Allah, selama kita belum bisa menyamakan diri antara ingat dan disebut orang dengan tidak diingat dan tidak disebut orang lain, mustahil kita bisa menumbuhkan pohon amal yang besar dan memberi buah yang berguna bagi orang lain.
Saudaraku, tidakkah kita malu kepada Allah ketika kita berbuat dosa? Sungguh, Allah Dzat yang Maha Mengawasi dan Maha Memperhatikan kita, baik dalam kesendirian atau berada di tengah-tengah orang banyak. Baik dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun dosa yang dilakukan secara terang-terangan.
Saudaraku, enyahkan dosa darimu. Ingatlah kuburan dan kematian, dan ingat juga hari di mana seluruh manusia dibangkitkan dan dihisab. Yang baik masuk surga, yang jahat masuk neraka.
Saudaraku, mari tatap bersama jalan yang terhampar di hadapan. Ketika kita menatap ke depan, ketika itu pula kesempatan hidup kita pun terus berjalan dan memperpendek jarak hidup kita yang ada batasnya itu. Apa yang sudah kita lakukan saat ini saudaraku?
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Heart_Laundry
#Enyahkan_Darimu_Dosa_Lahir_dan_Bathin